Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahap Inti Roh
Kabut pagi masih menyelimuti kuil tua di puncak gunung ketika Al Fariz membuka matanya. Sudah tiga hari tiga malam dia bermeditasi di sini, tanpa makanan, tanpa air. Tubuhnya lemah, tapi jiwanya semakin terang. Seperti lilin yang hampir habis membakar sumbunya, tapi justru menerangi kegelapan.
"Masih belum," bisiknya pada angin yang berhembus pelan melalui celah-celah batu kuil. "Masih ada satu penghalang terakhir."
Inti Roh. Tahap dimana jiwa dan raga benar-benar menyatu, dimana kekuatan bukan lagi sesuatu yang dikuasai, tapi menjadi bagian dari diri sendiri. Tahap yang akan mengubahnya dari sekadar kultivator menjadi sosok yang benar-benar layak memimpin.
Tapi untuk mencapainya, dia harus menghadapi bayangan terkelam dalam jiwanya.
Dia memejamkan mata lagi, menyelam lebih dalam. Kali ini, yang dia temui bukan amukan leluhur atau kutukan langit. Tapi sesuatu yang lebih menakutkan: dirinya sendiri.
"Kau pikir sudah siap?" suara dalam kepalanya bergema. Bukan suara asing. Itu suaranya sendiri, tapi penuh racun dan keraguan. "Memimpin? Kau yang dulu mengorbankan seluruh kerajaan untuk satu orang?"
Di depan matanya, terbentuk bayangan. Dirinya yang muda, dengan mata masih penuh impian. Memegang tangan wanita berambut perak itu. Lalu adegan berubah - kuil runtuh, sumpah terlanggar, kutukan turun.
"Lihat! Karena kau, Nurendah menderita!" teriak bayangan itu. "Rakyat kelaparan, musuh menyerang, pengkhianat berkuasa. Semua karena egoismu!"
Al Fariz menggigit bibir sampai berdarah. "Aku... aku tahu salahku."
"Tahu? Tapi tetap mau memimpin? Dasar egois!"
Tiba-tiba, adegan berubah lagi. Dia melihat dirinya di masa depan. Duduk di singgasana, tapi sendirian. Semua orang yang dikasihinya pergi. Negeri makmur, tapi hatinya hampa.
"Inilah takdirmu jika terus maju," bisik bayangan itu. "Kesendirian abadi."
Al Fariz hampir menyerah. Air mata mengalir deras. Tapi kemudian...
"Dengar," suara lain muncul. Lebih lembut. Suara anak kecil yang dulu menolongnya. "Dia tidak egois. Dia menyelamatkan ibuku."
Lalu suara pengemis tua: "Seorang pemimpin sejati bukan yang tak pernah salah, tapi yang belajar dari kesalahan."
Suara-suara lain mulai bergabung. Rakyat kecil yang masih percaya padanya. Prajurit setia yang diam-diam menunggu kepulangannya. Bahkan suara pendekar wanita misterius yang pernah menolongnya.
"Kami percaya padamu, Al Fariz."
Bayangan jahat itu mulai memudar. "Tidak! Mereka hanya mengasihanimu!"
"Bukan," bantah Al Fariz, kini dengan keyakinan penuh. "Mereka percaya karena melihat niat tulusku. Karena tahu aku berubah."
Dia berdiri, baik dalam meditasi maupun di dunia nyata. Tubuhnya mulai bercahaya.
"Aku memang pernah salah. Tapi kesalahan itu membuatku mengerti arti pengorbanan. Membuatku tahu bahwa memimpin bukan tentang kekuasaan, tapi tentang tanggung jawab."
Cahaya semakin terang. Seluruh kuil bergetar.
"Inti Roh bukan tentang menjadi sempurna. Tapi tentang menerima segala kekurangan dan kelebihan, lalu menjadikannya kekuatan."
Ledakan energi yang dahsyat tapi sunyi. Al Fariz tidak berteriak, tapi seluruh gunung bergemuruh. Pohon-pohon tua di sekeliling kuil tiba-tiba berbunga, padahal bukan musimnya. Burung-burung berkicau riang, membentuk lingkaran di atas kuil.
Dia membuka mata.
Dan dunia... berbeda.
Bukan hanya warna yang lebih terang atau suara yang lebih jelas. Tapi dia bisa merasakan kehidupan di sekelilingnya. Bisa merasakan getaran jiwa setiap makhluk. Semuanya terhubung.
Dia mengangkat tangan, dan tanpa usaha, sebuah bunga mekar di telapaknya. Bukan ilusi, tapi kehidupan sungguhan.
"Ini... Inti Roh."
Tapi yang lebih menakjubkan adalah apa yang dia rasakan dalam dirinya. Segel kutukan masih ada, tapi sekarang terasa seperti bagian dari dirinya. Bukan lagi belenggu, tapi pelindung. Kekuatannya tidak lagi liar, tapi mengalir harmonis.
Dia berjalan ke tepi kuil, memandang Nurendah di kejauhan. Dan untuk pertama kalinya, dia bisa merasakan keadaan negerinya. Rasa takut rakyat, keserakahan pengkhianat, keputusasaan para loyalis. Semuanya mengalir seperti sungai ke dalam jiwanya.
"Dua hari lagi," bisiknya. "Mereka akan menobatkan pangeran palsu."
Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Dia merasakan keberadaan lain. Bukan musuh, bukan kawan. Sesuatu yang... berbeda. Seperti ada yang mengawasinya dari jauh. Sangat jauh.
Dia memutar tubuh, menatap arah timur. Melewati gunung, melewati lautan. Di sana, di suatu tempat yang bahkan tidak ada dalam peta...
"Ada yang bangun," gumamnya. "Sesuatu yang tua. Dan dia memperhatikanku."
Angin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma yang asing. Bukan aroma Nurendah, atau negeri tetangga mana pun yang dia kenal. Aroma kuno, berdebu, seperti dari zaman yang sudah lama terlupakan.
Dari dalam sakunya, liontin pemberian pengemis tua tiba-tiba berpijar. Liontin berbentuk matahari yang selama ini diam, sekarang hangat dan berdenyut pelan.
"Apakah ini ada hubungannya dengan Guru?" bertanya Al Fariz pada liontin itu, tapi tentu tidak ada jawaban.
Dia duduk lagi, mencoba merasakan lebih dalam. Tapi keberadaan itu sudah menghilang. Seperti hanya sekilas memperhatikan, lalu kehilangan minat.
Atau... tidak.
Mungkin itu hanya peringatan.
Al Fariz berdiri, menyiapkan diri untuk turun gunung. Tubuhnya sekarang lebih ringan, matanya lebih berwibawa. Setiap langkahnya meninggalkan jejak energi halus.
Tapi di balik keyakinan barunya, ada kegelisahan. Pencapaian Inti Roh bukan akhir, tapi awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan dia merasa, pertempuran melawan pangeran palsu dan para pengkhianat hanyalah pembuka dari drama yang lebih besar.
"Siapa pun kau," bisiknya ke arah timur, "aku siap."
Dia turun gunung dengan langkah mantap. Bukan lagi sebagai orang terhina, bukan sebagai pendosa, bukan pula sebagai kultivator biasa. Tapi sebagai Sultan sejati yang sudah menemukan jati dirinya.
Tapi di suatu tempat yang sangat jauh, di menara tertinggi kota yang sudah terkubur pasir selama ribuan tahun, sepasang mata biru pucat terbuka.
"Dia sudah bangun," bisik suara itu, penuh rasa ingin tahu dan... antisipasi. "Putra Nurendah. Akankah dia menjadi penyelamat... atau penghancur?"
Lalu mata itu menutup lagi, meninggalkan teka-teki yang menggantung di udara.
Al Fariz, yang sedang berjalan menuju istana, tiba-tiba berhenti. Merasa seperti ada yang memanggil namanya dari sangat jauh. Tapi ketika dia mendengarkan lagi, yang ada hanya desau angin.
Dia menggeleng, melanjutkan perjalanan. Masih banyak yang harus dilakukan. Tapi dalam hatinya, dia tahu.
Petualangan baru saja dimulai.