Azura Eliyena, seorang anak tiri terbuang. Ibu dan Ayahnya bercerai saat usia Azura masih tiga tahun. Bukan karena ekonomi, melainkan karena Ibunya tak sudi lagi bersama Ayahnya yang lumpuh. Ibunya tega meninggalkan mereka demi pria lain, hidup mewah di keluarga suami barunya. Menginjak remaja, Azura nekat kabur dari rumah untuk menemui Ibunya. Berharap Ibunya telah berubah, namun dirinya justru tak dianggap anak lagi. Azura dibuang oleh keluarga Ayah tirinya, kehadirannya tak diterima dan tak dihargai. Marah dan kecewa pada Ibunya, Azura kembali ke rumah Ayahnya. Akan tetapi, semua sudah terlambat, ia tak melihat Ayah dan saudaranya lagi. Azura sadar kini hidupnya telah jatuh ke dalam kehancuran. Setelah ia beranjak dewasa, Azura menjadi wanita cantik, baik, kuat, tangguh, dan mandiri. Hidup sendirian tak membuatnya putus asa. Ia memulai dari awal lagi tuk membalas dendam pada keluarga baru Ibunya, hingga takdir mempertemukannya dengan sepasang anak kembar yang kehilangan Ibunya. Tak disangka, anak kembar itu malah melamarnya menjadi Istri kedua Ayah mereka yang Duda, yang merupakan menantu Ayah tirinya.
“Bibi Mackel… mau nda jadi Mama baluna Jilo? Papa Jilo olangna tajil melintil lhoo… Beli helikoptel aja nda pake utang…” ~ Azelio Sayersz Raymond.
“Nama saya Azura, bukan Bibi Masker. Tapi Ayah kalian orangnya seperti apa?” ~ Azura Eliyena.
“Papa ganteng, pintel masak, pintel pukul olang jahat.” ~ Azelia Sayersz Raymond.
“Nama kalian siapa?”
“Ajila Ajilo Sales Lemon, Bibi Mackel.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1. ANAK TIRI TERBUANG MENJADI ISTRI TANGGUH DUDA KILLER
HARAP BACA SINOPSIS DULU YA 🌼
🌹 [Visual Azelia Sayersz Raymond]
🌹[Visual Azelio Sayersz Raymond]
Malam itu, langit bergemuruh dahsyat. Seorang wanita menyeret sebuah koper. Ia berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di depan rumah, namun langkahnya terhenti ketika seorang gadis kecil memeluk kakinya dengan erat.
"Mama... Mama mau ke mana? Jangan pergi, Ma. Kasihan Papa sama Azura. Kalau Mama pergi, gimana nasib kita?"
Isak tangis putri pertamanya pecah. Ia memeluk sebelah kaki ibunya sekuat tenaga. Memohon agar Ibunya tak pergi. Namun, ekspresi dingin wajah sang ibu membuat anak itu ketakutan. Tatapan itu begitu menakutkan sehingga hatinya menciut. Ia hanya bisa terus memeluk kaki ibunya, berharap keajaiban datang dan mengubah keputusan sang ibu. Namun…
BRUKH!
“Singkirkan tangan kotormu itu. Sudah saya bilang, saya bukan lagi Ibumu!”
Jdarr!
Ucapan wanita itu bagai sambaran petir yang menghancurkan harapan putrinya. Akan tetapi, gadis kecil itu tak menyerah.
“Bohong! Mama jangan bohong. Mama jangan bilang begitu. Mama… ayo masuk ke rumah. Jangan pergi… kasihan Papa sama Azura masih butuh Mama,” tangisnya makin kencang.
“Cih, lepaskan!” bentak wanita itu. Dengan kasar, ia mendorong tubuh rapuh putrinya hingga nyaris terjatuh.
“Tunggu, Mama. Kasih tahu dulu di mana adik bungsu Hira?” tanya gadis kecil itu bernama Sahira.
Dengan tatapan sinis, wanita itu berkata, “Adik bungsumu sudah mati.”
Degh!
Nafas gadis kecil itu tercekat. Matanya melebar dan tubuhnya membeku mendengar itu.
“Sekarang jangan ganggu saya lagi! Sana masuk saja lihat Ayahmu yang cacat itu!”
Gadis kecil itu didorong kembali, kali ini ia tersungkur ke tanah. Baju tidurnya kotor dan telapak tangannya sedikit berdarah.
“MAMAAA!!” teriak Sahira buru-buru mengejar Ibunya namun wanita itu sudah pergi bersama pria lain.
Gadis kecil itu berlari masuk. Ia menuju ke kamar Ayahnya. Air matanya makin tumpah melihat Ayahnya yang lumpuh terjatuh dari kursi roda. Adik kecilnya, Azura yang masih tiga tahun, tampak menangis tersedu-sedu dalam pelukan sang Ayah.
Pria lumpuh itu dengan tatapan iba, ia mengulurkan sebelah tangannya. Sahira lekas memeluknya.
“Papa… kenapa Mama pergi? Apa salah kita? Kenapa Mama pergi sama laki-laki itu? Adik bungsu Sahira juga masih hidup, kan?” Isak Sahira, namun sang Ayah tak berkata apa-apa dan hanya memeluknya dengan erat. Ibu mereka telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
12 tahun kemudian.
Sahira telah dewasa dan Azura sudah tumbuh besar. Tanpa sosok Ibu, dua gadis itu menjalani hidup mereka dengan baik berkat kerja keras Pak Andersson, Ayah mereka yang sudah tidak lumpuh lagi. Meskipun Pak Andersson terkenal galak pada orang lain, tapi ia adalah Ayah yang baik untuk anak-anaknya.
Sayangnya, Azura yang tak pernah melihat Ibunya, ia mulai merindukan wanita itu. Ia sering menanyakan di mana Ibunya, tapi Sahira dan Pak Andersson tak pernah mau menjawabnya. Sehingga ia memutuskan mencari sendiri Ibunya.
Saat membersihkan kamar Ayahnya, gadis itu tak sengaja menemukan foto Ibunya. Senyum sumringah langsung terukir di bibirnya.
“Ternyata Ibuku wanita cantik. Tapi kenapa Ayah sama Kakak menyembunyikannya?” Azura bingung. Dari penampilan Ibunya yang seperti model, seharusnya tak ada alasan Ibunya dibenci.
“Azura… kenapa kau lama sekali—” ucap Sahira terputus, ia kaget mendapati Azura menemukan foto keramat itu.
Cepat-cepat, Azura menyembunyikan foto itu ke belakang punggungnya. Akan tetapi, Sahira merebut foto itu lalu ia membuangnya ke tempat sampah.
“Kak, kenapa foto Ibu dibuang?” tanya Azura, pandangannya tertuju pada kertas terkoyak-koyak itu..
“Memang pantas dibuang! Dia juga bukan Ibu kita! Dia perempuan jahat!” ujar Sahira dengan amarah yang meledak.
“Tidak, Kak. Kakak salah! Perempuan itu jelas Ibu. Mukanya masih sedikit mirip denganku. Terus ada cincin pernikahan di jarinya yang sama seperti Ayah. Kakak jangan bohong lagi. Azura tidak akan tertipu kedua kalinya,” ucap Azura sambil memukul dadanya yang sesak.
“Kakak, Azura nggak mau diam lagi. Azura udah nggak tahan lagi. Kakak tahu nggak kehidupan Azura di sekolah? Azura selalu dihina anak tanpa Ibu, anak haram, anak yatim. Padahal Ayah kita masih hidup, tapi mereka masih saja menghina Azura. Kakak juga sering dipanggil perawan tua! Aku nggak terima, Kak!”
Amarah Azura akhirnya terlampiaskan, air matanya jatuh kian membasahi wajahnya membuat Sahira membisu diam. Ekspresi Sahira menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Kehidupan adiknya yang dikira baik-baik saja, ternyata juga mengalami hal yang serupa.
“Kak… tolong ceritakan padaku tentang Ibu,” mohon Azura meraih tangan Sahira.
Sahira mengepal tangan. Permintaan sang adik sangat berat. Sahira takut, perasaan Azura akan semakin terluka mengetahui kelakuan asli Ibunya. Tapi ternyata, dugaan Sahira salah. Azura justru merasa Ibu mereka tak sepenuhnya jahat. Gadis polos itu mengira Ibu mereka pergi karena terpaksa.
“Terpaksa? Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Sahira cukup kecewa.
“Kak, siapa tahu Ibu diancam sama pria itu. Makanya Ibu milih pergi daripada kita dan Ayah terluka,” tutur Azzura.
Sahira yang duduk di sebelah adiknya, ia sontak berdiri. “Jangan bodoh, Azura. Ibu jelas-jelas pergi setelah ketahuan selingkuh. Kakak lihat dengan mata kakak sendiri! Ibu waktu itu nggak melawan saat masuk ke dalam mobilnya!” bentak Sahira marah besar, tampak jelas dari sorot matanya yang menakutkan.
Azura pun berdiri lalu membalas ucapan kakaknya. “Kak, tolong… jangan langsung berpikir seperti itu dulu. Sebaiknya kita cari kebenarannya sama-sama. Gimana kalau kita cari Ibu sekarang, Kak? Siapa tahu Ibu sudah berubah,” saran Azura berharap kakaknya bersedia.
“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kalau Ibu sudah berubah, Ibu sudah kembali pada kita, Ra.”
Sayang, Sahira tak percaya membuat Azura merasa kecewa.
“Kakak selalu begini. Selalu bilang aku bodoh. Kakak memang lebih pintar dari ku, tapi jangan menghinaku lagi. Azura juga manusia, Kak. Punya perasaan, nggak seperti kakak yang nggak pernah mikirin perasaanku! Cuma Ayah yang selalu kakak perhatikan! Apa karena wajah Azura mirip Ibu, karena itulah Kakak nggak mau bantu aku?”
“Kakak sebenarnya benci Azura, kan? Iya kan, Kak?!”
“Stooop, Azura! Kau sudah kelewatan! Kakak tidak pernah membencimu. Justru Kakak sayang,” ungkap Sahira menepuk dadanya yang sakit. Adik yang ia rawat mati-matian, begitu teganya berkata demikian tentangnya.
“Bohong! Bohong! Kalau kakak sayang, seharusnya kakak ceritakan tentang Ibu. Kak Sahira pembohong! Kakak jahat!” teriak Azura marah sampai urat di wajahnya terlihat jelas.
PLAK!
Satu tamparan itu mengubah suasana menjadi hening sesaat. Azura terkejut, begitu pula Sahira tak menyangka dirinya akan memukul adiknya sendiri.
“Arghhhh!!! Azura benci Kakak!” teriak Azura. Ia berlari keluar, meninggalkan Sahira yang jatuh berlutut di lantai. Wanita muda itu menutup matanya. Sudah lama ia menahan air mata itu tapi kali ini air matanya tak bisa terbendung lagi. Ia merasa sangat bersalah telah melukai adiknya.
“Hira, ada apa denganmu, Nak? Kenapa kau menangis?” tanya Pak Andersson yang sudah berdiri di ambang pintu.
Sahira berdiri lalu memeluk Ayahnya. “Maafin Hira, Yah. Hira udah nggak bisa lagi jaga rahasia Ibu dari Azura,” jawabnya membuat Pak Andersson terdiam, mulai cemas.
“Kalau begitu, mana adikmu?” tanya pria berkacamata hitam itu mendorong pelan bahunya, menatap wajah sendu putrinya.
“Barusan Azura keluar, Ayah tidak lihat?”
Pak Andersson menggeleng, membuat tangisan Sahira terhenti lalu panik.
“Yah, kita harus cari Azura! Hira takut dia nekat pergi dari rumah,” mohon Sahira. Benar saja gadis itu sudah melarikan diri dan pada akhirnya dikabarkan hilang. Hal itu membuat Pak Andersson kena serangan jantung.
“Ayah!!” pekik Sahira, ia secepatnya mengirim Pak Andersson ke rumah sakit sebelum terlambat.
____________
Novel ketiga Mom Ilaa, spin off dari novel Zander-Sahira (Ibu Susu)
Fokus ke cerita kelakuan si kembar, Azura, Joeson dan tingkah konyol mereka. Semoga kalian suka ya..
Like, komen, subscribe, vote 🌹 biar Mom Ilaa semangat nulisnya sampai tamat.
pasti lucu tiap ketemu teringat tubuh polos istri nya pasti langsung on
secara dah lama ga ganti oli 😂😂😂
karena klrga joe bukan kaleng3
bapak nymshhidup dn tanggung jawab samaanaj ny, kok malah mauerevut hak asuh.
memang nyari masalah nexh siMatthuas dan Aeishta