"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 .Malam Yang hangat
Malam itu, setelah semua kembali ke tenda, Aqinfa duduk sendirian di luar. Sisa kabut masih menggantung tipis di antara pepohonan, menari-nari di atas rerumputan yang basah. Udara dingin menggigit kulit, tapi Aqinfa hampir tidak merasakannya.
Ia memandangi langit. Bintang-bintang berkelap-kelip malu-malu di balik tirai awan yang bergerak lambat. Tapi pikirannya tidak ada di sana. Ia masih tertinggal di dalam kabut—di tempat di mana suara itu memanggilnya, samar namun sangat nyata.
"Aqinfa..." suara itu memanggil dari balik kabut, dalam mimpi maupun nyata. Lembut, namun memilukan. Suara yang membuat hatinya bergetar, seolah berasal dari seseorang yang dulu sangat berarti... tapi wajahnya kabur.
Ia memejamkan mata.
Seketika, bayangan dari dalam kabut muncul kembali. Sosok lelaki tua, berjubah putih dengan mata teduh. Tersenyum padanya... lalu hilang begitu saja saat ia mencoba mendekat.
“Apa itu... ayah?” gumamnya.
Langkah pelan terdengar dari arah belakang. Tanpa perlu menoleh, Aqinfa tahu siapa itu.
“Ziqi,” katanya pelan, nyaris berbisik.
Pemuda itu tidak menjawab. Ia hanya duduk di sampingnya, sedikit berjaga jarak seperti biasanya, tapi tidak sejauh dulu. Keheningan menyelimuti mereka, tapi bukan keheningan yang membuat canggung. Justru... terasa tenang.
Beberapa saat berlalu sebelum Aqinfa membuka suara lagi.
“Di dalam kabut itu... aku merasa sendirian. Tapi sekaligus... seolah ada seseorang yang menungguku.”
Ziqi menoleh sedikit. “Kabut bisa mempermainkan pikiran. Tapi kadang, itu juga cermin dari yang kita simpan dalam hati.”
Aqinfa mengangguk perlahan. “Aku tidak tahu siapa dia. Tapi... hatiku sakit waktu tak bisa menjangkaunya.”
Ziqi menatap ke langit. “Aku tahu perasaan itu. Saat seseorang yang kita rindukan terasa begitu dekat, tapi tak bisa kita sentuh.”
Aqinfa menoleh, menatap wajah Ziqi dari samping. Wajah yang dingin dan tenang itu, untuk pertama kalinya, tampak... rapuh.
“Siapa yang kau rindukan?” tanyanya hati-hati.
Ziqi terdiam sejenak. “Ibuku,” jawabnya akhirnya. “Dia hilang saat aku masih kecil. Tidak ada jasad. Tidak ada petunjuk. Hanya... hilang.”
Aqinfa menunduk. “Maaf.”
Ziqi menggeleng pelan. “Sudah lama berlalu. Tapi sejak saat itu... aku belajar menutup diri. Karena kehilangan terasa lebih mudah kalau tidak ada yang terlalu dekat.”
Sunyi.
Aqinfa perlahan menyandarkan kepalanya ke bahu Ziqi. Gerakannya ringan, tak memaksa. Tapi cukup untuk membuat napas Ziqi tertahan sepersekian detik.
“Kalau begitu... izinkan aku jadi pengecualian,” bisik Aqinfa.
Ziqi tidak menolak. Ia tidak bergerak. Tapi Aqinfa bisa merasakan ketegangan di bahunya perlahan mencair.
Mereka duduk begitu saja dalam diam. Ditemani angin malam dan bisikan kabut yang kini tak lagi menakutkan.
Saat fajar menjelang, kabut tipis terangkat dari rerumputan. Aqinfa membuka matanya perlahan, merasa sedikit lebih ringan. Luka di tubuhnya belum sembuh, tapi luka di dalam... mulai mendapat cahaya.
Ia bangkit, menyiapkan perlengkapan, dan melipat peta spiritual yang diberikan pengawas.
Di luar, Ziqi sudah menunggu. Tidak bicara banyak, hanya memberi anggukan kecil.
Mereka menerima perintah penyelidikan: sisi barat lembah. Bersama.
Saat mereka berjalan berdampingan, Aqinfa melirik Ziqi.
“Kau tahu?” katanya dengan nada menggoda. “Malam tadi... cukup hangat.”
Ziqi mendengus pelan. “Jangan terbiasa,percayalah ada dirimu sendiri bukan pada oranglain.”
Aqinfa terkikik. “Terlambat. Aku sudah mulai suka.”
Ziqi menoleh sekilas, dan Aqinfa melihatnya—senyuman kecil, sekilas, namun nyata.