Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Rindu dan Rahasia
Beberapa hari berlalu sejak insiden di pesta ulang tahun Oma Ida. Dan selama itu pula, sosok yang biasanya selalu menunjukkan batang hidungnya walau sekali, kini bahkan berlalu begitu saja saat berpapasan dengannya. Puluhan pertanyaan menghujani pikiran Vania. Apa ia telah membuat kesalahan yang fatal? Sampai-sampai sikap seseorang bisa berubah sedrastis ini?
Malam itu, Vania menatap ponselnya yang terasa sepi, tak berpenghuni. Tak ada dering, tak ada notifikasi, tak ada lantunan musik seperti biasanya. Hanya ketukan pena yang mengisi sunyi kamarnya.
“Lo bilang, lo akan ada di saat suka maupun duka, akan selalu ada di sisi gue, selalu menyediakan bahu untuk bersandar ....” gumam Vania, tangannya meremas pena dengan erat, menyalurkan gemuruh di dadanya.
“Tapi ... selama lima hari ini lo seakan hilang di telan bumi. Padahal kita tetangga, Rayhan!” suaranya meninggi, berharap unek-uneknya tersampaikan menembus dinginnya malam.
Pandangan Vania kembali menatap meja belajarnya, tumpukan buku mengantri untuk dibuka. Jangankan fokus, pikirannya saja melayang mencari tenang di tengah hati yang galau tanpa alasan yang jelas.
Sesaat, mata bulatnya menyipit, ketika menangkap salah satu buku kuliah. Senyum miring menghiasi wajahnya, memikirkan hal gila yang tak pernah terlintas sebelumnya.
“Kalau lo memang berniat menjauhi gue, sekarang giliran gue yang mendekat!” serunya mantap.
Sebelum beranjak, ia menyantap donat terakhirnya. Mengisi energi yang mungkin akan segera terkuras. Vania bercermin, menyeka noda coklat di ujung bibir, lalu menyisir rambut yang kali ini sengaja terurai. Dengan langkah penuh tekad, Vania keluar, matanya berkobar seolah siap menghadapi pertempuran.
“Mau ke mana kamu, Van?” tanya Sekar, melihat putrinya membuka pintu rumah.
Vania terdiam, menoleh ke arah sang Mama yang masih asyik menonton TV, tanpa ragu ia menjawab.
“Mau berperang!”
Sekar mengerjap, “Hah?”
“Doa kan Vania, Ma!”
“Ya udah, tapi jangan kelamaan. Besok kuliah pagi.” Balas Sekar santai, membiarkan imajinasi liar putrinya itu.
Sementara itu, di kamar yang penuh aroma maskulin. Rayhan bersandar dengan memainkan pena di jarinya, sulit baginya menatap buku dengan fokus di saat matanya terus melirik gitar akustik yang terpajang di sudut ruang.
Rutinitas tiap malam yang seperti separuh hidupnya kini hilang, saat tak mengalunkan petikan gitar. Ketika tangannya terulur hendak meraih gitar kesayangannya, suara ketukan pintu mengagetkan.
“kenapa?”
“Itu Den, ada temen Den Rayhan di depan.” Jawab BI Ijah—ART di rumah Rayhan di balik pintu.
Rayhan mengernyit, tak bisa menebak. Jika itu kedua sahabatnya, tak mungkin mereka menunggu di luar. Mereka akan menerobos masuk seolah rumah sendiri.
“Siapa?”
“Kalau tidak salah namanya Vania.”
Tubuh Rayhan menegang, matanya mengerjap beberapa kali. Nama yang selalu ia rindukan selama ini, justru datang tanpa ia pernah duga. Dengan langkah tergesa dan perasaan senang bercampur takut, Rayhan berjalan menghampiri gadis itu di teras depan.
Saat pintu terbuka, Rayhan dapat melihat seorang gadis lengkap dengan baju tidur yang dipakainya. Duduk tenang dengan pandangan lurus ke depan. Seketika jantungnya berdegup kencang, melihat wajah yang beberapa hari ini hanya bisa ia lihat dari kejauhan. Kini sudah berada tepat di depannya.
Vania menoleh, menyadari kedatangan Rayhan lalu ia tersenyum manis ke arahnya.
“Hai, sorry ganggu malam-malam.”
Rayhan menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Mendadak kata-kata yang sudah ia siapkan hilang tersapu angin malam. Alhasil, ia hanya mengangguk dengan kikuk lalu duduk di samping Vania.
Vania masih tersenyum, tidak seperti Vania yang Rayhan kenal. Yang biasa menatapnya dengan tajam, tersenyum miring atau beberapa kali tersipu malu. Entah kenapa senyum itu membuatnya gugup sekaligus takut.
“Gue cuma mau nagih tugas dari Pak Deni, lo belum ngirim hasil analisis data. Jadi gue belum mulai nulis laporan sampai sekarang.” Ujar Vania. Meski itu hanya sebuah alasan untuknya menemui Rayhan.
“Astaga gue lupa. Bentar, gue kirim lewat email aja.”
Rayhan mengeluarkan ponselnya, dan dengan cepat mengirim folder yang sudah sejak lama selesai tiga hari yang lalu. Ia merutuki kecerobohannya, yang melalaikan tugas dan sibuk menghadapi hal yang sama sekali mengganggu hatinya.
“Udah, Van. Udah masuk, kan?” tanya Rayhan memastikan.
Vania mengecek ponselnya, dan mengiyakan. Bibirnya masih terangkat ringan, seperti madu yang menetes—hangat, manis dan tak tertahankan.
“Ka–kalau udah, gue masuk dulu ya. Ada ... ada tugas lain yang perlu gue kerjain, iya itu tugas!” seru Rayhan, suaranya putus-putus seolah jantungnya loncat sampai kerongkongan.
Saat tubuhnya hendak berdiri, ucapan Vania menghentikannya.
“Lo ... apa kabar?”
“A–apa?”
“Lo menghindari gue, kan?” tanya Vania tanpa basa-basi, menatap Rayhan dengan lekat. Mencari jawaban dari keresahan hatinya.
“Nggak lah,”
“Terus, kenapa gue gak pernah lihat lo?” cerca Vania.
Hening beberapa detik, namun bagi Vania satu detik sama dengan satu jam.
“Gue sibuk beberapa hari ini, bukan maksud gue menghindar. Gue cuma ... melakukan hal ini dan itu.” Rayhan berkilah, jelas ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Vania mendengus pelan, ketika tatapan Rayhan terus berusaha menghindar dengan jari yang resah mengetuk pahanya.
“Gue tahu, lo sekarang belum bisa terus terang. Mungkin ini terkesan mendadak atau aneh, tapi ... selama beberapa hari ini saat lo sibuk dengan hal ini dan itu, selama itu juga gue kehilangan sesuatu.” Vania menatap tanpa berkedip.
“Gue harap, saat kesibukan itu selesai, lo bisa kembali hadir dengan keusilan dan bualan seperti biasanya.” Vania menggigit bibirnya kuat-kuat, ia menunduk saat merasakan hangat di kedua pipinya.
Sementara itu, Rayhan membisu, takjub dengan ucapan gadis pujaannya. Tak pernah terbayangkan momen ini akan terwujud. Semburat panas dari tengkuk menjalar ke telinganya. Dengan degup jantung yang riuh, seolah sebuah rahasia hendak terbongkar keluar.
Rayhan menepuk-nepuk kedua kaki, menyamai ritme detak jantungnya.
“Maksud lo gimana?” ucapnya dengan ragu.
Vania berdecak sebal, berpikir bahwa Rayhan sedang berpura-pura bodoh atau memang sedang mengusilinya seperti biasa. Bukankah perkataannya sudah tersirat dengan jelas?
“Masa gak paham?” balas Vania balik bertanya, suaranya sedikit meninggi dengan wajah yang masih semerah tomat.
“Sorry, otak gue tiba-tiba nge-blank. Gue cuman gak mau salah paham.”
Vania mendesis kesal, dan menjawab tanpa pikir panjang.
“Gue kangen sama kehadiran lo yang selalu terselip di keseharian gue! Gue kangen denger nyanyian lo yang menemani setiap malam!” serunya dengan lantang. Bahunya naik turun bersamaan dengan napas yang menggebu.
Rayhan terbungkam, otaknya mencerna baik-baik ucapan Vania barusan. Kerutan lembut di ujung bibirnya tak tertahankan. Tidak pernah ia sangka Vania akan seberani ini mengeluarkan keresahannya.
“Gue kangen! Rindu! Lo tau kata itu, kan?” ucapnya lagi tanpa malu, namun wajahnya semakin bersemu.
Rayhan terkekeh, merasa gemas dengan tingkah Vania yang kesal sekaligus tersipu. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, menatap lekat wajah yang semerah mawar segar.
“Lo tahu gak? Ucapan lo itu buat gue gak bisa diem.”
Vania mengerjap, berusaha menahan diri namun gagal. Sorot matanya menantang, tapi getar halus di ujung bibirnya membocorkan hatinya. “Terus lo mau jawab apa?”
“Gue juga kangen sama lo, Van. Lebih dari yang lo bayangin.” Balasnya dengan lembut, tatapannya teduh seakan rindu yang selama ini bergejolak menemukan tempatnya.
Vania menunduk, wajahnya makin merona. Senyumnya pecah juga, walau ia mencoba menekannya.
Saat gugup menyelimuti, tangan Rayhan meraih gelas di meja teras. Begitu ia meneguknya, Kosong.
Vania spontan mengangkat alis, menahan tawanya.
“Itu gelas cuma berisi angin, Ray.”
Rayhan batuk-batuk kecil, menutup mulutnya.
“Gue ... cuman ngecek kualitas udara. Lagian Bi Ijah ini gelas kosong malah buat pajangan.”
Vania tertawa kecil, menikmati suasana yang sempat menegang kini mulai perlahan mencair.
Tak lama setelah Vania mengungkap kerinduannya, ia pamit pulang dengan langkah ringan, seolah beban yang selama ini ia pendam memuai hilang. Tergantikan dengan bunga kasmaran yang bermekaran.
Rayhan mengamati punggung itu dengan bibir yang terus tertarik. Namun, di sisi lain, Rayhan menyimpan fakta yang tak sanggup ia ucapkan. Ia tak ingin suasana hangat yang tadi Vania bangun justru menjadi bara api, jika fakta di balik kesibukannya menjadi bumerang baginya.
Saat sosok Vania hilang, wajahnya berubah datar, ada perih yang mencengkram seolah itu sebuah hukuman. Ketika ia lebih memilih bungkam karena takut merubah mata binar Vania menjadi nanar.
Ibu jari Rayhan mengetik sebuah nama di ponselnya, dan dengan gerakan cepat mendekatkan ke telinga. Tak lama, suara di ujung sana menyapanya.
Tanpa basa-basi Rayhan mengatakan kalimat yang membuat seseorang di sana protes tak terima.
“Ali. Malam ini dan seterusnya gue gak bisa nemenin Cassie di rumah sakit. Dan untuk permintaan konyol lo, gue tolak. Ada hati yang harus gue jaga baik-baik.”
Suara Ali di seberang langsung meninggi, menusuk tepat di telinga.
“Lo gila ya?! Cassie lagi butuh kita dan lo—“
“Pokoknya gue gak bisa, Li. Jangan paksa gue!”
Hening sesaat, dan terdengar desahan kasar Ali.
“Oke, bersenang-senanglah dengan gadis yang pernah jadi taruhan lo itu!” panggilan pun terputus sepihak.
Rayhan terdiam, pipi dan tengkuknya terasa dingin seolah darahnya berhenti mengalir. Tangannya mengepal menahan amarah yang tersulut. Bagaimana pun, ia sadar ucapan sahabatnya yang mengungkit taruhan bukan murni dari hatinya. Ali hanya kelewat kecewa pada pilihannya.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih