NovelToon NovelToon
When The Webtoon Comes Alive

When The Webtoon Comes Alive

Status: tamat
Genre:Romansa Fantasi / Percintaan Konglomerat / Teen School/College / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Cewek Gendut / Tamat
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Anastasia

Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.

Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.

Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 30.Bel istirahat.

Saat bel istirahat berbunyi, suasana kelas langsung berubah ramai. Beberapa murid bergegas keluar, ada yang tetap duduk untuk makan bekal. Owen memperhatikan Oliv dari jauh, berharap gadis itu akhirnya akan mau bicara dengannya. Namun, yang terjadi justru kebalikannya.

Oliv berdiri dari kursinya, merapikan rok yang tadi kusut akibat insiden di gedung olahraga. Tatapannya tajam, wajahnya serius,bukan ekspresi seseorang yang hendak menghindar, tapi seseorang yang sudah punya tujuan jelas. Langkahnya diarahkan langsung ke arah Melisa, yang sedang tertawa kecil bersama dua temannya di pojok kelas.

Owen memperhatikan itu dengan kening berkerut. “Apa yang dia lakukan?” gumamnya pelan. Rasa penasaran Owen dengan apa yang akan terjadi, membuat Owen tidak bisa bersantai.

Damian terkekeh. “Atau mungkin dia sudah menemukan sesuatu.”

Melisa yang awalnya tidak memperhatikan, baru sadar ketika bayangan Oliv jatuh di atas mejanya. Ia mengangkat wajah, kaget melihat Oliv berdiri tepat di depannya.

"Ada apa? " Tanya Melisa seperti tidak terjadi apa-apa pun.

“Apa kamu puas?” suara Oliv terdengar dingin, cukup keras untuk membuat beberapa murid di sekitar mereka berhenti berbicara.

Melisa mengerjapkan mata, pura-pura bingung. “Apa maksudmu?”

“Berhenti pura-pura bodoh,” potong Oliv cepat. “Jack, Rico, dan Leon nggak akan berani ngelakuin semua itu tanpa seseorang yang nyuruh,dan aku mendengar dari mulut mereka sendiri kalau dirimu yang menyuruh mereka berbuat seperti itu.”

Teman-teman Melisa saling pandang, raut wajah mereka mulai gelisah.

Melisa tersenyum tipis, mencoba memulihkan kendali situasi. “Kamu benar-benar lucu, Oliv. Jadi kamu pikir aku yang—”

“Leon tadi nggak sengaja ngomong,” sela Oliv, kali ini lebih pelan tapi tajam. “Dia bilang, ‘Melisa pasti puas kalau lihat dia kayak gini.’”

Wajah Melisa menegang sepersekian detik, cukup lama untuk Oliv menangkapnya.

“Jadi bener, ya?” lanjut Oliv, suaranya tetap tenang tapi menekan. “Kamu yang nyuruh mereka.”

Bisikan mulai terdengar di antara murid-murid lain. Mereka menatap Melisa dengan ekspresi penasaran, beberapa bahkan memegang ponsel seakan siap merekam kalau sesuatu terjadi.

Melisa, yang merasa posisinya mulai terpojok, mendesis pelan. “Jaga omonganmu, Oliv. Jangan asal nuduh.”

Oliv melangkah sedikit lebih dekat hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Tatapannya tidak goyah. “Aku nggak asal nuduh. Aku cuma mau kamu tahu… kalau kamu pikir aku bakal diem aja setelah ini, kamu salah besar.”

Di belakang, Owen sudah berdiri dari kursinya, siap bergerak kalau situasi memanas. Damian menahan lengannya sebentar. “Tunggu dulu,” bisiknya. “Lihat apa yang dia mau lakukan.”

Leo hanya mengamati dengan tenang, meski matanya sempat melirik Melisa dengan tatapan dingin.

Melisa akhirnya bangkit dari kursinya, berusaha menutupi rasa gugupnya dengan sikap angkuh. “Kalau kamu punya bukti, silakan bawa ke guru. Tapi kalau enggak…” ia mendekatkan wajahnya ke Oliv, berbisik dengan nada sinis, “…hati-hati, Oliv. Aku bisa bikin hidupmu di sekolah ini lebih susah.”

Oliv tersenyum tipis, berbeda dari biasanya. “Coba aja.”

"Kita lihat siapa yang hidupnya menderita. "

Lalu Oliv menumpahkan susu coklat yang ada di meja nya ke arah seragamnya, sehingga terlihat kotor.

"Ahh.. , Oliv!. Beraninya dirimu! " Teriak Melisa dengan keras.

Semua siswa disana terkejut dengan yang dilakukan Oliv, dengan santainya ia mengatakan. "Kau lihat apa yang dilakukan oleh mereka bertiga dengan pakaian ku!, maka kau juga mendapatkan apa yang sama dengan ku. Untung saja aku tidak merobek rokmu, seperti mereka merusak pakaian ku"

Setelah berkata begitu, ia berbalik dan berjalan keluar kelas dengan langkah tenang, meninggalkan keheningan yang aneh di belakangnya.

Owen senang melihat Oliv seperti itu, ia semakin tertarik dengan Oliv. "Dia terlihat liar, membuatku semakin menyukainya".

Oliv yang meninggalkan kelas mereka, segera keluar dari kelas mereka. Disusul oleh Owen dari belakang nya sambil tersenyum.

Lorong sekolah terasa lengang. Sebagian besar murid masih di kantin, sementara Oliv berjalan cepat dengan wajah datar, menahan amarah yang belum reda. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, bukan karena takut pada Melisa, tapi karena kesal pada semua yang terjadi termasuk pada Owen.

Langkah kaki lain terdengar mendekat. Owen menyusulnya dengan mudah, senyum tipis menghiasi wajahnya seakan-akan baru saja menonton pertunjukan yang memuaskan.

“Hebat tadi,” ucap Owen santai. “Aku nggak nyangka kamu bisa segarang itu.”

Oliv tidak menoleh. “Pergi.”

Owen mengangkat alis, sedikit terhibur dengan respons itu. “Kamu nggak perlu pura-pura nggak senang dipuji.”

“Aku bilang pergi, Owen,” ulang Oliv, kali ini lebih keras. Ia berhenti mendadak, membuat Owen hampir menabraknya. Gadis itu berbalik dan menatapnya tajam. “Aku masih marah sama kamu.”

Owen mengangkat kedua tangannya seolah menyerah, tapi matanya tetap memandang Oliv tanpa gentar. “Aku tahu. Tapi aku nggak nyesel marah tadi. Kamu hampir—”

“Jangan sok pahlawan!” potong Oliv cepat. “Aku tahu kamu nolongin aku, tapi itu nggak ngasih kamu hak buat ngomel seolah aku salah karena diserang!”

Owen menghela napas, mencoba menahan diri untuk tidak terpancing balik. “Aku cuma—”

“Dan satu lagi,” Oliv mendekat sedikit, menatap Owen tepat di matanya, “aku nggak suka dibilang superhero. Aku cuma… ya, aku cuma berusaha bertahan. Itu aja.”

Ada jeda singkat. Owen menatapnya lebih lama dari yang seharusnya, seolah mencoba membaca apa yang sebenarnya dirasakan Oliv di balik kata-katanya. Perlahan, senyumnya berubah menjadi lebih lembut yang jarang sekali ia tunjukan ekspresi seperti itu.

“Kalau gitu,” katanya pelan, “biarin aku yang jadi tameng kamu. Kamu nggak perlu bertahan sendirian.”

Oliv mengerjap, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang serius. Namun, ia segera memalingkan wajah. “Kamu benar-benar nyebelin. Selalu ngomong seenaknya.”

Owen tertawa kecil. “Tapi kamu dengerin.”

Oliv mendengus dan kembali melangkah pergi. “Aku nggak janji bakal ngomong sama kamu lagi setelah ini.”

“Bagus,” balas Owen cepat, mengikuti di belakangnya tanpa ragu. “Berarti aku punya alasan buat ngejar kamu tiap hari sampai kamu mau ngomong lagi.”

Oliv menoleh sebentar, menatapnya seakan tidak percaya. “Kamu… benar-benar nggak tahu kapan harus berhenti, ya?”

Owen tersenyum tipis, kali ini dengan tatapan penuh tekad. “Nggak. Apalagi kalau soal kamu.”

Oliv memutar bola matanya dan mempercepat langkahnya. Namun, di balik wajah kesalnya, ada sedikit rasa yang sulit ia definisikan,antara kesal, lega, dan sesuatu yang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

"Oliv, saat kamu marah terlihat cantik"

"Kau..kau ini ngomong apa sih!, kamu sakit yah? " Ucap gugup Oliv.

Oliv pun berbalik berusaha tidak terpengaruh oleh ucapan Owen dan berjalan meninggalkan dirinya, sedangkan Owen terus mengikutinya di belakang Oliv.

Sampai akhir mereka berdua sampai di lorong yang sepi, yang tidak banyak murid ataupun guru lewat sana.

Saat berbelok, tubuh Owen didorong di pojok sehingga menyentuh dinding, lalu tangan Oliv menahan di samping Owen berada. Jarak antara mereka berdua sangat dekat, membuat Owen terkejut dengan yang dilakukan oleh Oliv.

Owen bukannya marah, ia memasang wajah tersenyum bahagia dan itu membuat Oliv jadi kesal.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!