Setelah enam tahun menjalani hubungan jarak jauh, Raka dan Viola kembali dipertemukan. Namun cinta tak selalu berjalan mulus, mereka harus menghadapi tantangan dan rintangan yang menguji kekuatan cinta mereka.
Apakah cinta mereka akan tetap kuat dan bertahan, ataukah jarak akan kembali memisahkan mereka selamanya?
"Nggak ada yang berubah. Love only for you, Viola. Hanya kamu..." ~Raka.
🍁🍁🍁
Novel ini merupakan Sequel dari novel yang berjudul 'Sumpah, I Love You'. Selamat menyimak dan jangan lupa tinggalkan jejak. 😇😇😇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : LOFY
"Duh, kok gue jadi dikelilingi sama berondong gini sih."
Sebenarnya tadi Dian ingin mengejar Viola, namun Zaki dan teman-temannya menahannya dan membiarkan Raka yang pergi untuk menyusul. Mereka berempat juga membawa Dian untuk menunggu di rumah singgah, rumah yang dijadikan markas untuk berkumpul oleh mereka.
Mereka berlima kini sedang duduk-duduk di kursi teras rumah itu. Meskipun tidak mudah, tapi mereka berharap Raka bisa membujuk Viola dan mengajaknya kembali.
"Eh... Mbak, mau minum atau..."
"What? Mbak?" Dian menganga saat mendengar Ezar memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. "Lo lagi ngomong sama gue?"
"Ya emang ngomong sama siapa lagi, disini kan yang cewek cuma Mbak doang," jawab Ezar begitu blak-blakan, mengabaikan ekspresi gadis dihadapannya yang wajahnya sudah memerah menahan kesal.
"Ya ampun berondong...! Cantik-cantik gini gue dipanggil Mbak, emang muka gue mirip anak pembantu apa?" kedua telapak tangannya dia letakkan di pipi, menepuk-nepuknya sedikit keras. "Nggak ah, gue cantik kok." ucapnya penuh percaya diri.
Zaki dan yang lainnya tertawa mendengar perdebatan kecil antara Dian dan Ezar.
Ezar mendesah panjang, "Ya udah deh iya, panggil kakak."
"Nggak!" protes Dian, jari telunjuknya menunjuk satu persatu pada empat pria yang duduk di hadapannya. "Pokoknya kalian berempat, panggil gue pakai nama. Nggak usah pakai embel-embel kakak apalagi Mbak! PAHAM???"
-
-
-
Entah sudah berapa lama Viola berjalan sendirian sejak meninggalkan arena yang dijadikan tanding balap tadi. Udara dingin malam itu bahkan tak membuatnya merasa dingin meskipun dia hanya menggunakan celana dan kaos pendek saja. Dia bahkan lupa tidak memakai jaketnya saat keluar rumah tadi karena pikiran sudah campur aduk setelah mendapatkan telepon dari salah satu temannya Raka.
Suara berisik kendaraan masih terdengar di sekitar, aroma-aroma makanan para pedagang kaki lima yang berjualan di seberang jalan menguar di udara. Perutnya tiba-tiba merasa lapar setelah lelah menangis dan berjalan kaki lumayan jauh.
"Heuh..." langkahnya terhenti saat menyadari handphonenya ternyata tidak ada dikantong. Tadi dia menaruhnya di mobil Dian dan lupa membawanya saat turun karena terlalu mengkhawatirkan Raka yang sedang ikut balapan.
"Dian mana sih, bukannya nyusulin gue juga. Mana gue nggak bawa uang lagi. Duh, pulang naik apa ini." wajahnya berubah panik. Dia terkesiap saat seseorang tiba-tiba memasangkan jaket di bahunya.
Viola hendak melangkahkan kakinya kembali saat menyadari siapa yang kini sedang berdiri di belakangnya, namun secepat itu juga Raka menahan pergelangan tangannya dan membalikkan tubuhnya. Menariknya mendekat hingga jarak mereka kini sangatlah dekat.
Pandangan mereka saling bertemu. Waktu seolah berhenti untuk beberapa detik saja.
"Maaf karena udah buat kamu khawatir dan takut, tapi aku benar-benar nggak ada maksud seperti itu."
Viola menurunkan pandangannya, masih enggan untuk menjawab. Hatinya masih merasa kesal, meskipun sudah tidak sekesal tadi saat berada di arena tanding balap.
"Ini udah malam, Vio. Bahaya kalau cewek jalan sendirian, kamu ikut aku pulang ya?" bujuknya selembut mungkin. "Kamu boleh pukul aku lagi, tapi jangan pergi ya?" katanya lagi saat melihat gadisnya itu hanya diam.
Pandangannya menatap kendaraan yang sedang berlalu lalang, Viola masih enggan untuk menjawab. Napasnya terasa berat saat rasa kesal itu kembali datang.
Tangannya dia tarik dari genggaman Raka hingga terlepas, "Aku masih marah. Sudah tahu aku nggak suka kamu balapan tapi kamu masih tetap aja balapan!.
"Aku tahu," jawab Raka. "Dan alasan aku ikut balapan ada hubungannya dengan apa yang ingin kamu sampaikan tadi pagi. Papaku menemui kamu dan membicarakan tentang masalah perjodohan bukan?"
"Heuh," wajahnya kembali terangkat, pandangan mereka kini bertemu.
Raka mengangguk, "Ya, aku sudah tahu semuanya, Vio. Jadi ini alasan kamu menghindari aku dengan nggak mau mengangkat telepon dariku saat aku masih di London kemarin?"
Matanya yang sudah kering kini kembali basah, "Ak-aku..."
Raka meletakkan jari telunjuknya di bibir Viola, "Pilihanku nggak akan berubah, Viola. Meskipun aku harus menentang papaku aku akan tetap mempertahankan hubungan kita, mempertahankan kamu. Jadi kamu nggak perlu menakutkan tentang apapun, jangan takut jika aku akan berubah apalagi sampai berpaling. Dan soal balapan tadi aku benar-benar minta maaf, tadinya aku pikir aku bisa melupakan sejenak masalahku jika aku ikut balapan. Aku sampai nggak mikirin perasaan kamu, aku minta maaf."
Viola mengangguk-angguk, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Raka dan menempelkan pipinya di dadanya. "Jangan ulangi lagi, aku nggak mau kamu kenapa-napa."
"Iya, aku janji," Raka membalas pelukan itu, mendaratkan ciuman lembut di kepala. "Soal apa yang papaku katakan jangan terlalu dipikirkan, kita pasti bisa lewati ini sama-sama."
Pelukan itu berlangsung lama. Wajahnya tersenyum dalam pelukan hangat itu. Viola merasa lebih tenang, hatinya kembali menghangat.
Kedua matanya terbuka lebar saat beberapa pertanyaan mulai mengisi isi kepala, Viola menjauhkan kepalanya tanpa menurunkan tangannya dari pinggang Raka.
Matanya menelisik mata indah itu, menemukan keteduhan disana. "Apa kamu berantem sama papa kamu?"
Satu tangannya terangkat untuk menyentuh rambut Viola, merapikannya kebelakang. "Aku memiliki rencana sendiri untuk hidupku, dan aku ingin kamu tetap ada disana untuk mendukungku. Enam tahun ini kita bisa melewatinya sama-sama meskipun terasa berat untuk dijalani, dan sekarang kita masih tetap bisa sama-sama juga untuk melewati ujian ini kan?"
Viola mengangguk pelan.
"Oya, sebelum pulang apa kamu mau makan sesuatu dulu?" kedua alisnya saling bertaut, "Tadi kan aku udah buat kamu menguras emosi dan tenaga dengan nangis dan jalan kaki sampai sejauh ini, pasti kamu capek dan lapar kan?" tanyanya dengan nada bercanda.
Kedua tangannya dia lipatkan di dada, keningnya mengernyit dalam berpura-pura berfikir keras, "Pasti tadi kamu lagi mikir gini, lapar tapi nggak bawa uang buat beli makan, mau pulang juga nggak ada ongkos buat naik taksi."
"Raka...!" tangannya mencubit pinggang Raka. "Ikhh... Nyebelin banget sih!"
"Ya kan aku cuma nebak, Sayang. Berarti bener dong tebakan aku," Raka tertawa, kakinya bergerak mundur untuk mengindari cubitan Viola yang masih berlanjut.
"Sumpah, ngeselin banget! Aku tuh lagi mode marah malah kamu becandain gini." Kakinya ikut maju, tangannya siap memberikan cubitan lagi tapi geraknya tertahan saat tangan Raka memegangi pergelangan tangannya.
Suasana mendadak hening saat mata mereka kembali bertemu. Raka menarik tangan Viola dengan lembut, membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka saling menatap dengan intens, saling menghubungkan perasaan yang kuat.
Viola menelan salivanya kasar, merasakan debaran jantungnya semakin kencang. Setiap kali Raka menatapnya seperti ini dia tahu akhirnya akan kemana. Tapi tetap saja dia merasa gugup dan tidak bisa mengontrol debaran jantungnya sendiri.
Jari tangannya mengerat saat wajah Raka kian mendekat, matanya terpejam kuat saat bibir mereka saling bertemu. Waktu seakan berhenti bagi Viola. Dalam sekejap mereka seperti berada di dunianya sendiri, tanpa memperdulikan sekitar.
Ciuman itu begitu lembut, mampu membuat mereka hanyut dalam perasaan cinta dan kasih sayang. Kedua tangan Viola sudah naik ke bahu saat tangan Raka menarik pelan pinggangnya mendekat.
Suasana romantis yang mereka ciptakan itu mampu membuat darah seseorang yang sedang berada di dalam mobil seakan mendidih. Rahangnya mengeras, matanya memerah menahan kemarahan yang cukup besar.
...🍁🍁🍁...
bisa ngomong baik baik jangan langsung nge gass yang ada Leo juga pergi.
sekarang takut kan klo ditinggal..
istri kok sering bentak suami😒
buat apa punya istri disaat keluarga suami terpuruk dia gak mau bantu.
padahal selama ini hidupnya juga disokong papa mertua nya...
giliran papa mertua nya ada masalah dia gak perduli...
buang kelaut istri mu Leo
saling terbuka ya...
.. padahal aku belum baca bagian ini.. tapi jawabanku sama persis kek Raka/Joyful/
tapi lebih ke Raka ingin mandiri dia Mak
berharap On
.covernya kelar juga akhirnya👏👏