Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~Serangan Balik Ironford~
Malam setelah pertempuran, suasana di Ironford terasa berat. Angin dingin utara menelusup masuk ke celah-celah tembok, membawa bau asap dan darah. Edrick berdiri di balkon benteng, menatap ke hutan gelap tempat musuh mundur. Ashenlight berada di sampingnya, pedang itu tampak tenang, tetapi keberadaannya mengingatkan Edrick pada tanggung jawab besar yang kini dipikulnya.
Darius mendekat, membawa peta besar yang digulung. “Kita tidak bisa terus menunggu di sini,” katanya datar. “Jika kita menunggu, mereka akan membawa bala bantuan. Kita harus menyerang balik sebelum mereka siap.”
Edrick menoleh. “Aku setuju. Tapi kita tidak tahu jumlah pasti mereka, atau siapa yang memimpin mereka.”
Selene muncul dari pintu kayu, mengenakan mantel bulu untuk menahan dingin. “Aku memimpin pengintaian besok pagi. Kita butuh informasi lebih. Tapi malam ini, kita bisa merencanakan rute dan formasi serangan.”
Mira, yang duduk di dekat meja peta, mengangkat alis. “Aku sarankan kita menyerang lewat celah barat. Jalur timur sudah mereka kenal, dan pasti sudah diperkuat. Barat lebih berbatu, tapi pasukan kecil bisa menyelinap tanpa terdeteksi.”
Rolf bergabung ke lingkaran. “Kita juga butuh umpan. Jika kita hanya mengirim pasukan kecil, mereka akan mendeteksi gerakan kita. Kita butuh serangan palsu di gerbang utama.”
Darius menepuk bahu Rolf. “Bagus. Kita buat seolah-olah kita menyerang dari depan, sementara Edrick memimpin tim inti melalui jalur barat.”
Edrick menatap peta, menunjuk ke titik di barat. “Jika kita bisa memukul pusat komando mereka, sisa pasukan mereka akan kacau. Tapi kita harus cepat, sebelum fajar.”
Malam itu, mereka membagi pasukan menjadi tiga kelompok: pasukan utama yang akan bertahan di benteng dan berpura-pura menyerang gerbang musuh, pasukan cadangan di bawah Mira, dan tim penyerang inti di bawah komando langsung Edrick dan Darius. Selene akan bertindak sebagai penembak jarak jauh, siap memberikan dukungan dari posisi tinggi.
Di gudang senjata, para prajurit mempersiapkan diri. Pedang diasah, panah diikat ulang, dan baju zirah diperiksa. Suara dentingan logam memenuhi ruangan.
Seorang prajurit muda mendekati Edrick. “Tuan, apakah benar kita akan keluar dari benteng malam ini?”
Edrick mengangguk. “Benar. Tapi kita akan bergerak cepat. Ini bukan tentang pertempuran panjang, ini tentang memukul mereka di tempat yang paling menyakitkan.”
Prajurit itu menelan ludah, tapi ia tampak lebih tenang mendengar kepastian dari Edrick.
Sementara itu, Darius memeriksa peralatan pribadi. Ia mengenakan zirah lamanya, yang telah menemaninya dalam banyak pertempuran. “Sudah lama aku tidak merasakan semangat seperti ini,” gumamnya.
“Semangat berperang?” Edrick bertanya sambil tersenyum tipis.
“Semangat memburu kemenangan,” jawab Darius. “Dan malam ini, kita butuh kemenangan itu.”
Jam menunjukkan lewat tengah malam ketika pasukan kecil Edrick meninggalkan benteng melalui jalur barat yang tersembunyi. Tanah beku dan batu-batu tajam membuat langkah mereka pelan, tetapi tidak seorang pun bersuara. Mereka semua tahu bahwa satu suara saja bisa menarik perhatian musuh.
Selene memimpin beberapa pengintai di depan, matanya tajam meski hanya diterangi cahaya bulan. Ia memberi isyarat dengan tangannya agar pasukan berhenti. Di kejauhan, suara langkah kaki musuh terdengar samar—mereka sedang memindahkan suplai atau mengatur formasi.
Darius mendekat ke Edrick. “Itu berarti markas utama mereka tidak jauh dari sini.”
Edrick mengangguk. “Kita harus mencari jalan memutar agar tidak langsung bentrok. Kita masih butuh posisi terbaik untuk serangan.”
Rolf dan dua prajurit lain membuka jalan di sisi kiri, mencari jalur melalui bebatuan. Mereka menemukan jalur sempit di antara dua tebing rendah yang bisa menjadi titik penyergapan.
Mira, yang memimpin tim cadangan, tetap di posisi lebih jauh ke belakang. “Kalau kalian gagal, aku akan tarik perhatian mereka ke utara,” bisiknya sebelum mereka berpisah.
Saat mereka semakin dekat, suara musuh terdengar lebih jelas. Dari atas bukit kecil, Selene memberi tanda agar Edrick naik untuk mengintip. Dari sana, mereka bisa melihat perkemahan musuh: puluhan tenda, api unggun menyala, dan sebuah tenda besar di tengah—kemungkinan besar tempat komandan musuh berada.
Darius menilai situasi. “Mereka punya sekitar seratus orang di sini. Jika kita langsung menyerang, kita kalah jumlah. Tapi jika kita potong jalur suplai mereka dan bunuh komandannya, pasukan lain akan panik.”
Edrick mengeluarkan Ashenlight, pedang itu memantulkan cahaya bulan. “Kita bagi tim jadi dua. Aku dan lima orang lainnya akan menyelinap ke tenda utama. Darius, kau pimpin sisanya untuk menghancurkan gudang suplai mereka.”
Selene menyiapkan busurnya. “Aku akan ambil posisi di atas bukit untuk memberi perlindungan.”
Rencana pun segera dijalankan. Darius memberi isyarat kepada Rolf dan para prajurit lain untuk bersiap menyalakan obor saat tanda diberikan.
Edrick dan tim kecilnya merayap mendekati tenda utama. Mereka bergerak dari bayangan ke bayangan, menghindari cahaya api unggun. Dua penjaga berjaga di depan tenda, tetapi Selene menembakkan dua anak panah beruntun, mengenai mereka sebelum sempat berteriak.
Edrick masuk lebih dulu ke dalam tenda. Di sana, seorang pria berzirah hitam sedang menatap peta besar di meja. Ia adalah Komandan Vornek, salah satu panglima pemberontak yang terkenal kejam.
Vornek menoleh, wajahnya menunjukkan keterkejutan sebelum berubah menjadi amarah. “Kau! Prajurit dari Ironford!”
Edrick tidak menjawab. Ia maju dan menyerang. Pertarungan di dalam tenda berlangsung cepat. Vornek ternyata lebih kuat dari dugaan Edrick; setiap tebasannya berat dan mematikan. Namun, Ashenlight bergerak cepat, menangkis setiap serangan dengan presisi.
Di luar, Darius memimpin timnya menyerang gudang suplai. Mereka menyalakan obor dan melemparkannya ke dalam tumpukan kotak dan barel. Api segera menyebar, menelan persediaan musuh.
Suara teriakan mulai terdengar. Pasukan musuh kebingungan, beberapa mencoba memadamkan api, sementara yang lain berlari mencari komandan mereka.
Vornek mendesak Edrick ke pojok tenda. “Pedang itu… Ashenlight. Jadi legenda itu benar adanya,” desisnya. “Tapi kau bukan siapa-siapa dibandingkan aku!”
Edrick menangkis serangan brutal Vornek dan memanfaatkan celah saat musuhnya kehilangan keseimbangan. Dengan satu gerakan cepat, ia menebas kaki Vornek, membuat sang komandan tersungkur.
Di luar, Darius melihat pasukan musuh mulai bubar. “Kita berhasil memukul mereka. Sekarang waktunya mundur!” teriaknya.
Edrick keluar dari tenda, menyeret Vornek yang terluka. “Kita bawa dia. Dia bisa memberi kita informasi.”
Mereka semua kemudian bergerak cepat kembali ke jalur sempit, sementara api dan kebingungan melanda perkemahan musuh. Selene menutup barisan belakang, menembakkan beberapa anak panah untuk menahan pengejaran.
Kelompok Edrick bergerak cepat melewati jalur sempit di antara tebing. Nafas mereka berat, kaki mereka tertatih melewati bebatuan licin. Di belakang, teriakan musuh semakin jauh—kebingungan dan api yang melahap suplai membuat mereka tak mampu memberi pengejaran terkoordinasi.
Darius membantu membawa Vornek yang setengah sadar. Darah menetes dari luka di kakinya, meninggalkan jejak samar di tanah. “Kita harus mempercepat langkah sebelum mereka sadar bahwa kita sudah hilang,” katanya.
Selene menoleh ke belakang sebentar, memastikan tidak ada yang mengikuti. “Mereka sibuk dengan kebakaran. Tapi begitu fajar tiba, kita mungkin akan dikejar.”
Mereka mencapai titik pertemuan dengan Mira dan pasukan cadangan. Mira melihat Vornek dan mengangkat alis. “Kau benar-benar membawanya hidup-hidup?”
Edrick mengangguk. “Dia tahu pergerakan pemberontak. Kita bisa menggunakannya untuk memprediksi langkah berikutnya.”
Rolf menatap komandan musuh itu dengan tatapan dingin. “Kita harus hati-hati. Orang ini licik.”
Mereka melanjutkan perjalanan kembali ke Ironford. Di sepanjang jalan, Edrick berjalan di samping Darius. “Apa kau lihat tatapan Vornek saat melihat pedang ini? Dia tahu sesuatu tentang Ashenlight.”
Darius menatap pedang itu. “Legendaris atau tidak, pedang itu membuat kita jadi target. Semua orang di Averland yang menginginkan kekuasaan akan mencoba mengambilnya.”
Di benteng, fajar menyambut kedatangan mereka. Gerbang dibuka cepat ketika para penjaga melihat wajah-wajah yang kembali dari misi berbahaya. Sorakan kecil terdengar ketika mereka menyadari bahwa tim Edrick berhasil kembali.
Kapten Rowan mendekati mereka. “Kalian berhasil?”
Darius menunjuk ke arah Vornek. “Kami bakar suplai mereka dan ambil komandannya. Itu cukup untuk memberi kita keunggulan sementara.”
Vornek dilemparkan ke lantai batu ruang tahanan. Beberapa penjaga segera mengikat tangannya dan menguncinya di sel. Saat pintu besi ditutup, Vornek hanya tersenyum sinis. “Kalian pikir ini akan mengubah apapun? Kalian baru saja menyalakan api yang lebih besar.”
Edrick menatapnya tajam. “Kita lihat saja nanti.”
Selene membersihkan busurnya dan menatap ke luar jendela benteng. “Ini hanya awal. Mereka akan membalas dendam, dan mungkin bukan hanya pasukan kecil yang datang berikutnya.”
Darius menghela nafas panjang. “Tapi sekarang kita punya keunggulan. Kita tahu posisi mereka lemah tanpa suplai. Kita harus memanfaatkan waktu ini untuk memperkuat pertahanan Ironford.”
Mira menyetujui. “Dan mempersiapkan serangan balasan sebelum mereka sempat pulih.”
Edrick berdiri di tengah ruangan, memegang Ashenlight. Pedang itu tampak biasa di siang hari, tetapi ia bisa merasakan getaran halus dari bilahnya, seolah pedang itu sendiri tahu bahwa perang ini masih jauh dari selesai.
Kapten Rowan menatap peta besar di meja. “Dengan informasi dari Vornek, kita bisa memetakan kamp pemberontak lainnya. Tapi kita harus berhati-hati—musuh sekarang tahu siapa yang memegang Ashenlight.”
Edrick menatap para prajuritnya satu per satu. “Kita tidak bisa lagi sembunyi di balik tembok. Ini bukan hanya tentang Ironford. Jika Averland jatuh sepenuhnya ke tangan pemberontak, tak ada tempat aman bagi siapa pun. Kita harus maju, bukan menunggu.”
Darius mengangguk, matanya menyala dengan tekad. “Kalau begitu, kita buat mereka takut. Kita serang sebelum mereka siap.”