Sopirku Mantan Dosaku
Di malam pernikahan Nayara langsung diboyong ke rumah suaminya di kota. Ya. Seharusnya saat ini dia menjadi wanita paling beruntung karena menikah dengan laki-laki tampan, dewasa dan terkaya di desanya.
Tapi lihatlah, saat ini dia malah bersimpuh di lantai dingin dengan tangan yang gemetar. Air matanya sudah berurai sejak tadi, saat ia memutuskan membuka rahasia yang seharusnya ia simpan saja.
"Kau sudah menipuku, Nay. Seharusnya kau bilang sejak awal, dengan begitu tidak akan ada pernikahan ini."
Nayara semakin tertunduk dengan kedua tangan meremas ujung bajunya yang semakin gemetar.
"Aku sungguh bersalah. Tolong ampuni Aku. Aku berjanji akan menebus kesalahanku tapi kumohon jangan pulangkan aku ke rumah orangtuaku," lirihnya.
Bian menyeringai. "Kau sungguh percaya diri sekali. Apakah setelah ini, aku akan tetap menjalani pernikahan ini, hah?"
Wajah laki-laki yang kini duduk di pinggiran tempat tidur memerah menahan amarah sekuat tenaganya. Bagaimana tidak. Dimalam pertama yang selalu didambakan setiap orang, kini dia harus menelan pahit kekecewaan.
"Malam ini juga aku akan memulangkan mu ke rumah orangtuamu."
Gadis itu mendongak menatap wajah tampan suaminya yang selalu terlihat lembut kini berubah menjadi bengis.
"Tidak suamiku. Kumohon ampuni aku. Jangan lakukan itu. Aku tidak mau keluargaku mengetahuinya. Jika tidak, kesehatan bapak akan semakin menurun."
Nayara kini memegangi kaki suaminya dengan tatapan memelas. "Aku akan lakukan apapun, asal jangan pulangkan aku."
Bian kembali menyeringai dengan senyum getir. "Baiklah. Jika itu keinginanmu. Aku akan mengizinkanmu tetap tinggal disini dengan satu syarat." Laki-laki itu menjeda perkataannya. "Putuskan hubunganmu dengan keluargamu. Jangan pernah bermimpi untuk bisa kembali ke kampung halamanmu. Anggap saja mulai saat ini kau seolah terkubur di rumah ini untuk selamanya. Apa kau sanggup?"
Bak tersambar petir, perkataan Bian seperti menghantam hati Nayara hancur lebur. Ia yakin ini hukuman atas kekecewaan yang sudah ia torehkan. Tapi kenapa sekejam ini?
Kini sekujur tubuhnya yang gemetar membayangkannya saja membuatnya meringis. Neraka seperti apa yang akan ia masuki jika menyanggupi perkataan suaminya.
Seolah gadis itu mendapatkan jalan buntu, ia tidak punya pilihan lain lagi. Akhirnya anggukan kepala menjadi awal langkahnya memasuki neraka yang entah sedalam apa api itu melahap habis tubuhnya berkali-kali.
Laki-laki itu memegang dagu Nay agar mendongak ke arahnya. Dapat dilihat bulu mata lentik itu sudah basah oleh air mata. Jika dulu ia begitu mengagumi kecantikan wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu, tapi saat ini amarah menutup mata dan hatinya.
"Statusmu memang istriku dan Nyonya dirumah ini. Tapi bagiku, kau tidak lebih dari gadis rendahan yang sama sekali tidak pantas bermimpi untuk bersanding denganku. Jadi, bersikaplah semestinya."
Tangan itu menghempas dagu Nay kasar. Ia bangun dan berjalan keluar meninggalkan kamar pengantin yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan bagi mereka.
Suara dentuman pintu yang dibanting membuat tubuh Nay lemas seperti daging tanpa tulang. Kini iapun luruh di lantai meratapi nasibnya saat ini.
* * *
Sinar matahari masuk melalui celah tirai. Nay terbangun dari tidurnya karena mendengar pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk dan terkejut mendapati istri majikannya yang kini tertidur di lantai tanpa alas apapun.
"Non, apa semalaman Nona Nay tidur di bawah?" tanya wanita paruh baya itu penuh kekhawatiran.
Nay yang belum mengumpulkan seluruh nyawanya pun tidak langsung menjawab. Matanya menelisik setiap sudut ruangan. Benar, semalam bukan hanya sekedar mimpi buruk.
"Ayo Non, bibi bantu." Wanita paruh baya itu memapah tubuh Nay agar bangun dan mendudukkannya di sisi tempat tidur.
"Sebaiknya Non, lekas membersihkan diri dan turun ke bawah untuk sarapan."
Wanita paruh baya itu tidak lagi berniat mendengar jawaban istri majikannya. Karena sudah dipastikan semalam terjadi perselisihan diantara suami istri tersebut. Melihat Bian yang keluar kamar dengan wajah penuh amarah yang akhirnya majikannya itu tidak pulang semalaman dan menyuruhnya untuk memindahkan barang-barang istrinya ke kamar tamu.
"Baik Bi. Sebentar lagi aku akan turun."
Sebelum keluar wanita paruh baya itu menarik koper yang sejak kemarin berdiri di sudut ruangan. "Mau dibawa kemana Bi koperku?"
Bibi berbalik. "Tuan menyuruh bibi agar membawa barang-barang Nona Nay ke ruang tamu."
Gadis itu termenung sesaat. "Baiklah. Biar aku yang bawa bi. Sekalian aku juga akan membersihkan diri di sana," jawab Nay akhirnya.
Ia sadar posisinya dirumah itu saat ini. Hanya statusnya sebagai istri dari pemilik rumah, tapi jelas ia tidak akan bermimpi untuk menjadi istri yang sesungguhnya untuk suaminya.
Bian sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya sampai pagi. Nay yang kini terduduk di meja makan seorang diri merasakan kekosongan. Tidak pernah sekalipun ia melewatkan sarapan tanpa berkumpul dengan keluarganya. Meski hidangan yang sederhana tapi melihat tawa sukacita keluarga membuat kenikmatan tersendiri bagi Nay dan keluarganya.
Hingga tanpa terasa ujung matanya memanas, sekuat tenaga ia membendung air matanya agar tidak luruh.
"Tidak. Ini bukan saatnya untuk bersedih, Nay. Terima saja nasibmu. Anggap saja ini hukuman karena dosamu sendiri."
Gadis itu memulai sarapan paginya meski dengan penuh kegetiran.
* * *
Sementara di tempat yang berbeda seorang laki-laki tampak gusar. Berkali-kali ia mengeram kesal saat menghubungi seseorang.
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan rumahnya?"
"Sudah bos. Saat ini saya sudah berada di depan rumah. Sepertinya kemarin sudah terjadi sebuah perayaan. Terlihat orang-orang sedang membereskan barang-barang dan membersihkan sisa-sisa pesta," jawab seseorang di sebrang telepon.
Laki-laki itu nampak termenung. 'Perayaan? Apa yang sudah terjadi disana. Dan pesta apa yang sudah mereka gelar?'
"Pernikahan Nayara dan Fabian."
Seseorang di ujung telepon membaca tulisan yang tertera di kertas yang bergelantung di bawah janur kuning yang melengkung.
Deg.
Jantung laki-laki itu berpacu lebih cepat. Jemarinya meremas ponsel yang sedang ia pegang. "Katakan sekali lagi dengan jelas, Ram. Jika kau mengada-ada, habis kau!" ujarnya penuh amarah.
"Tulisannya tertera pernikahan Nayara dan Fabian. Jelas-jelas saya tidak buta huruf, bos."
"Ini gila. Bagaimana mungkin itu terjadi? Nayara ku menikah dengan laki-laki lain? Hahaha. . . Bercanda mu sama sekali tidak lucu, Ram! Ku bunuh kau!"
Laki-laki itu menertawakan perkataan seseorang yang berada di ujung telepon. Tapi seketika tawa itu lenyap berubah kegetiran saat mendengar perkataan lanjutan seseorang tersebut.
"Apa bos mengira saya jauh-jauh datang ke desa ini hanya untuk bercanda? Jangan salahkan saya. Salahkan saja pada papan nama yang menggantung itu. Kenapa nama itu yang tertulis disana."
"Brengsek! Jika omonganmu benar-benar hanya omong kosong, siap-siap nyawamu yang menjadi taruhannya. Saat ini juga aku akan pergi kesana," putus laki-laki itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments