Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Hujan itu turun makin deras, membasahi jendela kaca kafe Lemontree Avenue, tempat para eksekutif biasanya singgah sebelum pulang kerja.
Lampu gantung berwarna hangat menyoroti meja di sudut ruangan, di mana Nicholas Alexander duduk sendirian, memutar cangkir kopinya yang sudah lama dingin.
Pintu kafe berdering pelan saat Leo Moreno masuk. Ia melepaskan mantel hitamnya dan langsung melangkah ke arah meja Nicholas tanpa sepatah kata.
Keduanya sama-sama membawa bayangan masa lalu yang tidak ingin diungkit tapi takdir, rupanya belum selesai dengan mereka.
Leo duduk, meletakkan map cokelat di atas meja.
“Seharusnya aku tahu kamu akan mencariku cepat atau lambat,” katanya tenang. “Kau ingin tahu tentang Arabella, bukan?”
Nicholas menatapnya tanpa ekspresi, tapi matanya menyimpan letupan.
“Aku ingin tahu bagaimana dia… dan anak-anaknya,” ujarnya pelan. “Aku tidak peduli apa yang dikatakan media. Aku hanya ingin memastikan mereka aman.”
Leo menyandarkan tubuhnya, melipat tangan di dada.
“Arabella tidak butuh simpati. Yang dia butuh sekarang adalah stabilitas, dan seseorang yang tidak akan menarik perhatian media.”
Ia menatap Nicholas tajam. “Sayangnya, kau bukan orang itu.”
Nicholas terdiam. Ia tahu Leo benar.
Namun diam bukan berarti menyerah.
“Aku tidak datang untuk menebus masa lalu, Leo. Aku datang karena aku masih punya tanggung jawab,”
katanya lirih tapi tegas.
“Anak-anak itu... adalah darah dagingku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mencelakai mereka.”
Leo menatapnya lama, lalu menarik napas pelan.
“Kalau begitu, bantu dia dari jauh. Kau punya kekuatan untuk melindungi tanpa harus muncul di depan kamera.”
Suasana menjadi sunyi. Hanya suara hujan dan dentingan gelas dari meja lain yang terdengar.
Hening itu nyaris sempurna sampai suara tawa lembut dari sisi lain ruangan memecahnya.
***
Di meja dekat jendela, Vania Edward duduk bersama Caroline, sahabat lamanya dari lingkaran sosial elite.
Ia mengenakan dress biru tua dengan perhiasan minimalis, senyum anggunnya tidak pernah benar-benar tulus. Tapi pandangannya yang tajam menangkap sesuatu dari dua pria di sudut, duduk terlalu serius untuk sekadar rekan bisnis.
Caroline meneguk jusnya.
“Van, kamu dengerin aku nggak? Aku bilang rumor tentang Arabella makin parah loh, bahkan katanya.....”
"Diam sebentar, Caroline,” potong Vania cepat, matanya tidak lepas dari arah Leo dan Nicholas.
Ia menyipitkan mata. Leo Moreno, sepupu Arabella yang jarang muncul di publik, duduk bersama Nicholas Alexander tunangannya sendiri.
Hatinya mendadak terasa dingin.
“Apa yang mereka bicarakan?” gumamnya pelan.
Caroline menatap bingung. “Leo? Kamu kenal?”
Vania tersenyum samar senyum yang penuh kecurigaan.
“Tentu saja kenal. Dia sepupu dari... seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang.”
Ia menegakkan tubuh, memperhatikan setiap gerak bibir Nicholas dan Leo dari kejauhan.
Semakin lama, semakin jelas bahwa pertemuan itu bukan kebetulan.
Dan kecurigaan kecil di hatinya mulai tumbuh menjadi racun yang berbahaya.
“Nicholas… apa yang sedang kau sembunyikan dariku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Di meja seberang, Nicholas baru sadar tatapan seseorang dari jauh. Ia menoleh sekilas, dan pandangannya bertemu dengan Vania.
Mata mereka hanya bersitat sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Leo menegakkan tubuh dengan waspada.
“Dia melihat kita?” tanya Leo cepat.
Nicholas mengangguk pelan, wajahnya menegang.
“Ya. Vania ada di sini.”
Leo menatap ke arah itu sekilas, lalu menurunkan suaranya.
“Kalau begitu, kita harus berhenti di sini. Jangan sampai dia tahu apa pun.”
Nicholas mengepalkan tangan, menahan amarah dan kegelisahan yang mulai membakar.
Hujan di luar semakin deras, dan di dalam dirinya badai yang lebih besar sedang menunggu untuk pecah.
Begitu Leo berdiri dari tempat duduknya, Nicholas masih duduk diam, menatap sisa kopi yang sudah dingin.
Percakapan tadi terlalu singkat untuk menenangkan pikirannya, tapi cukup untuk menyalakan kembali tekad di dadanya.
Leo menepuk bahunya pelan sebelum pergi.
“Berhati-hatilah, Nick. Dunia Catherine dan Vania tidak bermain dengan aturan yang sama seperti kita.”
Nicholas hanya mengangguk tanpa menjawab.
Ia menunggu beberapa menit agar suasana tenang sebelum ikut meninggalkan tempat itu.
Namun langkahnya terhenti ketika suara sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer kafe.
"Kebetulan sekali, Nick. Aku tidak menyangka akan menemukanmu di sini.”
Nada itu lembut, tapi dingin seperti sutra yang membungkus pisau.
Vania berdiri tak jauh darinya, menenteng tas kecil dan menatap dengan senyum yang nyaris tidak sampai ke mata.
Di belakangnya, Caroline pura-pura sibuk dengan ponselnya, tapi jelas ikut menguping.
Nicholas menatap sekilas, lalu kembali merapikan jasnya.
“San Francisco kota kecil. Tidak sulit bertemu seseorang di sini,” ujarnya datar.
Vania tertawa kecil, lalu duduk tanpa diundang di kursi yang baru saja ditinggalkan Leo.
Tangannya menyentuh cangkir kopi di meja.
“Lucu sekali. Aku pikir kau tidak suka tempat seperti ini… terlalu ramai, terlalu publik.”
“Kadang orang berubah,” balas Nicholas singkat.
Vania menatapnya lekat-lekat, lalu menyandarkan tubuhnya dengan anggun.
“Benarkah? Atau mungkin, kau punya alasan lain untuk datang ke sini?
Aku tadi melihatmu berbicara dengan seseorang… siapa namanya, ya? Leo Moreno, kalau tidak salah?”
Nicholas menatapnya, rahangnya mengeras.
Ia tahu Vania tidak akan berhenti sebelum mendapat sesuatu.
“Dia hanya kolega bisnis,” jawabnya pelan tapi tegas. “Kami membahas investasi teknologi hijau. Tidak lebih.”
Vania tersenyum...senyum yang terlalu tenang untuk bisa dipercaya.
“Oh? Aneh sekali. Karena seingatku, Leo Moreno itu bukan pengusaha teknologi. Dia sepupu seseorang yang... pernah menghilang lalu datang kembali dengan membawa anak haram nya"
Kata-kata itu menancap seperti jarum halus.
Nicholas tidak menjawab, hanya menatap lurus tanpa ekspresi.
Vania mencondongkan tubuh, suaranya lebih rendah tapi penuh racun tersembunyi.
“Jangan salah paham, Nick. Aku hanya khawatir. Kau tahu, media sedang gila-gilanya memberitakan Arabella.
Dan aku cuma tidak ingin tunanganku ikut terseret dalam… drama keluarga mereka.”
Nicholas tersenyum tipis senyum yang tidak ramah.
“Drama itu diciptakan oleh keluargamu sendiri, Vania. Kalau aku terseret, itu karena kalian menarikku masuk.”
Wajah Vania menegang sesaat, tapi ia cepat menutupinya dengan tawa lembut.
“Jangan marah, sayang. Aku hanya bercanda.
Aku tahu kamu sibuk, aku cuma ingin memastikan kamu tidak… salah langkah.”
Ia berdiri, menatap Nicholas dengan tatapan yang samar antara cemburu dan rasa ingin tahu.
“Tapi kalau memang tidak ada apa-apa antara kalian… tentu kau tidak keberatan kalau aku menanyakan langsung pada Leo, kan?”
Nicholas memutar cangkir di tangannya, lalu menatap Vania dalam.
“Lakukan kalau kau berani, Vania. Tapi jangan salahkan aku kalau setelah itu, kau tahu hal-hal yang seharusnya tidak kau dengar.”
Tatapan mereka bertemu dingin, tajam, dan sarat ancaman tersembunyi.
Vania tersenyum, tapi kali ini senyum itu terlihat tegang.
Ia tahu Nicholas sedang menyembunyikan sesuatu.
Dan itu hanya membuatnya semakin ingin tahu.
bella terima nicholas ya