Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 13.
Sejak pertemuan hangat di taman kota beberapa waktu lalu, hubungan Alina, Nyonya Ayunda dan Viola berkembang cepat seperti tanaman yang disiram tiap hari. Ketiganya kini nyaris tak terpisahkan, seperti trio yang selalu punya alasan untuk berkumpul. Entah itu ngopi, nyalon atau sekadar bergosip kecil dengan penuh tawa.
Suatu hari, Alina diajak mengunjungi rumah besar keluarga Mahesa. Kediaman orang tua Davin yang luasnya nyaris bisa dijadikan lokasi syuting drama kerajaan. Meskipun Davin sudah punya tempat tinggal sendiri yang tak kalah megah selain apartemen, namun ada aturan klasik dari Nyonya Ayunda yang tetap berlaku. Keluarga harus sesekali berkumpul dan itu wajib.
Yang membuat Alina ternganga bukan hanya kemewahan rumah itu, tapi juga kenyataan baru tentang Davin. Pria yang selama ini ia kira cuma 'insinyur keren' ternyata adalah seorang CEO dari PT Nusantara Infrastructure, holding company besar di bidang infrastruktur. Bukan sekadar pekerja kantoran biasa, pria itu adalah pemilik kursi paling tinggi di ruang rapat.
"Calon ibu Bos, hari ini kita nyalon yuk!" Seru Viola ceria, menggandeng tangan Alina dengan semangat.
Alina mendesah pelan, tapi matanya tetap menyorot geli. “Mbak Viola ini sengaja ya, mau bikin aku malu tiap hari? Manggil-manggil Buk Bos segala…”
“Itu namanya strategi branding,” jawab Viola sambil mengedipkan mata nakal. “Biar kamu cepat sadar posisi, terus... resmi jadi adik iparku deh!"
Tawa ringan pecah, terutama dari Nyonya Ayunda yang duduk di dekat mereka sambil menikmati teh hangat. “Kalau begitu... mau tunangan dulu atau langsung nikah, sayang?”
Alina refleks menunduk, pipinya merona. “Ish, Tante... malah ikut-ikutan. Mas Davin aja belum ngomong apa-apa kok…”
Ya, sejak tahu siapa Davin sebenarnya, Alina mulai memanggilnya ‘Mas’. Bukan karena disuruh, tapi karena malu. Ia mulai sadar, memanggil pria dengan jabatan sebesar itu hanya dengan namanya, tanpa embel-embel, rasanya seperti menepuk meja rapat tanpa undangan... tidak sopan dan terlalu berani.
Tanpa mereka sadari, sosok tinggi tegap itu berdiri tak jauh dari balik pintu kaca yang menghubungkan ruang keluarga dengan taman kecil di belakang rumah. Davin menyandarkan bahunya di ambang pintu, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan senyuman samar menggantung di sudut bibirnya.
Ia tak berniat menguping, sungguh. Tapi langkahnya tadi terhenti saat mendengar tawa renyah dan suara Alina yang kini terdengar jauh lebih akrab. Suara yang biasanya hanya ia dengar dengan nada ragu dan penuh batas, kini terdengar mencair bahkan menggoda meski tetap sopan.
“Mas Davin aja belum ngomong apa-apa kok…”
Kalimat yang barusan Alina ucapkan itu menancap. Tidak tajam, tapi cukup kuat untuk mengusik ruang pikirnya.
Davin menunduk pelan, satu tangannya mengusap dagu yang dihiasi bayangan janggut tipis. Ia bukan tipe pria yang mudah gelisah, apalagi karena urusan perasaan. Tapi entah kenapa, mendengar nada harap dalam suara Alina... jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Belum ngomong apa-apa, ya?" Gumamnya pelan, seperti mengulang kata-kata itu untuk memastikan maknanya.
Nyonya Ayunda melirik ke arah bayangan di balik kaca dan tersenyum penuh arti. “Nah, itu dia orangnya datang.“
“Wah, timing-nya sempurna banget. Dav... kamu dengerin dari kapan, sih?” Goda Viola sambil menutup mulutnya yang masih menyisakan tawa.
Alina langsung membalikkan badan, matanya membulat kecil saat melihat pria itu berdiri tenang dengan ekspresi nyaris tak terbaca.
Ia sedikit gugup. “M-Mas Davin... sudah dari tadi?”
“Cukup lama untuk tahu kalau aku ‘belum ngomong apa-apa’ sama kamu. Padahal aku pikir, aku sudah cukup menunjukkan niatku padamu.” Jawab Davin, tenang tapi dengan nada yang menggoda.
Viola menyikut ibunya pelan. “Ih... Davin mulai berani juga nih.”
“Mungkin karena akhirnya adikmu itu sadar, perempuan baik seperti Alina itu tidak boleh terlalu lama digantung.” Nyonya Ayunda terkekeh.
Davin melangkah mendekat dengan perlahan. Matanya menatap Alina, lembut namun penuh makna. Ia lalu menarik kursi di samping Alina dan duduk tenang, seolah sedang menyusun kalimat penting dalam kepalanya.
“Aku sedang menyusun sesuatu.“ Katanya, pelan tapi jelas.
Alina mengerutkan dahi. “Maksud Mas?”
Davin melirik ke arah ibunya dan Viola, lalu kembali ke arah Alina. “Sesuatu yang resmi. Biar kamu nggak lagi bilang ‘Aku belum ngomong apa-apa’. Biar Mama nggak perlu bertanya, mau tunangan dulu atau langsung nikah. Dan… biar kamu nggak perlu bingung saat ditanya.”
Alina terdiam.
Viola memekik pelan. “KYAA....! INI NIH YANG KITA TUNGGU!”
Nyonya Ayunda juga berseru. "Jangan bilang... kamu mau lamar Alina sekarang?!”
Davin menggeleng sambil tersenyum kecil. “Belum, aku mau pastikan dulu satu hal.”
Ia menoleh pada Alina, sorot matanya tajam namun penuh kehangatan.
"Alina," suara Davin terdengar lembut, namun mengandung ketegasan yang sulit diabaikan. Tatapannya menelusuri wajah wanita di hadapannya, seolah mencari jawaban yang belum terucap. "Maukah kamu menjadi istriku? Bukan semata karena aku menginginkanmu sebagai pendamping hidupku... tapi karena hatimu pun menginginkannya."
Ruangan hening sesaat.
Alina menatap pria itu dengan jantung berdebar dan pipi yang merah merona.
Jawaban belum keluar dari bibir Alina tapi senyumannya mulai terbit, tatapan yang melembut dan tangan yang tanpa sadar menggenggam ujung blusnya… memberi jawaban lebih jelas dari ribuan kata.
Lalu... Alina mengangguk dengan wajah bahagia.
.
.
.
Satu minggu setelah momen bermakna di ruang keluarga itu, sejak hari kemarin rumah besar keluarga Mahesa berubah riuh. Bunga-bunga segar berdatangan, menu makanan disusun dengan hati-hati oleh chef pribadi dan ruang tengah dihiasi kain putih gading yang memberi kesan sederhana namun mewah.
Viola yang biasanya santai, kini sibuk mondar-mandir sambil memegang tablet berisi daftar urutan acara. Nyonya Ayunda duduk anggun di kursi utama, mengenakan kebaya biru lembut dengan senyum bangganya tak bisa disembunyikan.
Di ruang rias.
“Akhirnya, kamu resmi jadi calon adik iparku.“ Bisik Viola pada Alina yang sedang duduk di ruangan menunggu acara dimulai, ia mengenakan kebaya klasik berwarna salem dengan bordir halus.
Mereka sepakat, acara lamaran pernikahan dilakukan di kediaman Mahesa.
Alina hanya tersenyum kecil, ada gugup yang tak bisa ia sembunyikan. Bukan karena akan dilamar secara resmi, tapi karena satu hal yang menggelayut di hatinya sejak lama... Daffa.
Anak lelakinya, buah hati dari masa lalunya yang tak sempurna adalah segalanya baginya. Dan... jika Davin benar-benar ingin membangun masa depan bersamanya, maka Daffa juga harus masuk ke dalam dunia itu. Tidak di pinggir, tapi di tengah-tengah.
Lamaran pun dimulai dan berlangsung khidmat, Davin tampil dalam setelan formal berwarna abu muda. Ia membawa satu kotak kecil yang tak hanya berisi cincin, tapi juga masa depan. Ia tidak banyak bicara, hanya menunduk sopan lalu berdiri di hadapan Alina.
“Alina…” suaranya dalam dan tenang, tapi kali ini terdengar lebih bergetar, “aku datang bukan hanya untuk melamar seorang perempuan yang aku kagumi dan cintai. Tapi juga memohon izin… untuk mencintai satu jiwa kecil yang sudah lebih dulu menjadi bagian dari hidupmu. Aku tahu, hidupmu tak sendiri dan ada Daffa bersama mu. Jika kamu izinkan... aku ingin belajar menjadi rumah untuk kalian berdua.”
Alina menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai mengalir deras. Ia tak menjawab segera, hanya berdiri perlahan lalu menatap mata pria itu.
“Mas Davin…” ujarnya pelan, tapi nadanya tegas. “Kamu tahu aku bukan perempuan yang datang dengan masa lalu kosong. Aku punya anak, Daffa. Lima tahun ini, cuma dia alasan aku tetap berdiri tegak.”
Davin mengangguk pelan. “Dan aku... tidak ingin menggantikan siapa pun di hatinya. Aku hanya ingin hadir, sebagai seseorang yang bisa dia andalkan. Kalau kamu izinkan, aku ingin menjadi ayah sambung yang bisa dia banggakan. Bukan karena aku harus, tapi karena aku ingin.”
Alina menutup mulutnya, air matanya tumpah juga. Bukan karena sedih, tapi karena hatinya dipeluk oleh ketulusan.
“Kalau begitu…” ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum meski air mata membasahi pipi. “Jawab satu hal terlebih dahulu.”
Davin mengangkat alis. “Apa itu?”
“Kamu bersedia… menyayangi Daffa sepenuh hati? Bukan sebagai anak sambung mu, tapi sebagai anakmu sendiri?”
Davin tidak menjawab dengan kata-kata. Ia berlutut dengan satu kaki, membuka kotak cincin lalu mengangkat wajahnya dengan sorot mata yang tak pernah sedalam ini.
“Dengan seluruh hatiku, Alina. Bukan hanya kamu yang akan aku cintai, tapi... Daffa juga. Maukah kamu menjadi istriku dan calon ibu dari anak-anak kita kelak?"
Tangis Alina pecah, ia mengangguk lalu menjawab lirih namun pasti. “Ya… aku mau.”
Viola langsung berteriak kecil dari sudut ruangan. “Akhirnya! Buk Bos kita resmi dilamar!”
Tawa dan haru menyatu.
Daffa digandeng masuk oleh Tuan Yudistira, langsung berlari kecil ke arah ibunya dan memeluk kaki Alina.
“Bunda kenapa nangis? Om Davin nyakitin Bunda ya?”
Alina berjongkok, memeluk Daffa erat. “Enggak sayang... Om Davin bukan nyakitin. Dia justru bikin Bunda bahagia.”
Daffa melirik ke arah Davin, bocah itu menatap pria tinggi itu dengan mata penasaran.
“Kalau gitu… boleh aku peluk Om Davin juga?”
Davin menunduk, lalu membuka lengannya lebar-lebar. “Boleh dong! Tapi mulai hari ini, Daffa harus panggil Om dengan panggilan Ayah atau Papa, ya.”
Daffa tersenyum lebar dan berlari masuk ke pelukan calon ayah sambungnya.
Dan pada hari itu, bukan hanya hati Alina yang dilamar. Tapi seluruh kehidupannya… diterima, dipeluk dan dicintai.
“TIDAK...!!! Lamaran ini tidak boleh terjadi!" teriak seseorang.
Tubuh Alina menegang saat ia mengenali suara orang itu.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.
setelah ini pasti si galang akan menyesal 🤣🤣🤣