NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:26.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Tameng Kemaksiatan

Keynan melanjutkan pembicaraan dengan suara hangat, penuh ketulusan.

“Kami sekeluarga sangat berterima kasih, Kyai, Umi. Karena telah menyelamatkan Kanya... menampungnya, bahkan memperlakukannya seperti putri sendiri selama dua tahun ini. Tanpa kalian, kami tak tahu nasib seperti apa yang akan menimpa Kanya.”

Kyai Zubair tersenyum, raut wajahnya tetap teduh.

“Tak perlu berterima kasih, Pak Keynan. Sesama muslim adalah saudara. Bagaimana mungkin kami membiarkan saudara kami dalam kesulitan? Merawat dan menjaga Kanya adalah kewajiban kami, bukan karena jasa—tapi karena iman.”

Ia melirik lembut ke arah Kanya yang duduk tertunduk malu.

“Lagi pula… kamilah yang merasa beruntung. Kanya banyak membantu selama tinggal bersama kami. Ia ikut mengajar anak-anak pondok mengaji, membantu di dapur, bahkan sejak dia mempercayakan desain-desain busananya pada butik milik pondok, usaha kami berkembang lebih pesat dari sebelumnya.”

Aisyah menoleh cepat, ada keterkejutan sekaligus kekaguman dalam sorot matanya. Meskipun wajahnya tertutup cadar, nada suaranya menyiratkan kebanggaan yang tak bisa disembunyikan.

“Subhanallah... ternyata menantu Mama gadis mandiri,” ucapnya tulus. “Mama benar-benar bangga.”

Kanya tersenyum malu dari balik cadarnya. Wajahnya memerah, meski tertutup, semua bisa merasakan kerendahan hatinya yang alami.

Umi Farida ikut tersenyum, lalu menyambung pelan, “Bukan hanya baik, cantik, dan mandiri, tapi Kanya juga sangat rendah hati dan cerdas. Pintar membagi waktu. Di tengah semua kesibukannya, dia masih sempat melanjutkan kuliahnya.”

Aisyah terharu. Ia menggenggam tangan Kanya dan mengusap lembut punggungnya. Sentuhan keibuan itu begitu tulus dan menghangatkan.

“Subhanallah… Mama benar-benar beruntung diberi menantu sepertimu, Nak.”

Tawa kecil dan suasana haru menyelimuti mereka. Ada rasa syukur yang begitu terasa di udara.

“Alhamdulillah ya Rabb…” bisik hati Kanya, matanya mulai berkaca-kaca.

“Engkau karuniakan hamba mertua yang begitu bijak dan penuh kasih. Rasanya hamba seperti kembali menemukan sosok ayah dan bunda… dalam wajah yang berbeda, namun dengan cinta yang sama.”

Ia menarik napas pelan, menahan getar di dada.

“Engkau cukupkan hati hamba setelah kehilangan, ya Allah… Engkau gantikan dengan keluarga yang menyejukkan.”

Beberapa saat kemudian, Keynan menoleh pada istrinya dan mengangguk pelan.

Aisyah menangkap isyarat itu. Ia membuka tas tangannya, lalu mengeluarkan sebuah amplop putih bersegel rapi.

“Oh ya, Kyai, Umi…” ujar Keynan, suaranya hangat dan penuh hormat. “Kami ada sedikit sumbangan untuk pondok. Anggap saja sebagai bentuk dukungan dari kami sekeluarga, agar semakin banyak anak-anak yang bisa dibina menjadi pribadi yang cerdas, mandiri, dan bertakwa.”

Sambil tersenyum di balik cadarnya, Aisyah menyerahkan amplop itu ke Umi Farida dengan kedua tangan.

Umi sempat tertegun. Ia menerima amplop itu dengan hati-hati, lalu menatap Keynan dan Aisyah penuh syukur.

“Masya Allah... ini terlalu baik. Kami tidak tahu harus berkata apa. Semoga Allah membalas segala kebaikan Bapak dan Ibu dengan keberkahan yang berlipat ganda.”

"Aamiin," ucap semuanya bersamaan.

Kyai Zubair ikut mengangguk pelan, matanya tampak berkaca-kaca.

“Setiap rupiah yang Bapak titipkan akan kami manfaatkan sebaik mungkin. Semoga menjadi amal jariyah yang terus mengalir, bahkan setelah kita semua tiada.”

Kanya menunduk, hatinya ikut diliputi rasa haru. Ia tahu… betapa besar makna bantuan itu bagi pondok, tapi lebih dari itu, ia merasa doanya selama ini—untuk bisa diterima kembali tanpa dicela—akhirnya perlahan dijawab satu per satu.

Namun sesaat kemudian, Umi mendesah pelan dari balik cadarnya. Tatapannya menerawang sejenak, seperti memikirkan sesuatu yang berat di hatinya.

“Jujur… saya sangat prihatin dengan kondisi generasi muda sekarang, terutama wanita muslimah,” ucapnya lirih, tapi nadanya tegas. “Banyak yang mengaku Muslim, tapi lupa mencerminkan Islam dalam sikap dan penampilan.”

Aisyah dan Keynan menyimak tanpa menyela. Bahkan Kanya pun menunduk dalam, menyerap tiap kata dengan hati yang terusik.

“Hijab, misalnya,” lanjut Umi. “Seharusnya menjadi lambang ketundukan pada perintah Allah. Penutup aurat yang menjaga kehormatan, bukan sekadar aksesoris gaya atau tren sesaat. Tapi kini…” suaranya melemah, nyaris seperti bisikan, “terlalu banyak yang menyalahartikan. Mereka berhijab, tapi mengenakan pakaian yang ketat, menampakkan lekuk tubuh… seolah hijab cukup di kepala, dan lupa bahwa aurat itu bukan hanya rambut.”

Keynan mengangguk pelan, wajahnya mengeras.

“Lebih sedih lagi,” Umi meneruskan, “ada yang berjoget di depan kamera, memperlihatkan tubuhnya meski berhijab, bahkan menyebarkannya ke ribuan orang. Tak jarang kontennya mengandung unsur menggoda. Mereka menari diiringi musik-musik tak layak, menyebut diri muslimah tapi akhlaknya jauh dari adab Islam.”

Umi menghela napas dalam-dalam, tangannya menggenggam jemari Kanya.

“Lebih menyakitkan lagi ketika sebagian menjual diri di jalan, tetap dengan hijab di kepala. Masyarakat—baik Muslim maupun non-Muslim—melihat mereka dan bertanya: benarkah ini cerminan wanita Islam? Padahal kita semua tahu, Islam tidak mengajarkan seperti itu. Mereka yang begitu bukan perwakilan dari ajaran kita. Mereka adalah anak-anak yang hilang arah, mungkin karena kurang ilmu, mungkin karena lelah hidup… tapi tetap, mereka mencoreng nama Islam tanpa sadar.”

Aisyah menatap Umi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Saya bukan bicara sebagai orang suci,” lanjut Umi, suaranya kini terdengar lirih, “tapi sebagai seorang ibu. Seorang ibu yang sedih melihat betapa hijab kini tak lagi menjadi simbol kehormatan, tapi malah dijadikan topeng… untuk menutupi hal yang jauh dari Islam.”

Ia memalingkan wajah ke arah Kanya.

“Itulah sebabnya, Nak… saat melihatmu tetap berpegang teguh pada nilai-nilai itu—di tengah dunia yang berubah cepat—hati ini merasa tenang. Bukan karena cadarmu, tapi karena sikapmu yang menjaga. Keteguhanmu, itulah yang membawa keberkahan.”

Aisyah menggenggam tangan Umi Farida, matanya berkaca-kaca.

“Masya Allah… Umi benar,” ucapnya lembut. “Saya pun sering merasa sesak di dada melihat fenomena itu. Betapa hijab, yang seharusnya menjadi tameng, kini dijadikan tameng palsu… hanya untuk menutupi kemaksiatan yang diperhalus.”

Ia menoleh ke arah Kanya, yang masih menunduk.

“Dan karena itulah, Nak… Mama bersyukur dipertemukan denganmu. Kau mengingatkan kami bahwa masih ada wanita muda yang menjaga dirinya bukan karena ingin terlihat baik di mata manusia… tapi karena ingin taat di hadapan Allah.”

Kanya menggigit bibir bawahnya, dadanya sesak oleh rasa haru yang sulit dijelaskan. Ia tak pernah menyangka akan didudukkan di tempat terhormat seperti ini, dihargai bukan karena paras rupa atau penampilan, tapi karena keyakinan yang ia genggam erat selama ini.

“Terima kasih, Ma…” bisiknya nyaris tak terdengar.

Keynan menimpali dengan suara dalam yang tenang, “Saya rasa… ini menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa perjuangan menjaga identitas Muslim sejati memang berat, apalagi di zaman seperti sekarang. Tapi bukan berarti kita boleh diam. Kita tetap harus bersuara… dengan sikap, dengan teladan. Tidak menyalahkan, tapi menyentuh.”

Umi, Kanya dan Aisyah mengangguk pelan.

Lalu, Kyai Zubair yang sejak tadi menyimak dalam diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang dan penuh wibawa.

“Kita tidak sedang membenci mereka yang tersesat, tidak sedang mencaci mereka yang lalai,” ujarnya bijak. “Tapi kita sedang menangis… menangisi generasi kita yang hilang arah. Kita sedang berdoa, agar Allah menyentuh hati mereka, membukakan jalan kembali. Kita semua pernah salah. Tapi tugas kita sebagai orang tua, sebagai sesama Muslim, adalah menjadi lentera… bukan hakim.”

Ia menatap Kanya, lalu ke arah Keynan dan Aisyah.

“Dan ketika Allah menghadirkan menantu seperti Kanya… itu bukan hanya nikmat, tapi amanah. Amanah untuk menjaga, membimbing, dan mendukungnya agar ia tak goyah di tengah badai zaman.”

Aisyah terisak pelan. Ia menoleh, memeluk Kanya perlahan. “Kami akan menjagamu, Nak… seperti kamu menjaga kehormatan kami dengan akhlakmu.”

Kanya tak kuasa menahan air matanya. Bahunya bergetar, bukan karena sedih… tapi karena haru. Karena akhirnya, setelah lama ia merasa sendiri, merasa asing dan jauh dari tempat pulang—kini, ia benar-benar pulang.

Kepada keluarga.

Dan kepada pelukan yang memberinya tempat untuk tetap menjadi dirinya… seorang wanita yang mencoba tetap taat.

...🌸❤️🌸...

Next chapter..

"Apa aku harus menemuinya? Friska?

Dan berkata… jika Kanya menyerah, aku ingin kembali?"

To be continued

1
Fadillah Ahmad
Huh,kalau Sama Pak Buntala,kau mungkin Sudah Tiada Kian. 😁😁😁 dan Kau tak akan bisa hidup nyaman,karena Pak Buntala akan Menfhantuimu sampai ke alam mimpi 😁😁😁
Fadillah Ahmad
"Angkat Kaki?" Apa Maksudnya itu Kak Nana? Apa Kakinya di angkat sebelah untuk berjalan? Padahal dia punya dua kaki?
Fadillah Ahmad
F8sioterapi Itu Apa Kak Nana?
Fadillah Ahmad
Apa Bedanya UGD Dan IGD Kak Nana?
anonim
Kian jangan kasar kau sama istri - setidaknya pakai bahasa yang baik. Jiiiaaaahhh Kian - istri mana yang senang suaminya berbagi dengan wanita lain. Kian menantang Kanya nih...minta haknya sebagai suami - sekarang. Disambutlah permintaan Kian - kesanggupan Kanya untuk memberikan kewajibannya sebagai istri - sekarang - dengan dua syarat. SKAKMATT !
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Fadillah Ahmad
Ternyata Wajah Wan8ta di balik Cadar itu Sangat Cantik ya kan? Seperti Wajah Wanita,vietnam,korea atau Tiongkok kan,cantik Banget nggk tuh ternyata. gimana dong Kian?

Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁
abimasta
benarkan kian ketemu friska?meski hanya membantunya
love_me🧡
oh jd begitu to ceritanya tp bisa bikin kanya salah paham, kukira kian habis melakukan pertemuan dari club trs ada wanita penghibur yg mendekati..lelaki muda tadi pasti nanti dimasa depan akan jd plot twist hubungan kian&kanya pda saat mungkin mereka mulai dekat& membuka hati satu sama lain
asih
nah Loh akibat susah move on dr mantan yg hampir nikah bisa bikin istri Salah pagan di rumah,Kian Mantabkan hatimu lah jangan main² ,ingin peringatan dr bapakmu jauhi mantan jaga martabatmu sebagai suami,jangan hanya Karna dalil menolong Nanti friska berusaha deketin kamu lagi
Siti Jumiati
hati2 kian kuatkan imanmu jangan sampai kamu khilaf,dan akhirnya kamu akan menyesal dibelakang.
Anitha Ramto
Saya yakin Kian tidak melakukan apa² dengan Friska,ia hanya menolong Friska dan membawanya pulang ke rumahnya,,karena Kian yang bopong Friska jadi kemungkinan besar lipstik dan Parfumnya Friska nempel di kemejanya Kian...itu masuk akal...

Kanya juga bukan Wanita yang akan bertindak bodoh dan tidak akan nuduh Kian tanpa bukti yang kuat...
ayo Kanya berikan hakmu pada Kian...biar Kian tidak menyentuh wanita lain di luar,,perlihatkan wajahmu Kanya jika sedang berdua di kamar
Felycia R. Fernandez
semakin ditentang ,semakin melawan ya Kian...
Kamu melanggar larangan orang tua mu..
jangan sampai kamu kehilangan baru nyadar Kanya wanita terbaik.
ingat pesan ayahmu
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
ternyata oroma Si Friska... alkohol itu dari friska juga
Puji Hastuti
Yuhuuu lanjut kk
Puji Hastuti
Awas ya kian, jangan main api
Hanima
lanjut kk
Sri Hendrayani
nah kan mulai kian main2
Dek Sri
lanjut
abimasta
apakah kian bertemu dengan friska?maaf thor baru sempat baca
abimasta: sama2 ka
🌠Naπa Kiarra🍁: Gak apa-apa, Kak. Santai aja. Kalau emang lagi sibuk ya gimana. Makasih masih disempetin baca. 🤗🙏
total 2 replies
anonim
Kanya jantungnya ber-disco ria - hatinya tak bisa tenang - menanti di jemput suami. Ternyata yang menjemput mama Aisyah dan papa Keynan - kebayang bagaimana perasaan Kanya - tetap ada rasa bersyukur.
Kedua orang tua Kian itu agamis - Kian membalas pesan Kanya tanpa salam - mungkin menjalankan ibadah sholat juga bolong-bolong 🤭. Suami tak bisa jemput Kanya kata mama Aisyah - Kian tiba-tiba keluar kota.
Tiga malam Kanya telah berada di rumah mertua - Kian masih di luar kota.
Wuuaaahhh Kian pulang dari luar kota bau parfum wanita - kerah kemeja ada noda lipstik - gile bro. Awal pernikahan yang mengecewakan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!