Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
First kiss?
"Lo suka es teler nggak, Tess?" tanya Juna sambil sesekali melirik Tessa lewat kaca spion motornya.
"Suka!" jawab Tessa cepat dengan nada antusias. Rambutnya yang tergerai sedikit berkibar tertiup angin.
"Mau mampir dulu nggak? Ada tuh gerobak es teler di depan."
"Boleh deh."
Mendengar jawaban itu, Juna langsung menyalakan lampu sein dan membelokkan motornya pelan ke tepi jalan. Mereka berhenti di depan gerobak es teler yang terlihat sederhana tapi ramai pembeli. Aroma manis santan dan alpukat menyeruak di udara.
"Dua ya, Bang. Es telernya nggak usah terlalu manis," pesan Juna sambil melirik Tessa yang berdiri di sampingnya, memperhatikan penjual yang sibuk mengaduk es.
Beberapa menit kemudian, dua mangkok plastik besar berisi es teler sudah di tangan mereka. Juna menyodorkan satu ke arah Tessa.
"Nih. Hati-hati tumpah."
"Thanks..." Tessa mengambilnya sambil tersenyum tipis.
Mereka berjalan menuju kursi plastik di dekat gerobak es teler, mencari tempat duduk yang agak sepi di pojokan. Tessa duduk lebih dulu, meletakkan es telernya di atas meja kayu kecil.
"Wah, ini enak banget. Kok lo tau tempat ginian?" tanyanya setelah menyeruput sendok pertama, matanya berbinar-binar.
"Tempat langganan gue dari SMA. Tiap lewat sini nggak pernah nggak mampir," jawab Juna santai.
Sekilas Juna sempat memperhatikan cara Tessa tersenyum kecil sambil menyendok alpukat dari mangkok plastiknya.
"Lo cantik banget kalau senyum, Tess..."
batinnya sambil tersenyum tipis, buru-buru memalingkan wajah supaya Tessa nggak menyadari tatapannya yang terlalu lama.
Suasana di antara Juna dan Tessa terasa hangat, diiringi riuh rendah suara kendaraan yang melintas di jalan raya.
Angin sore bertiup pelan, membuat beberapa helai anak rambut Tessa terlepas dari ikatan dan berantakan. Juna hanya tersenyum kecil, diam-diam menikmati momen itu—begitu sederhana, tapi terasa nyaman.
Berbeda dengan apa yang dirasakan Liora dan Rajata.
Suasana di dalam mobil terasa dingin meski AC tidak terlalu kencang. Di luar, sore yang ramai dengan riuh kendaraan justru terasa kontras dengan keheningan di antara Liora dan Rajata.
Sejak tadi Rajata hanya menatap lurus ke jalan, namun sesekali matanya melirik layar ponsel yang diletakkannya di konsol tengah. Fokusnya bukan pada Liora, melainkan pada satu nama di kepala: Tessa.
"Rajata! Kamu dengerin aku nggak sih?" suara Liora terdengar kesal setelah beberapa kali mengajaknya bicara tapi tak mendapat respons.
"Sorry... lo ngomong apa tadi?" Rajata akhirnya menoleh sekilas dengan raut datar, tak benar-benar tertarik.
"Nggak jadi!" potong Liora cepat. Ia memalingkan wajah ke jendela, bibirnya mengerucut menahan kesal.
Rajata menghela napas berat. Tangannya mengetuk-ngetuk kemudi pelan, pikirannya melayang. "Dia udah sampai rumah belum? Atau malah mampir ke tempat lain?" batinnya gelisah.
Sementara itu, Liora melirik Rajata dari sudut mata. Ada tatapan yang sulit ia baca di wajah pria itu. Bukannya menikmati waktu berdua, Liora justru merasa seperti sedang duduk dengan seseorang yang tubuhnya ada di sini, tapi hatinya entah di mana.
Begitu mobil berhenti di depan rumah Liora, Rajata bahkan tak sempat memberi senyuman atau basa-basi. Saat Liora baru membuka mulut, hendak mengajaknya masuk untuk sekadar minum, suara deru mesin langsung memotong ucapannya.
Mobil itu melaju cepat, meninggalkan Liora yang masih berdiri terpaku di depan pagar rumahnya.
Dia terdiam, matanya membulat tak percaya. Ada rasa yang campur aduk di dadanya—kesal, marah, sekaligus perih. Bibirnya bergetar, namun hanya sebuah umpatan pelan yang berhasil lolos dari mulutnya, penuh dengan amarah yang ia tahan-tahan.
"Sialan..." bisiknya lirih, jemarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya.
**
Tessa melepas helmnya lalu menyerahkannya pada Arjuna. "Makasih ya, Jun. Udah dianterin pulang... ditraktir es teler pula," ujarnya sambil tersenyum kecil.
"Besok gantian deh, gue yang traktir lo yaa."
"Amaaan," jawab Arjuna santai.
Sekilas, ia melirik ke arah rumah Tessa. Rumah itu tampak asri dengan halaman rapi, tapi suasananya terasa sepi.
"Lo tinggal sendirian?" tanyanya pelan, agak ragu.
Tessa mengangguk kecil, lalu buru-buru menambahkan, "Biasanya gue nginep di rumah Om sih... cuma hari ini lagi pengen di sini aja."
Arjuna hanya mengangguk pelan. Ada banyak pertanyaan yang sempat melintas di kepalanya, tapi ia memilih menahannya. Rasanya terlalu sensitif untuk dibahas sekarang.
"Oke deh, gue cabut dulu ya. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi gue." ucap Arjuna sambil menyalakan mesin motornya.
Tessa membuka pintu rumah perlahan. Suara berderit yang terdengar membuat bulu kuduknya sedikit meremang. Rumah itu tampak rapi... terlalu rapi, terlalu sunyi. Tidak ada aroma masakan ibunya, tidak ada suara tawa yang dulu selalu menyambutnya setiap pulang sekolah.
Langkah kakinya terhenti di ruang tengah. Sofa cokelat tua itu masih ada di sana, warnanya sedikit pudar dimakan waktu. Rak kecil berisi DVD lama juga masih berdiri di pojok ruangan. Hanya saja, TV kini mati, meninggalkan bayangan dirinya sendiri di layar hitam pekat.
Dulu ruangan ini hangat... dulu.
"Tess, sini duduk temani Ayah nonton bola. Ibumu paling nggak suka kalau Ayah nonton bola sendirian. Kamu temani Ayah, ya?"
"Boleh, Ayah!" seru Tessa kecil sambil melompat ke sofa, wajahnya berseri-seri.
"Tuh, itu Ronaldo, Tess. Dulu waktu Ayah muda mirip banget sama dia..." ucap sang Ayah ringan sambil tertawa lepas.
"Mana adaaaa!" sahut ibunya, Erna, dari arah dapur, nadanya dibuat-buat kesal tapi penuh cinta. Tangannya sibuk mengaduk adonan kue, tapi senyumnya tak pernah hilang.
Tessa kecil berlari ke dapur, matanya berbinar. "Bu, ini tinggal diaduk aja kan?" tanyanya dengan celemek kebesaran yang hampir menyapu lantai.
"Iya, Sayang. Aduk pelan-pelan sampai warnanya pucat. Tangan jangan berhenti ya..." jawab ibunya lembut, sambil merapikan poni Tessa dengan jari yang masih bertepung.
"Kalau udah matang, kita makan bareng bertiga ya?"
"Pasti, dong. Tapi jangan lupa cuci tangan dulu nanti!" jawab sang ibu sambil terkekeh. Tawa kecil mereka berpadu dengan suara oven yang mulai berdentang. Hangat. Penuh cinta.
Dan sekarang... oven itu hanya benda mati di sudut meja. Debu tipis menyelimuti permukaannya.
Tessa mendekatinya perlahan, menelusuri bagian atas oven dengan jemari. Dulu benda ini penuh dengan aroma butter, gula, dan tawa riang. Sekarang hanya sunyi yang menyelimuti.
Seketika dadanya terasa sesak. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia menunduk, suaranya tercekat ketika sebuah bisikan lirih lolos begitu saja dari bibirnya:
"Ayah... Ibu... Tessa kangen banget..."
Suara itu tenggelam ditelan keheningan rumah yang terlalu besar untuknya sendirian.
Tiba-tiba dering ponsel memecah lamunannya. Tessa tersentak, buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Di layar, nama Rajata tertera jelas.
Tessa mengelap sisa air matanya dengan punggung tangan. Ia berdehem pelan, berusaha menetralkan suara seraknya sebelum menekan tombol hijau di layar ponsel.
Belum sempat ia membuka suara, suara bariton di seberang sana langsung menyerbunya.
"Lo....dimana?!"
"Kenapa belum sampai rumah jam segini?"
Tessa mengernyit bingung. Ada apa dengan Rajata? Kenapa nada suaranya seperti orang marah?
"Gue... di rumah," jawab Tessa singkat, suaranya terdengar datar.
"Gak usah bohong!! Gue di rumah sekarang, dan lo gak ada! Lo pasti lagi jalan-jalan, kan? Sama cowok itu?!"
Tessa mencengkeram ponselnya erat-erat, napasnya mulai naik turun. Rasa kesal bercampur lelah.
"Apa sih? Nuduh nggak jelas! Gue bilang gue di rumah!! Rumah gue sendiri... bukan rumah lo!" sahut Tessa tajam, suaranya bergetar menahan emosi.
"Dan lagian, apa peduli lo kalau gue jalan sama cowok lain? Lo sendiri juga jalan sama mantan lo itu, kan?!"
Tanpa memberi Rajata kesempatan membalas, Tessa langsung menutup telepon. Tangannya gemetar, napasnya memburu cepat. Dadanya terasa sesak, dan matanya kembali terasa panas. Air mata yang tadi sempat ia tahan kini jatuh lagi tanpa bisa dicegah.
Rajata terdiam sejenak, menatap layar ponsel yang baru saja mati. Jari-jarinya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih. Napasnya berat, panas terasa menjalar sampai ke ubun-ubun.
"Sial!" umpatnya keras, melempar ponselnya ke atas kasur.
Tanpa pikir panjang, ia meraih kunci mobil yang tergeletak di meja. Langkahnya cepat, penuh emosi. Pintu kamar ditutup dengan kasar hingga menimbulkan suara dentuman yang menggema di rumahnya.
Satu tujuan terpatri jelas di kepalanya sekarang: rumah Tessa.
Rajata memacu mobilnya tanpa pikir panjang. Jemarinya mencengkeram kemudi erat-erat, rahangnya mengeras. Di kepalanya hanya ada satu hal: Tessa.
Begitu mobil berhenti di depan rumah itu, ia turun dengan langkah panjang dan kasar. Bel rumah ditekan berkali-kali.
"Tes! Bukain pintunya!" serunya lantang.
Pintu akhirnya terbuka. Tessa berdiri di sana dengan wajah sedikit pucat, matanya sembab.
"Ngapain lo ke sini?!" suaranya bergetar tapi berusaha terdengar tegas.
"Ayok pulang!" tegas Rajata sambil menarik pergelangan tangan Tessa.
Namun Tessa menghentakkan tangannya, membuat Rajata menoleh tajam.
"Gue mau di sini. Kalau lo mau pulang, pulang sendiri!" suara Tessa bergetar, tapi nadanya penuh perlawanan.
"Gue juga nggak pernah minta lo jemput gue, kan?!" lanjutnya pedas.
Rajata terdiam sejenak. Kata-kata Tessa menusuk telinganya. Memang benar, Tessa nggak pernah meminta dia datang ke sini. Lantas, untuk apa dia di sini sekarang? pikirnya, rahangnya mengeras.
"Lo istri gue... harusnya lo—"
"Istri?" potong Tessa cepat, nadanya sinis.
"Kayak gini aja lo baru inget status kita? Waktu lo anter mantan lo pulang, emang lo sadar status lo—suami gue?!"
"Gue cuma anter Liora karena mobilnya masih di bengkel!" Rajata membela diri, suaranya meninggi.
"Tapi lo bisa pesenin dia Grab, kan? Harusnya nggak usah repot-repot nganterin!" bentak Tessa dengan mata berkaca-kaca.
"Udahlah, Ja. Males gue debat kayak gini. Kalau lo emang masih sayang sama mantan lo, balikan aja! Ceraiin gue sekarang!!"
Kalimat itu membuat darah Rajata mendidih. Tanpa sadar ia mendorong Tessa ke dinding, tubuhnya mendekat dengan sorot mata yang gelap. Jemarinya mencengkeram lengan Tessa kuat-kuat hingga wanita itu meringis.
Dengan cepat Rajata menarik tengkuknya dan menempelkan bibirnya dengan kasar. Ciuman itu penuh amarah dan kepemilikan.
Tessa berusaha mendorong dadanya, memukul-mukul tubuh bidang pria itu.
Tapi Rajata, dalam emosi yang membuncah, lebih kuat dari upaya Tessa melepaskan diri. Ciumannya makin dalam, seolah ingin menegaskan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.
Ciuman itu akhirnya terlepas ketika oksigen di paru-paru mereka terasa menipis, menyisakan keheningan yang justru lebih memekakkan telinga.
Rajata masih menahan kedua pergelangan tangan Tessa di sisi kepala, wajahnya hanya beberapa senti dari wajah Tessa. Aroma parfum pria itu memenuhi indra penciuman Tessa, membuatnya sulit berpikir jernih.
"Gue nggak mau lo bilang cerai di depan gue sekali lagi..." bisik Rajata dengan suara serak,
"Dan jangan buat gue marah!! Karena gue..." Rajata berhenti sejenak, rahangnya mengeras, tatapannya tajam menusuk mata Tessa yang mulai berair. Napasnya masih memburu, dadanya naik-turun cepat.
"...gue nggak yakin bisa nahan lagi selanjutnya!" desisnya dengan suara serak rendah, seperti ancaman sekaligus peringatan.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa