Mahardika Kusuma, seorang pengusaha sukses tak menyangka bisa dibodohi begitu saja oleh Azalea Wardhana, wanita yang sangat ia cintai sejak kecil.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dika seketika terduduk. Dia tak mengira jika wanita yang sekarang telah resmi menjadi istrinya telah membawa benih orang lain.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
Hanya itu yang bisa Dika lakukan, tanpa ingin menyentuhnya sampai anak itu lahir.
🌺
"Lea."
"Papa salah, aku Ayu bukan mama," kata putri yang dulu pernah dia senandungkan azan di telinganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Sarapan Bersama
Sudah satu minggu Ayu bersantai di rumah. Mungkin sudah saatnya untuk menyampaikan amanah dari Kakek Wisnu.
“Ayu, mulai besok kamu harus ikut Papa ke perusahaan kakek.”
“Harus Besok ya, Pa.”
“Papa. Sepertinya Ayu belum siap,” kata Ayu dengan gelisah.
“Kapan lagi kamu akan memulainya, kalau tidak sekarang,’’ kata Dika dengan bijak.
“Padahal Papa sudah mengurusnya selama ini dengan baik. Kenapa juga kakek menyuruhku menggantikannya?”
“Itu perusahaan kakek yang diwariskan kepada mamamu. Itu hakmu.”
“Apakah kakek sudah tak mempercayaimu lagi, Pa?”
“Boleh jadi,” jawab Dika dengan santai.
Meskipun Ayu masih ingin berleha-leha dulu setelah lulus kuliah, tapi kemauan kakek Wisnu tak mungkin ia tolak. Ia sudah sangat tua. Ia ingin pensiun dari perusahaan. Biarlah yang muda menjalankan perusahaannya, begitulah kata kakek Wisnu saat wisudanya dulu.
“Bagaimana, sudah siap?” tanya Dika kemudian.
“Insya Allah Papa,” jawab Ayu. Dia tak punya pilihan.
“Papa jangan lepas Ayu dulu, Ini baru bagi Ayu.”
“Papa faham.”
Esok paginya, Ayu mempersiapkan diri untuk mengikuti Papa ke perusahaan yang merupakan warisan mama Lea. Meski dia masih sangat ragu untuk bisa menjalankan perusahaan ini, namun ia akan mencoba untuk bisa menjalankannya dengan baik. Dia tak mau mengecewakan Papanya dan masa yang telah ia habiskan selama menempuh pendidikan.
“Ayu, kita sarapan dulu yuk,” ajak Dika sambil mengetuk pintu kamarnya.
“Sebentar, Pa. Papa turun dulu saja.”
Dika pun meninggalkannya. Dia turun melewati anak tangga menuju meja makan.
Dia pun menyiapkan sarapan paginya sendiri. Ia mengambil 2 lembar roti dan dioleskan nya dengan selesai kacang.
Tanpa sadar dia melihat Ayu yang sedang menuruni anak tangga. Dia pun terkesima. Ayu yang berpakaian stylist berwarna pastel sangan pas membalut tubuhnya. Baju yang ia belikan tadi malam.
“Cantik,” gumam Dika lirih.
“Apakah ada yang kurang, Pa,” tanya Ayu.Ia merasa aneh, mengapa papa Dika memandangnya tanpa berkedip.
Dika tertawa kecil. Di hadapannya, Ayu adalah gadis kecilnya yang tak pernah berubah, manja dan ceria. Hanya saja, hati Dika yang berubah. Dimana setiap dia memandangnya, selalu saja terselip rasa yang dulu pernah tumbuh pada Lea. Dan celakanya, ia tak mampu menepisnya, takluk pada rasa yang tak wajar. Berkali-kali, ia harus mengingatkan pada diri sendiri, bahwa gadis di depannya ini adalah putrinya.
Oh, mengapa dia tak bisa berterus terang saja. Bahwa Dia lelaki asing yang berhak untuk dicintai, bukan sekedar orang yang harus dipanggil ‘Papa’.
“Papa!” panggil Ayu sambil mengibas-ngibas tangannya di depan kedua mata Dika.
Dika pun tersenyum. Khayalnya pun kembali di alam nyata.
“Kamu teramat cantik, Ayu. Papa jadi takut akan banyak lelaki yang jatuh cinta padamu.”
Hahaha… Ayu pun tertawa.
“Papa, Ternyata pandai merayu juga. Namun mengapa tak satu pun wanita Papa dapatkan.”
“Ada yang selalu menyabotase,” kata Dika berkelakar. Ia ingat akan masa kecil Ayu yang suka bikin gara-gara kalau ada wanita yang mau dekat dengannya.
“Papa jangan mengolok-olok Ayu seperti itu. Ayu jadi malu.” Dia pun meletakkan rotinya, enggan untuk makan.
“Papa hanya bercanda. Ayo kita sarapan! Nanti keburu siang,” ajak Dika.
“Boleh ajak Mbok sarapan?” tanya Ayu. Ia pasti kewalahan dengan candaan papa Dika. Dengan adanya mbok Sari, mungkin bisa meredam keusilannya.
“Boleh.”
Ayu pun beranjak, mencari mbok Sari.
Tak lama kemudian Ia telah kembali dengan bergelayutkan manja di pundak Mbok Sari.
Dika pun senang. Karena wanita ini yang telah mengasuhnya dan Lea sejak kecil, dan ditambah pula mengasuh Ayu waktu bocil. Sudah saatnya dia beristirahat.
“Mbok, Ayo duduk!” Ayu pun menggeser tempat duduk di sampingnya.
“Nggak apa-apa, Mbok. Duduklah!” kata Dika pada Mbok sari yang terlihat masih ragu.
Sementara itu, Ayu pun mengambilkan piring untuknya dan mengoleskan roti dengan selai untuk dinikmatinya.
“Ayo, Mbok. Sarapan!”
“Ya, Den Dika.” Dia pun menikmatinya mesti dengan ragu. Baru kali ini majikannya memperlakukannya seperti ini.
“Mulai sekarang, Mbok nggak usah bekerja lagi, cukup temani kami makan. Untuk pekerjaan mbok, biar orang lain saja yang mengerjakan,” ucap Dika.
“Terima kasih, Den.”
Meski begitu ia akan mengerjakan apapun yang dia bisa selama masih mampu. Dia bersyukur mendapatkan keluarga yang sudah menganggapnya sebagai keluarganya sendiri. Begitupun sebaliknya.
“Ya, Mbok. Temani aku makan. Biar Papa nggak menggodaku terus.”
Yeahh… ternyata alasan ini Ayu mengajak Mbok Sari sarapan bersama mereka. Mbok Sari pun tak bisa menahan tawa.
“Non Ayu ini ada-ada saja. Mbok kira ada apa,” kata Mbk Sari sambil memandang Dika tajam.
“Lho, Mbok. Aku nggak ngapa-ngapain Ayu, Kok,” jawab Dika sambil mengangkat tangan.
Tak peduli dia majikannya, ia akan menegurnya kalau terjadi apa-apa dengan Nona kecilnya.
Selesai sarapan, Ayu pun segera membereskan peralatan makan mereka.
“Biar mbok saja, Non. Kalian nanti kesiangan.”
“Tidak, Mbok. Hari ini Ayu sedang baik. Besok, kalau Ayu lagi nggak baik, Mbok yang ngerjain.”
Nona kecilnya ini selalu punya jawaban yang menggemaskan. Sehingga mau tak mau dia pun menurutinya, meski masih segan.
Ayu pun segera membawa peralatan makan yang telah kotor ke dapur. Meninggalkan Mbok Sari dan Dika di meja makan.
Mumpung Ayu sedang tak ada. Lebih baik Dia bicara terus terang pada Dika tentang Ayu.
“Den Dika mencintai Non Ayu?” tanyanya hati-hati.
Dika pun menghembuskan nafasnya berlahan. Dia tak mungkin berdusta tentang perasaannya pada wanita yang sudah dianggapnya orang tuanya sendiri ini. Dia akan lebih nyaman jika berterus terang.
“Apa itu salah, Mbok.”
“Tidak ada yang salah dengan perasaanmu, Den. Mbok hanya bisa mendoakan, semoga kalian berjodoh.”
“Entahlah, Mbok. Aku sendiri masih ragu, apakah akan melangkah maju atau berhenti sampai di sini. Aku selama ini menganggapnya sebagai putriku. Dan aku nggak mau memaksakan perasaanku ini padanya.”
“Mbok tahu…” Mbok Sari pun menghentikan kata-katanya ketika melihat Ayu melangkah menuju ke arahnya.
Keduanya pun berpamitan.
“Ingat lho, Mbok. Mbok nggak boleh kerja lagi,” kata Ayu sebelum membalikkan badan.
Mbok Sari pun menjawabnya dengan senyuman.
Dalam hati dia berdoa agar Dika segera menemukan tambatan hatinya meski tidak harus dengan Nona Ayu. dia sedih sendiri dengan ketidak terus terangan Lea pada saat itu ditambah pula dengan keluarganya yang mengambil paksa Ayu.
Tapi sekarang Ayu telah dewasa, dia berhak untuk menentukan sendiri akan nasibnya. dan juga tentang lelaki yang akan dicintainya.
***
Tiba di kantor, dia sudah disambut dengan penuh hormat dari para pegawainya yang berjajar rapi di pintu. Membuatnya tak nyaman. Dia pun langsung membubarkan, agar mereka bekerja.
“Papa ini aneh-aneh saja bikin acara,” protesnya.
Ayu lebih suka bila orang akan menyapanya dengan kata sederhana, “Hallo, apa kabar?” dengan sebuah senyuman tulus. Dari pada dengan harus menikmati rasa hormat dengan senyum penuh kepalsuan.
“Bukan Papa, tapi bawahanmu yang mengaturnya.” Dika pun mengelak.
“Ah, Papa.”
Ayu pun tak berani mendebatnya lagi. Dia pun mengiringi langkah Papa Dika menuju ruangannya.
mampir juga di karya aku ya🤭