Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. PERMINTAAN MENGEJUTKAN
Malam itu, langit Batavia seperti sehelai kain beludru hitam yang dihiasi bintang-bintang kecil berkilau, seakan ikut merayakan ketenangan yang kembali hadir setelah siang yang begitu menegangkan. Di dalam ruang makan kediaman gubernur, suasana jauh lebih hangat. Lampu-lampu minyak bergoyang lembut tertiup angin malam, memantulkan cahaya keemasan pada dinding-dinding kayu yang kokoh. Aroma makanan lezat masih tercium dari piring-piring yang tertata rapi di meja panjang.
Aruna duduk di kursinya dengan sikap yang sopan. Rambutnya tergerai lembut ke bahu, menyembunyikan sedikit rona lelah yang masih tertinggal di wajahnya setelah siang tadi harus berdiri tegak di ruang sidang, menghadapi tatapan orang banyak yang penuh prasangka. Namun bersama Van der malam ini, ia berusaha meyakinkan diri untuk tetap tenang.
Van der, dengan sikap anggun yang selalu membuat semua orang di sekitarnya terpesona, duduk di kursi utama. Jemarinya yang panjang dan kokoh memegang gelas anggur, sesekali menyesapnya sambil memperhatikan Aruna dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Ada kelembutan, ada juga sesuatu yang tersembunyi di balik matanya, seakan ia tengah merencanakan sesuatu.
Percakapan ringan mengisi ruang. Para babu muda sesekali datang membawa tambahan makanan, menata ulang piring, lalu menyelinap kembali sambil menahan senyum kecil ketika melihat tuan mereka begitu perhatian pada Aruna.
Aruna mencoba menyantap makanannya dengan tenang, walau hatinya masih kacau. Hari itu terlalu berat, tubuhnya lelah, dan pikirannya penuh dengan segala tuduhan yang sempat ia dengar. Namun di hadapan Van der, ia tidak ingin terlihat rapuh. Ia sudah terlalu sering menyusahkan lelaki itu.
"Aruna," suara berat Van der tiba-tiba terdengar, memecah keheningan yang hanya diisi denting sendok dan garpu.
Aruna mengangkat wajahnya, menatap Van der. "Ya, Tuan?" suaranya lembut, penuh hormat.
Van der menatapnya sejenak, lalu dengan nada tenang, ia mengucapkan kalimat yang membuat seluruh udara di ruangan seakan berhenti berputar.
"Malam ini datanglah ke kamarku. Tidurlah bersamaku," kata Van der tanpa ragu.
Aruna membelalakkan mata, napasnya tertahan di tenggorokan. Potongan daging yang baru saja hendak ia telan malah membuatnya tersedak. Ia buru-buru menutup mulut dengan serbet, batuk beberapa kali hingga matanya berair.
"Aruna!" Van der segera mencondongkan tubuh, meletakkan gelas anggurnya dengan terburu. Wajahnya sempat tegang, panik, namun sesaat kemudian berubah menjadi canggung. Tangannya hampir saja meraih punggung Aruna untuk menepuknya, tapi ia urung ketika melihat gadis itu berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Setelah beberapa tegukan air, Aruna akhirnya bisa bernapas lega. Pipinya memerah, bukan hanya karena tersedak, tetapi juga karena ucapannya barusan masih bergema jelas di telinganya. Ia menatap Van der dengan mata lebar, penuh kebingungan.
"T-tuan ... apa yang barusan Tuan katakan?" Aruna bertanya dengan suara bergetar.
Van der menatapnya, lalu anehnya sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya. Senyum yang membuat Aruna semakin bingung.
"Aku bilang, malam ini kau ke kamarku," jawab Van der pelan, namun penuh penekanan. "Tidurlah di sana, bersamaku."
Jantung Aruna berdegup begitu kencang. Pipinya semakin panas. Kata-kata itu terlalu langsung, terlalu blak-blakan, hingga membuatnya merasa seakan seluruh tubuhnya terbakar. Ia tak tahu bagaimana harus menanggapinya.
Melihat wajah Aruna yang kalut, Van der justru tertawa kecil, meski masih dengan nada rendah. "Bayaran karena membuatku begitu kewalahan karena kah menyembunyikan sesuatu yang penting dariku. Kau membuatku harus berlari ke ruang sidang, mendengar segala ocehan kosong yang diarahkan padamu. Jadi, sebagai gantinya, kau harus ... membayar."
"Membayar?" Aruna mengulang kata itu dengan nada terkejut, hampir tidak percaya.
Van der mengangguk ringan. "Ya. Kau membuatku harus menunjukkan pada semua orang betapa berharganya dirimu, dan sekarang aku minta kau menunjukkan bahwa kau pun berani mempercayakan dirimu padaku. Malam ini."
Aruna terdiam, dadanya naik turun tak beraturan. Kata-kata itu membuat pikirannya kacau. Ia ingin bertanya lebih jauh, ingin memastikan maksud Van der, tapi lidahnya kelu.
Sementara itu, Van der sudah bangkit dari kursinya. Dengan gerakan tenang namun penuh wibawa, ia berjalan menuju pintu keluar. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh sebentar pada Aruna yang masih terpaku di tempatnya.
"Aku akan menunggumu," ucapnya singkat, lalu melenggang keluar, meninggalkan Aruna yang masih membeku.
Para babu muda yang ada di sekitar meja saling pandang, lalu secara otomatis senyum-senyum penuh arti. Mereka hampir tidak bisa menahan bisikan kecil di antara mereka.
"Lihatlah, akhirnya Tuan memintanya," bisik salah satu dengan mata berbinar.
"Benar, benar! Aku sudah lama menunggu momen ini. Gubernur amat sangat menyayangi Nyonya Aruna," timpal yang lain dengan nada penuh kegembiraan.
Aruna menoleh, wajahnya semakin merah padam ketika mendengar mereka menyebut dirinya 'Nyonya'. Ia hendak menyangkal, tapi suara para babu justru semakin riang.
"Kami akan menyiapkan pakaian tidur paling indah untukmu, Nyonya. Dan sedikit wewangian lembut agar Tuan semakin menempel padamu."
"Ya, ya! Tuan pasti akan jatuh semakin dalam malam ini."
Aruna menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia tidak pernah merasa sekacau ini sebelumnya. Bahkan hari pertamanya datang ke kediaman Van der tidak membuatnya segugup ini. Rasanya jantungnya berdetak terlalu kencang, seakan siap meloncat keluar dari dadanya.
Ia tahu Van der sangat menyayanginya. Ia tahu tatapan pria itu berbeda dibandingkan tatapan siapa pun. Tapi malam ini ucapan Van der membuat semuanya terasa nyata, dekat, dan menggetarkan.
Aruna masih menunduk dalam-dalam, kedua pipinya membara seperti habis disiram api. Kata-kata Van der tadi berulang-ulang bergaung dalam kepalanya.
Tidurlah bersamaku malam ini ... aku akan menunggumu.
Ia hampir tidak bisa mempercayai bahwa kalimat seperti itu benar-benar keluar dari bibir Van der, lelaki yang selama ini selalu menjaga sikap wibawa dan penuh perhitungan. Lelaki yang baginya bagaikan bintang kejora: jauh, bersinar, namun mustahil digapai. Dan kini, bintang itu seakan menunduk, meraih tangannya, mengajaknya masuk lebih dalam ke dalam sinarnya.
"Nyony-eh, Ndoro Aruna," suara riang salah satu babu muda memecah lamunannya. "Anda benar-benar beruntung. Tidak ada seorang perempuan pun di Batavia yang bisa membuat Tuan mengatakan hal seperti itu. Kami semua tahu, hati Tuan sudah lama terpaut pada Anda "
Aruna semakin salah tingkah. Ia mengangkat wajah, menatap para babu dengan gugup.
"Jangan bicara sembarangan," tegur Aruna, suaranya hampir tidak terdengar.
Tapi para babu justru tertawa kecil, saling dorong dengan penuh semangat, seakan mereka tengah membicarakan pesta besar.
"Kami akan menyiapkan segalanya, Nona. Percayakan pada kami."
"Pakaian tidur yang lembut, sutra yang akan membuat Tuan betah menatap Anda sepanjang malam."
"Dan minyak wangi dari bunga melati yang kemarin baru datang dari pelabuhan. Aromanya sangat menenangkan, pasti Tuan tidak akan bisa menjauh darimu."
"Cukup!" seru Aruna, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tapi kemerahan di pipinya justru semakin kentara, membuat para babu makin geli melihatnya.
Mereka jarang sekali melihat Aruna kehilangan ketenangannya. Biasanya, perempuan itu begitu kalem, penuh sopan santun, hampir seperti seorang bangsawan meski bukan berasal dari keluarga berkuasa. Tapi malam ini, satu kalimat Van der saja sudah cukup untuk membuatnya goyah, terbata-bata, dan tak tahu harus bagaimana.
Aruna bangkit dari kursinya dengan tergesa. "Aku ... aku ingin beristirahat dulu," katanya singkat, lalu segera melangkah cepat ke arah kamarnya.
Di belakangnya, para babu masih saling berbisik riang.
"Lihat wajah Ndoro Aruna! Merah seperti bunga mawar. Cantik sekali."
"Besok pagi, aku yakin wajahnya akan lebih bercahaya lagi."
"Ah, benar! Aku tidak sabar mendengar kabar dari kamar Tuan nanti malam."
Aruna menutup pintu kamarnya dan bersandar di baliknya, napasnya memburu. Jantungnya masih berpacu liar. Ia menempelkan telapak tangannya pada dada, seakan berusaha menenangkan degupan yang tak terkendali.
"Ya Tuhan," gumamnya salah tingkah. "Apa yang harus kulakukan?"
Ia berjalan ke meja kecil di dekat jendela, duduk perlahan, lalu menunduk. Malam semakin larut, dan ucapan Van der masih terus berputar di benaknya. Kata-kata itu membentuk pusaran yang membuatnya hampir pusing.
Di satu sisi, ia merasa gugup, takut, dan malu. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang hangat merayap di hatinya, perasaan yang selama ini ia simpan dalam-dalam, perasaan yang sebenarnya tidak pernah berani ia akui. Bahwa ia pun ingin berada dekat dengan Van der. Bahwa kehadiran lelaki itu bagaikan rumah yang membuatnya merasa aman.
Namun, malam ini terasa terlalu cepat. Ia bahkan belum siap untuk ...
Aruna memejamkan mata, berusaha menepis pikirannya. Tapi rasa hangat itu justru semakin membesar, membuat pipinya tetap bersemu merah.
Ketukan pelan di pintu menyadarkannya. Suara riang salah satu babu muda terdengar.
"Ndoro Aruna, boleh kami masuk? Kami membawa beberapa hal untukmu."
Aruna terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. "Masuklah," jawabnya.
Pintu terbuka, dan tiga babu muda masuk sambil membawa nampan berisi berbagai benda. Ada botol kecil berisi minyak wangi, kain sutra lembut berwarna gading pucat, dan beberapa bunga melati segar yang baru dipetik dari taman belakang.
"Kami sudah menyiapkan ini semua untukmu," kata salah satu dari mereka dengan senyum lebar. "Pakaian tidur ini lembut sekali. Dan minyak wangi ini ... ah, Tuan pasti tidak akan bisa melupakan aromanya."
Aruna segera berdiri, melangkah cepat menghampiri mereka sambil menggeleng keras. "Tidak, tidak perlu ... sungguh, tidak usah repot-repot seperti ini."
"Tapi, Ndoro," salah satunya mencoba membujuk. "Malam ini sangat penting. Kau tidak boleh melewatkan kesempatan membuat Tuan semakin jatuh cinta padamu."
"Benar," timpal yang lain dengan mata berbinar. "Kami ingin melihatmu bahagia, Nona. Kau pantas mendapatkannya."
Aruna menatap mereka, hatinya terenyuh sekaligus panik. Ia tidak tahu harus menolak atau menerima. Semua perlakuan ini terasa begitu berlebihan, namun juga begitu manis. Ia tidak pernah dibela, dijaga, dan diperlakukan seperti ini seumur hidupnya.
Akhirnya, ia hanya bisa menunduk, membiarkan mereka menata pakaian dan wewangian di meja. Para babu tersenyum puas, lalu meninggalkannya sendirian dengan segala persiapan yang membuat jantungnya makin berdegup kencang.
Aruna menatap kain sutra itu dengan mata bergetar. Jemarinya yang halus menyentuh permukaannya, merasakan kelembutan yang hampir tak nyata. Ia mengangkat botol kecil berisi minyak wangi, membuka tutupnya perlahan, dan mencium aromanya. Harum melati yang lembut langsung memenuhi udara, menenangkan sekaligus mengguncang jiwanya.
Ia kembali duduk di tepi ranjang, memeluk bantal, dan menenggelamkan wajah di dalamnya. Wajahnya merah padam.
Aku gugup, Tuhan, batin Aruna menjerit.
Di luar kamar, angin malam berhembus lembut, membawa serta aroma laut dari kejauhan. Dan di satu ruangan lain, Van der mungkin tengah menunggu, dengan sabar, dengan senyum yang hanya Aruna seorang yang bisa melihatnya.