Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Usaha untuk Berdamai
Tak terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Hari yang penuh air mata kini tergantikan dengan senyum tipis. Walau masih samar tapi Vania merasa beban di hatinya mulai terasa ringan. Ia menatap pintu balkon yang sampai sekarang masih terkunci rapat—takut kenangan itu masuk tanpa bisa ia tahan. Tak pernah sekali pun ia keluar balkon sejak momen di Sea World.
Sesaat tangannya yang sedang menyisir berhenti, hidungnya berkali-kali mengendus memastikan. Vania tiba-tiba meloncat dari duduknya.
“Bau apa ini?”
aroma gosong menyelinap masuk ke kamarnya. Jantungnya berdegup cepat, takut jika terjadi kebakaran. Dengan panik, ia membuka pintu dan benar saja kepulan hitam terlihat dari dapur.
“OKTA!!! LO MAU BAKAR RUMAH GUE?” teriak Vania, lalu berderap turun dengan melangkahi tiga anak tangga sekaligus. Ia melesat ke dalam dapur.
Okta berdiri di depan kompor yang di atasnya sudah tertutup kain basah. Wajahnya syok, mulutnya menganga, dan saat pemilik rumah datang, hanya cengiran tanpa dosa yang ia berikan.
“Sorry ...” ucapnya lirih.
“Sorry sorry, lo lagi bikin apa sih? Untung mama gue udah berangkat kerja. Bisa-bisa lo dilarang nginep sini lagi.” Omel Vania sembari membuka seluruh jendela, mengurangi asap yang masih mengepul.
“Gue tadi coba bikin pancake buat sarapan. Terus tiba-tiba panggilan alam datang, ya gue ke wc lah. Eh, gue lupa matiin kompor.” Jelasnya dengan mata memelas.
“Terus mana pancakenya?”
Okta menyodorkan piring yang terisi pancake dengan bentuk yang tak beraturan. “Nih.”
“Dua biji doang?”
“Iya, yang lainnya ikut gosong,”
Vania hanya melepas napas panjang lalu ikut membereskan kekacauan yang Okta buat. Setelah itu, mereka duduk di meja makan, sarapan dengan mahakarya Okta. Namun baru satu gigit, serentak mereka memuntahkannya.
“Lo pake gula apa garem sih? Asin banget!” ledek Vania, alisnya masih berkerut karena keasinan. Buru-buru ia meneguk segelas air sampai habis.
Okta justru tertawa terbahak-bahak, merasa kocak dengan huru hara yang ia buat sendiri.
“Wah, lo emang sengaja ya? Tadi bakar rumah gue sekarang mau ngeracunin gue?” canda Vania, ikut terkekeh melihat sahabatnya yang masih terpingkal.
“Sumpah gue gak sengaja. Sorry sorry.”
“Sorry sorry mulu lo kaya Super Junior. Udah ini lo aja yang makan!”
“Gue juga ogah.”
Vania menggeleng, lalu beranjak dari duduknya. Ia membuka kulkas, berharap ada penyelamat. Untung saja ada roti isi buatan mamanya, bekal sederhana yang biasa disiapkan.
Setelah sarapan, Vania dan Okta pergi ke kolam renang kecil di samping taman. Berniat berenang sekaligus olahraga pagi.
“Van, kalau renang gini aman gak sih”
“Kenapa emang?”
“Ini gak keliatan kan dari sebelah?”
“Nggak lah, kan ini ada atapnya.”
“Tapi kan transparan ini.”
“Tetep aja gak keliatan, udah tenang aja, lo bisa main air sepuasnya.”
“Lo gak ikut nyebur nih? Katanya sekalian olahraga.” Tanya Okta yang terheran melihat Vania mengeluarkan matras olahraga.
“Iya, ini gue lagi olahraga.” Vania melakukan pemanasan di atas matras.
“Sini lah, gak seru banget masa gue main air sendiri?”
“Nggak ah. Nanti gue jadi mermaid.”
Okta mendengus pelan, mendengar ucapan konyol Vania.
“Emangnya lo Ariel, ada-ada aja. Udah sini buruan.” Desaknya tak sabar, sesekali mencipratkan air ke arah Vania.
“Kata Rayhan, gue gak boleh kayak Ariel. Jangan berkorban demi dia yang gak pasti. Gitu katanya.” Jawab Vania santai, dengan postur kayang.
“Gampang banget lo nyebut nama dia. Udah move on?”
Vania membenarkan posisinya, kini tubuhnya tengkurap lalu angkat tangan dengan tangan menopang, punggung melengkung—cobra pose. Ia menggeleng pelan, bibirnya tersenyum tipis.
“Belum. Ini aja rasanya kaya ditusuk-tusuk. Tapi ... lo tau gak, Ta. Persamaan patah hati sama kue stroberi?”
Okta melirik malas, akhir-akhir ini sahabatnya selalu membuat filosofi tentang cinta berdasarkan makanan seperti coklat, es krim, dan kali kue stroberi.
“Nggak tau, emang apaan?”
Masih dengan posisinya. Vania tersenyum samar, kepalanya menengadah, menatap atap transparan yang tertutup daun berjatuhan.
“Di awal sama-sama manis, dan asam saat digigit, tapi justru rasa getir itulah yang membuat manisnya berarti.” Ia menghembuskan napas panjang dan kembali menatap Okta yang setia mendengarkan.
“Jadi, gue akan nikmati patah hati ini. Dan gue cuman bisa berdoa semoga Cassie cepat sembuh dan bahagia bersama Rayhan.” Imbuhnya lagi.
Okta naik ke permukaan, melangkah mendekati Vania.
“Oke, sekarang ayo nyebur. Gue udah bosen denger kegalauan lo.” Okta menarik paksa Vania hingga mereka jatuh ke dalam air bersamaan. Vania sudah mencak-mencak dengan kelakuan sahabatnya, dan terpaksa ia pun ikut berenang bersama pagi itu. Dengan canda tawa, berharap bisa menenggelamkan rasa sakit yang masih tersisa.
Namun tanpa mereka sadari, di balik tembok pembatas. Tanpa sengaja Rayhan mendengarkan setiap percakapan Vania dan Okta. Samar, namun mampu membuat hatinya bergetar. Ia mendengar bagaimana Vania berusaha meyakinkan dirinya sendiri, menerima keadaan meski sulit.
Rayhan menutup matanya rapat. Niat hati ingin duduk santai menikmati sinar pagi. Justru ia mendapat gejolak sesak yang menghantam dada, bercampur perih yang ia tahan sendiri.
“Gue beneran bajingan ....” bisiknya pada diri sendiri.
***
Sore itu, Vania dan Okta berjalan santai sambil menjilati es krim. Angin semilir membuat langkah mereka terasa ringan—seolah dunia mereka baik-baik saja.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di samping mereka. Kaca jendela perlahan terbuka, menyikap dua wanita dengan wajah serupa, tersenyum ramah ke arah Vania.
“Kenapa jalan? Sini masuk, kita antar sampai rumah.” Sapa Elsa ramah.
Okta langsung menyikut lengan Vania, seolah bertanya: siapa mereka? sebelum Vania sempat menjawab, wanita lain yang duduk di kursi penumpang—Elma berkata. “Lo pacarnya Pandu ya?”
“Kok tahu?”
“Tahu lah, postingan IG-nya semua foto lo sama Pandu. Ternyata bocah pendiam itu bisa bucin juga.” Jelas Elma, dengan senyum usilnya.
Okta justru tersipu malu mendengar ucapan Elma tentang hubungan manisnya dengan Pandu.
“Ayo ikut, biar gak capek.” Elsa kembali menawarkan.
Tanpa mendengar persetujuan Vania, Okta mengangguk dan menyeret Vania masuk ke dalam mobil. Vania pun hanya bisa pasrah, saat hendak menolak ia kalah cepat dengan tenaga Okta yang menariknya kuat.
Dalam mobil, Elma dan Elsa mulai basa-basi yang hanya di tanggapi oleh Okta.
“Vania kenapa diem aja? Nggak nyaman ya sama kita?” ujar Elma, menoleh ke belakang.
“Eh? Nggak kok, Kak. Gue lagi banyak pikiran aja.” Sahut Vania cepat.
"Mikirin apa, sih? Kuliah? Bukannya kalian baru semester awal? Belum banyak tugas kan? Rayhan juga gitu tuh, akhir-akhir ini jadi pendiem juga. Seberat apa sih tugas awal semester?” tanya Elsa berbondong-bondong. Membuat Vania gelagapan untuk menjawab.
Okta justru mengernyit. “Kenal Rayhan juga?”
Tawa saudara kembar itu menggelegar di dalam mobil yang melaju.
“Emang kita belum memperkenalkan diri ya? Gue kira pacar Pandu ini tau siapa kita. Kenalin, gue Elma dan ini Elsa. Kita kakaknya Rayhan.”
Seperti luka yang di taburi garam, Okta meringis dan menatap Vania dengan rasa bersalah. Vania hanya membalas tersenyum tipis, tak mungkin juga mereka turun di tengah jalan karena tak ingin terlibat dengan Rayhan lagi.
“Maaf, Kak. Gue gak tau.” Ujar Okta.
“Kenapa minta maaf? Lucu banget sih kalian.” Elsa dan Elma tertawa renyah, namun terbanding terbalik dengan Okta dan Vania, hanya ikut tertawa lirih.
“Pengen deh punya adek perempuan. Rayhan mah sekarang gak asik, tiap hari kalau gak kuliah dan rumah sakit, kerjaannya ngurung diri di kamar.” Elma kembali menceritakan adiknya pada kedua gadis di belakang.
Saudara kembar itu terus mengoceh tentang adiknya yang berubah sikap. Okta hanya mengangguk saja mendengarkan.
Sedangkan Vania pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal layarnya hanya menampilkan beranda kosong. Ia benci caranya, tapi tak bisa membohongi diri: mendengar keadaan Rayhan yang berubah pendiam saja sudah cukup untuk membuat dadanya kembali berat.
Kenapa kamu terdengar kesulitan, Ray? Bukankah itu pilihan yang kamu ambil? Apakah kamu tidak bahagia?
sholeh bgt rayhan nih wkwk