Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The End
Farhan merasa sangat gugup karena hanya ada mereka berdua di rooftop sebesar ini. Entahlah apa yang akan Khalil bicarakan. Sekalipun ucapan yang biasa-biasa saja, namun tidak mungkin juga diucapkan ketika saat seperti ini.
“Gue boleh tanya sesuatu nggak?”
“Kenapa harus ijin? Biasanya tinggal tanya aja”
Khalil menghela napas cukup berat, “Lo tahu tentang kematian Sadam dan Jihan?”
Pria itu menggeleng dengan yakin walau terbesit kerguan disana. Khalil dapat lihat dengan jelas bagaimana pria itu mengatakan kata tidak.
“Lo bukan mafianya kan, Far?”
“Khal?” lirih suara Farhan membuat Khalil menghela napas kembali. Farhan tidak menyangka jika pertanyaan seperti ini keluar dari mulut Khalil. Bagaimanapun dia sudah menganggap Khalil sebagai teman sekaligus penolongnya.
“Gue warga” Farhan mengalihkan pandangannya ke arah lain. namun bagaimanapun permainan tetap permainan, semua orang melakukannya dengan profesional.
“Lo yakin, lo bukan mafianya?”
“Gue warga, bukan mafia, lo nuduh gue?!” sahutnya berujung, “Lo mencurigai gue, Khal?”
Khalil tidak menyahut, namun tubuhnya berreaksi memukul dinding terdekat, “Kemarin,” suaranya bergetar, “kemarin gue dapet mimpi kalau Aletha”
Farhan terdiam, masih mendengar Khalil dengan pernyataan yang sungguh tidak masuk akal. Sejak kapan mimpi bisa jadi barang bukti?
“Dia bilang kalau gue mafianya?! Lo percaya sama bunga tidur?!”
Khalil menelan ludahnya susah payah, “Bukan lo kan?”
Kali ini Farhan benar-benar diam. Mengamati rahang Khalil yang mengeras, “Bukan lo kan?!”
Khalil hanya tidak ingin temannya yang selama ini di lindungi justru membunuh teman yang lain. maksudnya, bagaimana bisa seorang Farhan adalah mafia yang tidak berperasaan membunuh orang lain?
“Sorry, Khal”
“Kenapa cuman minta maaf? Bilang kalau bukan lo mafianya?!” Khalil mendorong tubuh Farhan dengan manik yang bergetar. Sementara Farhan yang tersungkur ke tanah hanya diam menerima perlakuan Khalil.
“Jadi selama ini lo yang bunuh mereka? bilang sama gue, brengsek?! Apa alasan lo masih sama kayak yang Yuna bilang? Mau bertahan hidup karena nggak mau mati?!”
“Gue juga nggak mau kayak gini, kenapa lo nggak ngerti” lirihnya.
Khalil mengusap wajahnya kasar, menatap penuh air mata. seseorang yang dia percayai, justru mengkhianatinya.
“Kita nggak bisa milih mau jadi apa, kita juga nggak bisa percaya sama siapapun. Lo tahu, Khal, gue juga nggak mau ada diposisi ini dan gue juga maunya sama kayak kalian semua”
“Gue udah naruh semua kepercayaan gue sama lo,”
“Sorry, Khal”
“Arghhh...”
Sebuah pisau yang baru saja dia ambil disaku, tertancap sempurna diperut Khalil. Membuat pria itu tersungkur begitu saja. mendapat lirih, Farhan beranjak hendak meninggalkannya sendirian.
“Gue minta maaf karena bohong sama lo, sorry tapi gue bakal balik lagi habis ini”
Darah itu mengalir membasahi seragam putih milik Khalil, meninggalkan bau anyir dengan cairan merah yang pekat. Tangannya berusaha melepas pisau diperutnya, namun sangat menakutkan ditambah dengan getar dikedua tangannya.
Brakkk...
Farhan berbalik.
“APA YANG LO LAKUIN?!” suara Hagian mendominasi. Pria itu semakin memanas mendapati Khalil terkapar tidak berdaya dengan pisau tertancap di perutnya.
“Arghhh...”
“Orang gila, lo mafianya?!” Hagian mendorong tubuh Farhan dengan kasar. Sebelum akhirnya Agil berlari menghampiri Khalil.
“Tahan, gue bakal bantu cabut”
Disaat Agil berusaha membantu Khalil. Hagian memilih untuk menghabisi pria itu, “Brengsek, orang gila!”
“Tahan, Khal”
“Arghhh...”
“Ambil kain atau apapun, hentikan pendarahannya!” seruan suara Agil membuat semua orang yang ada disana sibuk mencari benda yang di minta. Agil harus berusaha tenang agar Khalil tidak kenapa-napa.
“Bertahanlah”
Suara robekan kain membuat semua orang beralih, menatap Nathan yang baru saja merobek jaket miliknya untuk diberikan pada Agil. Ketakutan, ketegangan, dan kesedihan bercampur jadi satu. Disaat keributan terjadi dibelakang mereka, Khalil sedang berusaha tetap bertahan.
“Nat, lo bisa bantu Khalil. Sembuhin dia,” lirih Intan.
“Nggak bisa, gue masih harus nunggu sampai besok”
Arsya yang baru saja datang segera berjongkok, menarik scraft yang terikat dipergelangan tangannya untuk membantu pendarahan berhenti. Tatap khawatir dan ketakutan mulai terlihat di wajahnya.
“Bertahanlah, Khal”
Khalil tersenyum, menatap bagaimana Arsya tampak panik justru adalah hiburan tersendiri. Dia jadi ingat bagaimana Agil berusaha menyuruhnya menjauh dari Khalil. Padahal Khalil tidak setidak nyaman itu ada di dekat Arsya. Bagaimana dia menatap Khalil, bagaimana kekhawatiran ketika dia hampir terluka. Ketika dia hampir dibunuh Fattah dan sekarang Farhan?
Apa ini yang dinamakan ketulusan? Khalil tidak pernah merasakan sebelumnya.
“Lo kok malah senyum! Semua orang khawatir sama lo!” pekik Intan dengan tangis. Sementara Khalil hanya terkekeh, “gue nggak papa”
Arsya menetralkan napasnya, “Tolong jangan tidur, lo masih bisa denger gue?!” Arsya menepuk pipi Khalil saat maniknya sudah mulai memejam, “Khalil dengerin gue?!”
“Khal!”
Arsya meraup kedua pipi Khalil, dengan tangis yang keluar membuat semua orang semakin tegang, “Jangan tidur! Ayo bantu bawa ke UKS!”
Saat semua laki-laki membantu Khalil untuk menuju ruang kesehatan. Tatapan pria itu justru teralih pada Merah, gadis yang sembari tadi diam menatapnya dingin.
“Mer, lo Aletha kan?”
Merah hanya diam.
“Gelang itu" sebelum Khalil benar-benar pingsan, Arsya menatap tubuh Merah dari ujung kepala sampai kaki, lantas beranjak pada gelang yang melingkar sempurna disana.
“Khal!” Agil lantas meminta semua orang membawa segera Khalil ke ruang UKS. Membiarkan Farhan yang sudah terkapar tak berdaya karena ulah Hagian. Sementara Arsya yang masih menangis, sekarang tersungkur tepat dihadapan sahabatnya.
Merah melangkah mundur, menatap tubuh Khalil yang sudah meninggalkan tempat, lantas beralih pada Arsya yang berlutut dihadapannya.
“Aletha? Gue kangen banget sama lo, Tha!” ujarnya dengan deras air mata yang sama.
“Sya”
“Lo yang bikin permainan ini? Tolong hentikan semuanya” sesaknya, “tolong, Tha” Asrya menundukkan kepalanya, berusaha memohon agar gadis itu segera menyelesaikan apa yang sudah dia mulai, “tolong”
“Khalil, makasih”
Arsya mendongak, menatap tubuh Aletha sudah lebih dulu berada di tepi rooftop, “Aletha, tunggu dulu”
Harusnya sejak awal dia sadar bahwa semua ini hanya permainan bodoh yang Merah lakukan untuk mereka. harusnya Arsya tahu bahwa Merah adalah Aletha, bahwa Aletha adalah gadis itu.
“Tha, jangan pergi lagi”
Setetes air mata jatuh setelah permohonan Arsya keluar dengan lirih. namun sesuai permintaannya, dia akan mengakhirinya, dia akan menyelesaikan permainan gila ini, sekiranya untuk menyelamatkan Arsya dan Khalil. Dua teman yang peduli, dua teman yang masih mengingatnya.
Merah Tiada.
Merah Adalah Mafia.
Arsya dapat melihat tubuh Aletha tergeletak didasar, diselimuti cairan merah disekujur tubuhnya. Membuat tangis kembali pecah sebelum memilih meninggalkan rooftop. Arsya masih puna Khalil untuk dia jaga, untuk tidak dibiarkan pergi sebagaimana Aletha meninggalkannya.
“Gue udah duga”
“Khal, tahan sebentar lagi” Agil yang mulai panik, memberantaki kotak obat. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan karena selama ini hanya Khalil yang menjadi petugas kesehatan. Apa yang harus dia lakukan?
“Berhentilah”
Agil menggeleng bahkan setelah Arsya terburu-buru hampir menabrakkan tubuhnya ke pintu masuk ruang kesehatan, “Khal?!”
“Sya gue nggak tahu harus gimana?!” sesal Agil.
Arsya menggengam telapak tangan Khalil yang semakin dingin, dengan senyum yang belum juga pudar diwajahnya, Arsya merasakan sesuatu yang berbeda, “Khal, tolong”
“Gue bakal nggak papa, nggak usah nangis”
“Lakukan sesuatu?!” suara Agil justru membuat semua orang semakin bingung. Lagian tidak ada yang bisa mereka lakukan pada luka pendarahan parah seperti yang Khalil alami. Seandainya bisa hanya ditahan untuk tidak kehilangan banyak darah.
Tapi Khalil, bahkan saat sepucat ini, pria itu masih bisa tersenyum sambil mengusap punggung tangan Arsya yang penuh darah, “Sya, jagain semuanya”
Arsya mengangguk, “Kita jaga sama-sama, jangan nyerah ya?”
Agil berjongkok dengan air mata yang terus mengalir. Sementara Arsya memeluk tubuh Khalil, meminta pria itu tidak meninggalkan semua yang mereka mulai bersama.
“Setelah ini, lupain gue dan hidup bahagia, Sya”
Khalil, Tiada.
Khalil adalah Polisi.
“Tidak?!” Hagian menghentikan pukulannya setelah mendengar pengumuman itu. beranjak meninggalkan Farhan yang sudah tidak berdaya, menuju ruang kesehatan.
Suara gemuruh yang disebabkan langkah kaki Hagian sempat membuat mereka menoleh. Kecuali Agil dengan tangisnya dan Arsya yang masih memeluk Khalil dengan tangis yang sama.
“Kalian nggak nyelametin dia?!” Hagian berseru mendapati tubuh dingin Khalil, “Kenapa?!”
Arsya tidak menyangka ini semua terjadi pada mereka. tidak ada yang mengira dan tidak ada yang ingin. Tapi Khalil telah berhasil melindungi yang tersisa, Khalil menepati janjinya bahkan setelah dia akhirnya ikut pergi.
Farhan, Tiada.
Farhan adalah Mafia.
Semua Mafia Telah Tiada.
Tim Warga Menang.