"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merayunya
“Ya Allah, kok bisa ya tadi malem nyenyak banget.” Luna bergumam setelah selesai mandi berganti pakaian dan shalat. Hari ini mereka libur kerja, mungkin Arsen tidak benar-benar libur, tapi Luna ingin menikmati hidup.
Dari jendela kamar yang setengah terbuka, aroma teh melati menyeruak bersama udara segar.
Tok! Tok!
“Masuk aja,” ucapnya pelan.
Tak berselang lama, Pintu terbuka, menampakkan seorang perempuan paruh baya dengan wajah ramah dan langkah sopan. Di tangannya ada nampan berisi secangkir teh hangat dan air putih hangat untuk Luna.
“Selamat pagi, Non Luna,” katanya sambil menunduk hormat. “Ini teh hangatnya, masih baru saya seduh. Airnya juga hangat.”
“Eh… ini, buat saya?” Perempuan itu mengerjap pelan, ia tidak percaya dengan yang dia lihat.
“Iya, Non. Kata Pak Arsen, mulai hari ini saya yang bantu urus keperluan Non Luna di rumah ini.”
“Lho, nggak usah repot begitu, Mbak. Saya bisa kok sendiri. Biasanya juga saya nyiapin semuanya sendiri. Saya malah nggak enak, nanti Mbak capek.”
Perempuan itu tersenyum lembut. “Nggak apa-apa, Non. Namanya juga tugas saya. Oh iya, saya Nimah, biasa dipanggil Mbak Nimah. Dulu saya bagian dapur, tapi sekarang Pak Arsen minta saya bantu Non saja.”
Kalimat itu membuat Luna terdiam. Ia menatap Mbak Nimah seolah tak tahu harus bereaksi seperti apa, antara kagum dan canggung. Akhirnya, ia hanya tersenyum kecil lantas menunduk sopan.
“Kalau begitu, makasih banyak, Mbak Nimah. Saya jadi sungkan, tapi… saya terima, ya. Terima kasih sudah repot.”
“Sama-sama, Non. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja. Saya di dapur atau di ruang servis.”
Setelah Mbak Nimah berlalu, Luna menatap teh hangat di meja nakasnya. Uapnya masih menari-nari, menebar aroma melati yang menenangkan. Tapi entah kenapa, dada Luna terasa hangat, bukan karena tehnya, melainkan karena seseorang yang diam-diam selalu memperhatikan kenyamanannya.
Ia menatap ke arah balkon kamar, dan di sanalah suaminya berdiri. Arsen, dengan kaus putih kasual dan rambut yang sedikit berantakan, tampak sibuk berbicara di telepon. Suaranya berwibawa, dan sedikit berat, khas seorang pria yang terbiasa memberi perintah.
“Ya, nanti saya cek sendiri. Jangan mulai sebelum saya datang,” ujarnya singkat.
Lalu diam sejenak untuk mendengarkan.
“Baik. Nanti kirim laporan ke email saya, pagi ini juga.”
Luna berdiri di ambang pintu balkon, memperhatikannya dalam diam. Angin pagi meniup ujung rambutnya yang tergerai lembut. Hatinya entah kenapa berdesir aneh, antara kagum, syukur, dan perasaan lain yang belum bisa ia namai.
Mungkin ini pertama kalinya ia benar-benar merasa… dipedulikan. Setelah sekian lama ia hidup bukan hanya kebaikan yang dia terima, melainkan perhatian, pengertian, hormat dan juga rasa nyaman.
Tanpa berpikir panjang, entah dorongan dari mana datangnya, Luna melangkah cepat ke arah suaminya dan tiba-tiba melingkarkan kedua tangannya di pinggang Arsen dari belakang.
Gerakan Luna membuat pria tinggi itu tersentak ringan. Telepon di tangannya hampir terlepas saat dia dengan cepat berbalik, mungkin akan marah tapi seketika tertegun saat menyadari sesuatu.
“Luna?”
Perempuan itu tersenyum, dia yang mendongak menampakan wajah Tak Biasa kepada suaminya dan hal itu sesukses membuat jantung Arsen berdebar sangat kencang.
“Good morning, Mas,” bisiknya lembut. Senyum di bibirnya semakin manis saja, dia tak sadar kalau Apa yang dia lakukan membuat suaminya senang sekaligus kebingungan.
Arsen mematung beberapa detik, binar di mata istrinya membuat dia tidak bisa berpikir jernih.
“Nanti saya hubungi lagi,” katanya cepat, lalu mematikan sambungan.
Ia menatap wajah istrinya yang kini tengah mendongak menatapnya dengan senyum canggung namun tulus.
“Kenapa tiba-tiba begini?” tanya bingung. “Ada apa, hm?”
Sebelum menjawab, Luna menatap matanya lama, hingga akhirnya menurunkan pandangan dan menggeleng pelan. “Nggak ada apa-apa. Cuma mau bilang makasih aja.”
“Makasih?” Arsen menaikkan alis. “Untuk apa?”
Luna menarik napas, lalu menatapnya lagi. “Untuk semuanya, Mas. Untuk perlakuan baik Mas Arsen ke saya, untuk perhatian kecil yang mungkin Mas anggap biasa, tapi buat saya besar sekali.”
“Saya nggak terbiasa dilayani, apalagi diperlakukan kayak gini. Jadi rasanya… aneh, tapi boleh kan kalau bahagia?”
Pria itu terdiam, memandangi wajah istrinya yang kini mulai memerah. Ada sesuatu di dada yang mengembang, rasa tenang yang sulit dijelaskan.
“Cuma itu aja??”
“Hah?” kaget Luna.
“Enggak ada yang lain?”
Pertanyaan itu sungguh membuat Luna berpikir keras. Yang lain maksudnya apa?
Namun, tiba-tiba saja dia berjinjit dan dalam sekejap mengecup pipi Arsen.
“Aku mau ketemu ibu.”
Dengan wajah yang memerah padam dan jantung yang berdebar sangat kencang, Luna berumur berlari.
Perempuan itu membiarkan Arsen mematung di tempatnya dengan tangan yang masih tergantung, seolah-olah dia masih memeluk istrinya. Bibirnya berkedut dan tak lama setelah itu dia tersenyum kemudian menyentuh lehernya dan menggosoknya pelan.
Padahal dia sudah pernah menikah, dia sudah pernah melakukan hal-hal yang jauh lebih intim, tapi kenapa satu kecupan dari Luna yang bahkan hanya di pipi sampai membuatnya tergila-gila seperti ini.
“Mungin emang butuh psikiater,” gumamnya sambil menahan senyum. Dia kembali menoleh ke arah mana istrinya berlari, dan saat itu senyumnya semakin mengembang. “So cute.”
** **
Setelah sarapan Luna kembali ke kamar sendirian, karena suaminya sudah pergi lebih dulu. Tapi anehnya dia melihat Arsen sedang melakukan sesuatu.
Pria itu kini sudah mengenakan kemeja biru laut yang lengannya digulung sampai siku, tampak membuka lemari pakaian. Ia menarik satu per satu kemeja, melipatnya rapi, lalu memasukkannya ke dalam koper kecil berwarna hitam yang terbuka di atas ranjang.
Luna berdiri di ambang pintu kamar, memandangi punggung suaminya dengan dahi berkerut. “Mas…?” panggilnya hati-hati.
Arsen menoleh sekilas lalu tersenyum kecil. “Hmm?”
“Itu… Mas mau pergi?” tanyanya pelan sambil melangkah masuk.
“Iya.” Arsen menurunkan koper, lalu mengambil celana panjang dari gantungan. “Ada urusan di Bandung. Proyeknya ada kendala, jadi aku harus ke sana sendiri buat cek langsung.”
“Oh.” Luna mengangguk kecil, meski dadanya terasa sedikit berat mendengar kata Bandung. “Berapa lama, Mas?”
“Mungkin tiga hari. Kalau situasinya parah, bisa sampai lima hari.”
Masa sih sampai selama itu, Pandangan Luna jatuh ke koper yang mulai penuh. Ia memperhatikan suaminya yang sibuk melipat baju dengan cermat, seolah semua gerakan sudah diukur dengan presisi.
“Mas,” panggilnya lagi setelah beberapa detik saling diam. “Kalau boleh, aku ikut, ya?”
“Ikut?” Arsen sampai menghentikan aktivitasnya.
“Iya.” Luna tersenyum, mencoba terdengar santai. “Kan aku juga lagi nggak ada kegiatan di rumah. Lagipula, aku udah lama enggak ke Bandung . Sekalian nemenin Mas biar nggak capek sendirian.” kini mulai ada rayuan gombal di dalam kalimatnya.
Mungkin sudah 1 menit mereka sama-sama terdiam, Luna menunggu dan Arsen berpikir. Sebetulnya Arsen juga sangat menginginkan Luna untuk menemaninya.
Namun, kepergiannya kali ini benar-benar akan terus bersinggungan dengan Aditya. Dia takut kalau ... Bukan karena tidak percaya diri. Tapi Luna masih belum move on. Ditambah pesan tadi malam sengaja tidak dia bahas karena dia ingin tahu apa yang akan istrinya lakukan, dan buktinya sampai sekarang, dia tidak sekalipun membahas tentang chat itu atau bagaimana.
Arsen berpikir kalau Luna masih menyembunyikan sesuatu darinya. Perpanjang ini masih tertutup kepadanya.
“Mas, boleh kan? Please?” bujuk Luna lagi. Dia sampai memegang tangan Arsen dan memainkan jari jemarinya. “Mas bakal butuh aku, serius enggak bohong.”
lanjuttyy..
❤❤❤😍😙😙