Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 : Ihsan
“Panas! Perih! Tolong, ini sakit sekali, Argh!” Tangannya menarik-narik celana.
Pria yang beberapa hari lalu tergeletak di dalam parit dekat pos ronda, kini tengah merintih, memekik, mengeluh perih pada bekas patukan Ular.
Ihsan terus menggeliat, tanpa sadar tangannya masuk ke dalam celana dan menggaruk-garuk bagian sensitif. Ujung kuku melukai kulit sampai terkelupas dan mulai mengeluarkan cairan pekat.
Sang ibu berlari tergopoh-gopoh memasuki kamar anak bungsunya. “Ihsan! Bapak tolong putra kita!”
“Sakit Mak, rasanya gatal, panas, Arghh!” Badannya berguling-guling sampai terjatuh di atas dipan. Demam belum sepenuhnya turun akibat patukan Ular sawah, sekarang malah ditambah digerogoti rasa berdenyut-denyut yang datangnya entah dari mana.
“Apa sebab dia seperti itu, Buk?!”
“Aku tak tahu, Pak. Tiba-tiba Ihsan berteriak dan sewaktu ku datangi sudah seperti ini?” ia menjawab pertanyaan suaminya. Air matanya tumpah ruah seperti aliran anak sungai.
Bapaknya Ihsan berlutut, mencengkram kedua pergelangan tangan sang putra agar tidak lagi lagi menggaruk bagian bawah yang sudah berdarah-darah dan merembes ke celana kolor putihnya.
“Sabar, tahan keinginan mau menggaruk, Ihsan!” Dia berusaha mengeluarkan tangan Ihsan dari dalam celana, tapi tidak berhasil.
Hu hu hu … sekujur tubuhnya menggigil, bibirnya bergerak-gerak dan gigi saling beradu. “Tak bisa, ini sakit sekali! Lepaskan, Pak! Lepas!”
Ihsan memberontak, menggeliat seperti Ular, dia juga mendesis. Ayahnya kesulitan menahan badannya dan berakhir terjengkang.
“Akhh! Aku tak tahan lagi!” Pemuda mesum itu bangkit, berteriak sembari berjingkat-jingkat. Tangannya menarik-narik benda tumpul di bawah sana.
Ibunya Ihsan histeris. Dia dan sang suami berusaha menangkap putra mereka.
“Tolong adikku, Pak!”
Terdengar suara gaduh diluar sana. Empat orang pria dewasa datang hendak menolong Ihsan.
Langkah mereka terhenti saat melihat sesuatu aneh di atas atap.
Satu persatu mengeluarkan bambu kuning sepanjang ruas jari – benda keramat yang dipercayai bisa mengusir makhluk halus.
Hantu dengan wujud seperti Genderuwo itu tidak menyerang, cuma duduk seraya mengamati sekitar.
Brak!
Pintu tidak tertutup rapat dihempas oleh Ihsan. Dia terjungkal dikarenakan tidak memperhatikan langkah kala menuruni tangga rumah panggung.
“Ihsan!”
Para pria yang cuma mengenakan celana kolor dan kaos singlet menangkap tubuh Ihsan, mencegah pemuda itu menggaruk buah zakarnya.
“Jangan halangi aku! Lepas! Kalian tak tahu macam mana sakitnya! Rasanya aku mau mati! Hah!”
Tenaganya seperti bukan miliknya, kali ini dia sangat kuat sampai bisa membuat keempat pemuda terpelanting.
Para tetangga pun berdatangan ingin memberikan pertolongan, tapi napas mereka tercekat, tubuh kaku seolah ada sesuatu menahan kaki.
Ihsan membuka celana kolor, dia tidak mengenakan dalaman. Semua orang dapat melihat jelas bagian bawah pemuda tersebut meneteskan cairan segar.
Matanya berkilat ketika melihat bambu kuning sebesar kelingking, berujung runcing terjatuh di atas rerumputan.
Seperti mendapatkan harta karun, layaknya menemukan obat bagi penyakit tak tertahankan, Ihsan menggenggam kuat bambu kuning.
"Ha ha ha … pergi kau Jahanam! Jangan menggangguku wahai Keparat!” Bambu yang ujungnya runcing diangkat tinggi-tinggi, sebelah tangannya menarik pucuk benda layu, dan ….
Jleb!
Dia yang menusuk, dia pula yang menjerit kesakitan. Namun tak menghentikan aksinya malah bertambah brutal mengorek-ngorek pusaka kebanggaan para pria.
Bambu kuning tadi sudah berubah warna, tidak diam di dalam sana, tapi digerakkan melingkar sampai sesuatu bulat lembek jatuh di atas rumput.
ARGH!
Tubuh Ihsan ambruk, rasa sakit bukan berkurang melainkan bertambah sampai telinganya berdengung dan kepala berdenyut-denyut.
Ibunya Ihsan pingsan, tidak sanggup melihat penderitaan putranya yang menggeliat, melolong seperti Serigala.
"Ihsan!!”
Teriakan dan jeritan menghantarkan sang matahari menuju perpaduannya. warna jingga senja digantikan oleh langit sepenuhnya mulai menggelap.
Seharusnya sudah terdengar adzan Maghrib, tapi kampung Hulu – para warganya seperti tidak berTuhan. Musholla dibiarkan terbengkalai, tak dimasuki, dan tak dirawat.
Sementara warung kopi dipenuhi pengunjung menikmati segelas minuman panas, maupun main catur, judi kartu, adapun menggoda pemilik usaha memiliki lekuk tubuh menggoda.
Sosok berbulu lebat, mata merah, menyeringai memperlihatkan gigi tajam. Menghirup kuat-kuat aroma manis memancing dahaga.
Di bawah sana, para warga sibuk berusaha memberikan pertolongan sia-sia.
Sedangkan di dalam lembah pembuangan Jin – mulut Padmini terus menerus merapalkan nama sang korban layaknya membaca mantra.
“Melawan lah! Ambil lagi bambu itu! Hujamkan pada perutmu IHSAN! CEPAT!”
Titah dari jarak berkilo-kilo meter itu ampuh. Dengan sisa tenaga, Ihsan menendang siapa saja sampai tubuhnya terbebas.
Sorot matanya tak lagi berbinar kehidupan, tapi suram. Dia terduduk, tidak peduli pada tubuh setengah polos dan bau amis mengotori wajah dan badannyanya.
Dua bambu sekaligus dicengkeram, lalu dihujamkan tepat pada pusat.
Jeritan putus asa menyayat hati, Abang dan bapaknya Ihsan beserta tetangga mereka berteriak bak orang kerasukan.
Uhuk!
Uhuk!
Pemuda sekarat itu tebatuk, ambruk. Dia tak lagi berdaya untuk bergerak. Tubuhnya berlumuran darah, perut sobek. Posisinya meringkuk, setetes air mata terjatuh di sudut mata kala melihat sang ayah menangis seraya memukul-mukul tanah.
Lambat laun, matanya tertutup. Rasa sakit teramat perih menjalar keseluruh tubuh, dan berhenti tepat di batang tenggorokan. Ruh nya tak lagi dikandung badan, dia mati dengan cara hina – menjadi tontonan dalam keadaan setengah berbusana.
.
.
Usai sudah, sang mangsa telah tewas! Kematiannya tak jauh berbeda seperti saat dirinya dipermalukan, kain penutup bahu ditarik, dan bagian pribadinya diraba, diremas.
Padmini masih bergeming, netranya kering dan senyum tipis itu terlihat bengis. Puas? Tentu sangat puas.
Apakah cukup? Belum. Sampai mereka yang sudah menjamahnya, menyiksa kekasih hati, dan membunuh orang tuanya, Mati!
Kabar kematian Ihsan sudah disiarkan. Besok pagi akan dikuburkan di pemakaman umum.
Belum ada satu bulan, sudah dua warga mati dalam keadaan mengenaskan, Kirman dan Ihsan.
Kasak-kusuk pun bertambah kencang berhembus seperti angin berkekuatan sedang.
“Aku yakin ini semua ada sangkut pautnya dengan Kutukan Maut Padmini. Terbukti dengan kematian yang tak lama setelah sumpah itu diteriakkan!” wanita berselendang hitam berbisik di barisan perempuan.
“Apa tak sebaiknya kita pindah saja dari kampung ini?” temannya menimpali dengan nada cemas.
“Bila pindah, apa kita betul-betul terhindar dari hukuman karena ikutan mengarak Padmini dan Rahardi?”
.
.
Bersambung.
pada jorok
🤣, kasihan yang punya WO anak buahnya kerja keras nyuci tenda dan sebagainya😂,untung bacanya sudah kenyang makan