NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:428
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28: Bertemu Diva

   “Aku keluar dulu.” Suaranya datar. Dingin karena panik. Kosong karena bingung.

   Lalu ia berjalan pergi.

   Meninggalkan kamar dengan langkah cepat—hampir seperti melarikan diri dari sesuatu yang terlalu berat untuk dihadapi.

  Pintu menutup pelan di belakangnya. Dan Tiny… tak lagi bisa menahan semuanya.

   Tangis itu pecah.

   Bukan tangisan keras.

   Tapi tangisan letih.

   Tangisan yang keluar dari tubuh lelah, hati penuh, dan kepala yang sudah terlalu berat untuk berpikir.

   Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan Cuma karena semalam…

   Tapi karena pagi ini, perasaan yang ia simpan bertahun-tahun, ternyata tidak cukup untuk membuat seseorang tetap tinggal.

   Ia memeluk dirinya sendiri, menarik selimut lebih rapat. “Capek…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

   Matanya terpejam, dan dalam gelap itu, wajah yang muncul di pikirannya bukan Xion.

   Tapi… Andika.

   Orang yang dulu ia cinta mati-matian.

   Yang pergi tanpa alasan.

   Tapi tetap meninggalkan bekas yang tak sepenuhnya hilang.

   Dan sekarang… Orang yang menggantikan posisi itu, malah membuat lukanya lebih dalam.

°°°°

   Hening.

   Mobil melaju stabil di jalan luar kota yang lengang. Langit mendung, seolah ikut menahan cahaya.

   Di dalam mobil, hanya terdengar suara lembut dari AC dan sesekali deru ban yang menggilas aspal.

   Xion menyetir, fokus ke jalan. Sementara Tiny duduk di samping, memeluk tas kecilnya.

   Kepalanya menoleh ke jendela, menatap pemandangan yang lewat… tapi matanya kosong.

   Sudah sebulan lebih sejak percakapan pahit itu. Sejak kamar mereka jadi saksi luka, dan pagi itu menjadi tanda tanya.

   Entah bagaimana caranya, mereka membaik. Tapi hanya mereka berdua yang tahu prosesnya seperti apa.

   Pelan. Berulang kali ragu. Tapi tetap bertahan.

   Kini mereka akan ke rumah orangtua Xion.

   Janji lama yang akhirnya ditepati.

   Namun suasana di dalam mobil tetap sunyi. Sampai…

   Tiny membuka suara. Bukan pada siapa-siapa. Seolah hanya sedang berbicara pada dirinya sendiri.

   “Waktu kecil, aku sering banget nunggu Papa pulang…”

   Xion menoleh sekilas. Tapi tak menyela. Ia tahu, ini bukan kalimat biasa.

   Tiny masih menatap ke luar jendela. Nadanya datar. Tapi ada retakan lembut di sana.

   “…aku bakal duduk di teras depan rumah. Dari jam lima sore, kadang sampai maghrib. Cuma buat nunggu suara mobil Papa masuk ke halaman.”

   Tangannya menggenggam lututnya sendiri. “Kadang pulang cepat. Kadang enggak. Tapi aku selalu nunggu.”

   Xion memperlambat laju mobil sedikit. Matanya menyipit, menahan perasaan yang ikut tertarik oleh cerita itu.

   Tiny menarik napas pelan. “Dan sekarang… aku ngerasa kayak anak kecil itu lagi. Nungguin seseorang pulang. Tapi nggak tahu… bakal pulang atau enggak.”

   Kata-katanya mengambang. Tapi Xion tahu, itu bukan soal Papa Tiny.

   Itu tentang dirinya. Tentang pria yang duduk di balik kemudi.

°°°°

   Mobil Xion berhenti perlahan di depan rumah orang tuanya yang berhalaman luas itu.

   Rumah yang dulu menjadi tempatnya tumbuh… dan kini, menjadi tempat untuk pulang sejenak.

   Tiny memandang bangunan itu dari balik kaca jendela. Sunyi. Tapi tak asing.

   Ia pernah menginjakkan kaki di sana beberapa kali, tapi suasana kali ini terasa berbeda. Lebih… emosional.

   “Udah, kamu masuk aja,” kata Xion lembut. Tangannya masih di setir, tapi matanya menatap ke arah pintu rumah.

   “Barang-barangnya nanti aku bawain sama Pak Joko.”

   Tiny mengangguk pelan. Tak ada pertanyaan lebih.

   Ia membuka pintu mobil, lalu melangkah turun. Langkahnya ringan, tapi ada beban perasaan yang belum tuntas di matanya.

   Di halaman, Pak Joko—satpam lama yang selalu ramah—mengangkat tangan sambil tersenyum kecil.

   Tiny membalas dengan anggukan sopan, sebelum akhirnya berdiri di depan pintu utama.

   Ia mengangkat tangan. Mengetuk dua kali. Pelan, ragu, tapi pasti.

   Tak lama, pintu terbuka.

   Wajah Diva muncul, kusut, rambut masih acak-acakan seperti baru bangun tidur. Matanya sempat menyipit sebelum membulat.

   “…Tiny?”

   Tiny tersenyum lebar, tanpa bisa ditahan. Dan tanpa aba-aba, langsung memeluk sahabatnya itu.

   “Gue rindu…”

   Diva mengerjap. Lalu membalas pelukan itu, sama eratnya. Tangannya terangkat dan menepuk punggung Tiny pelan.

   “Masuk dulu, woy…” gumam Diva, senyum mulai merekah. “Gue sendirian di rumah.”

   Tiny melepaskan pelukan, menatap sekeliling. “Papa mama lo kemana?”

   Diva menguap kecil. “Papa mama gue? Ya papa mama lo juga itu…”

   Tiny tersenyum sekilas. “Oh iya…”

   “Mereka ada urusan. Entah kemana, gue pun gak tau…”

   Diva mundur, memberi jalan. “Udah, yuk masuk dulu.”

   “Hayok,” ujar Tiny, menanggapi ajakan Diva masuk.

   Ia tersenyum tipis, mencoba tampil seperti biasanya—ceria, ringan, seolah tak ada luka yang ia simpan. Padahal hatinya masih belum pulih sepenuhnya. Tapi Tiny memilih diam. Baginya, rumah tangga adalah urusan pribadi. Aib kalau diumbar.

   Saat masuk ke dalam, ia berujar pelan, “Sepi banget ya…”

   Diva mengangkat bahu sambil mengunci pintu. “Ya mau gimana lagi, semua udah nikah. Gue-nya yang belum.”

   Tiny menoleh, tertawa kecil. “Berasa ditinggal rombongan, ya?”

   Belum sempat Diva membalas, suara berat khas seseorang terdengar dari arah pintu.

   “Papa sama Mama mana, Div?” Xion masuk membawa beberapa barang. Tatapannya singkat, fokus, seperti biasa.

   Diva menjawab santai, “Ada urusan katanya. Gatau kemana.”

   Xion mengangguk tanpa banyak tanya. “Aku ke kamar dulu.”

   Diva memberi anggukan kecil pada kakaknya, lalu menoleh ke Tiny yang sejak tadi hanya diam.

   Begitu Xion naik ke lantai atas, Diva langsung menepuk bahu sahabatnya sekaligus kakak iparnya.

   “Lo tau nggak, kampus tuh sepi banget tanpa lo.”

   Tiny tersenyum, “Ih, segitunya?”

   “Iya cuy,” Diva bersandar di sofa sambil mengangkat kakinya ke atas.

   “Biasanya kita ke mana-mana bareng. Sekarang gue emang ada temen lain, tapi ya… nggak ada yang klik kayak lo.”

   Tiny hanya tersenyum. Ada rasa hangat di balik kalimat sederhana itu. Tapi juga… sedih.

   “Oh iya, ngomong-ngomong,” ujarnya, tiba-tiba berubah nada seperti mau rumpi. Suara jadi sedikit pelan, khas orang mau cerita sensitif.

   “Lo jangan tersinggung ya…”

   Tiny menoleh, menatap serius. “Apaan?”

   Diva menelan ludah, lalu berdehem. “Jadi gini… ada beberapa yang ngomongin lo, geng belakang. Di kelas.”

   Ia memainkan ujung kukunya, gelisah. “Mereka… kayak ngerangkai cerita sendiri soal pernikahan lo.”

   Tiny diam. Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. “…cerita apa?”

   Diva menatapnya dengan ragu. “Mereka bilang… lo kan tadinya mau nikah sama Andika. Tapi Andika nggak muncul. Terus, mendadak lo nikah sama orang lain. Jadi mereka—ya, you know—ngomongin itu seolah-olah…”

   Tiny masih diam. Tapi rahangnya mengeras.

   Diva melanjutkan pelan. “Kayak lo tuh cewek yang… ditinggal, terus nikah sama siapa aja yang ada. Ada yang bilang, ‘Untung ganteng, ya nggak jadi malu-malu amat.’ Gitu-gitu lah.”

   Tiny menutup mata sebentar. Mengatur napas.

   Diva buru-buru menambahkan, “Tapi sumpah ya, gak semua ngomong gitu. Cuma segelintir. Sisanya… banyak juga yang kasihan sama lo. Ada juga yang beneran nggak tau cerita aslinya.”

   Tiny mengangguk pelan. Nadanya masih tenang. “Biarin aja.”

   Diva melirik. “Lo gak marah?”

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!