NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 33 — “Pertarungan di Ruang Rapat”

Pagi itu, ruang rapat utama Vibe Media terasa seperti arena gladiator.

Meja panjang kaca berkilau di bawah lampu putih, laptop terbuka di setiap kursi, dan wajah-wajah tegang bersiap menghadapi presentasi mingguan.

Liam duduk di ujung meja — tenang, elegan, dan menakutkan dalam kesunyian.

Di sisi kanan, duduk Vanessa dengan senyum manis, mengenakan setelan blazer pink pucat dan heels setinggi ego.

Di sisi kiri — Emma, mengenakan kemeja biru lembut, rambut dikuncir seadanya, tapi matanya tajam dan siap berperang.

Suasana hening sesaat, sebelum Liam membuka suara.

> “Baik. Hari ini, kita akan mendengar dua konsep kampanye editorial baru.

Pertama, dari tim Vanessa. Lalu, dari tim Emma.”

Vanessa menatap Emma sekilas, senyum sinis di wajahnya seolah berkata lihat dan pelajari, sayang.

---

Vanessa berdiri, melangkah ke depan dengan penuh gaya.

Slide pertama muncul di layar — menampilkan konsep bertajuk “Glow Up Life: Be Perfect or Be Nothing.”

“Konsep ini,” ujar Vanessa, “menonjolkan transformasi pribadi. Bahwa kesuksesan datang dari keberanian untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri… dengan sedikit sentuhan kemewahan, tentu saja.”

Beberapa orang bertepuk tangan kecil.

Vanessa tersenyum lebar, memutar rambutnya.

> “Karena, mari jujur — orang-orang tidak ingin baca kisah sedih. Mereka ingin lihat kemenangan, pencapaian, glamor. Dunia sudah cukup suram, bukan?”

Emma mengetuk jarinya di meja, menatap layar itu lama, lalu berkata datar:

> “Konsep bagus. Kalau target pembacanya robot yang belum punya empati.”

Beberapa orang menahan tawa kecil.

Vanessa menoleh cepat, tersenyum kaku. “Oh, Em. Aku lupa, kau memang suka konsep ‘perempuan terluka tapi kuat di akhir cerita’, ya? Klasik.”

Emma menatapnya dengan senyum manis.

> “Lebih baik klasik daripada kosong.”

Suasana langsung tegang. Samantha yang duduk di ujung meja hampir menyemprot kopinya karena menahan tawa.

Liam mengetuk meja pelan. “Cukup. Emma, giliranmu.”

---

Emma berdiri tanpa banyak gaya.

Slide-nya sederhana — hanya judul: “The Real Glow”.

> “Aku tidak mau menulis tentang kesempurnaan,” katanya. “Aku ingin menulis tentang kenyataan. Tentang perempuan yang gagal, jatuh, tapi tetap berdiri… bukan karena ingin terlihat cantik, tapi karena tidak punya pilihan lain.”

Ruangan hening.

Setiap kata terdengar tulus, menyentuh, tapi tetap penuh kekuatan.

> “Kita nggak butuh ‘glow up’. Kita butuh ruang untuk bernapas.”

Beberapa orang tampak mengangguk setuju.

Liam memperhatikan dengan seksama, ekspresi sulit ditebak.

Vanessa memutar matanya.

> “Lucu. Jadi, kau mau pembaca kita menangis tiap pagi, gitu?”

Emma menatapnya tanpa kehilangan senyum.

> “Kalau menangis bikin mereka ngerasa hidup, ya kenapa nggak?”

Suara tawa kecil pecah di beberapa sudut meja.

Vanessa menegakkan bahu, mencoba tetap santai.

> “Baiklah, mari kita bicara data. Kampanye seperti punyaku bisa menarik brand besar. Konsepmu? Siapa yang mau sponsorin ‘perempuan gagal’?”

Emma menatapnya tajam.

> “Mungkin brand yang percaya manusia lebih dari sekadar iklan.”

Samantha menepuk tangannya kecil-kecil. “Boom.”

Liam akhirnya menutup laptopnya, lalu berkata pelan,

> “Aku sudah dengar cukup.”

Semua mata tertuju padanya.

> “Kedua konsep bagus,” katanya, dengan nada diplomatis. “Tapi yang akan kita pakai adalah—”

Hening beberapa detik.

Semua menahan napas.

> “Konsep Emma.”

Vanessa menatapnya tak percaya. “Apa?”

Liam berdiri perlahan. “Ide Emma punya kedalaman. Pasar kita sedang bergeser — orang butuh sesuatu yang bisa mereka rasakan, bukan sekadar lihat.”

Vanessa mencoba tersenyum. “Tentu, aku mengerti. Mungkin selera pembaca menurun.”

Liam menatapnya tajam. “Atau mungkin kau yang menilai terlalu tinggi kemampuanmu membaca pasar.”

Semua orang menunduk pura-pura sibuk dengan laptop.

Vanessa mengatupkan rahangnya, menahan amarah yang hampir meledak.

Emma hanya duduk tenang, tapi dalam hatinya, jantungnya berpacu cepat.

Kemenangan kecil — tapi terasa luar biasa.

---

Setelah rapat bubar, Vanessa menghampirinya di koridor, tumit sepatunya mengetuk lantai marmer seperti senjata.

> “Kau pikir ini berakhir, Em?”

Emma tak berhenti berjalan. “Aku tahu belum.”

Vanessa menyeringai. “Bagus. Karena aku belum mulai.”

Emma berhenti, menoleh setengah, lalu berkata lembut:

> “Kalau kau mau perang, pastikan kau bawa peluru. Jangan cuma parfum.”

Vanessa terkekeh pelan. “Aku bawa lebih dari parfum, sayang. Aku bawa masa lalu.”

Emma berbalik sepenuhnya, wajahnya berubah tegang. “Apa maksudmu?”

Vanessa mencondongkan wajahnya, berbisik di telinganya.

> “Kau ingat kenapa kau dan Liam dulu nggak pernah jadian waktu kuliah?”

Emma menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”

Vanessa tersenyum licik.

> “Karena ada seseorang yang memastikan itu nggak pernah terjadi — aku.”

---

Sore hari, Emma duduk di pantry, wajahnya kosong.

Samantha menghampiri, membawa dua muffin dan kopi.

> “Apa lagi yang dia lakuin kali ini?”

Emma menatap kosong ke arah jendela. “Dia bilang... dia penyebab aku dan Liam nggak pernah bersama dulu.”

Samantha melongo. “Dia apa?”

Emma mengangguk pelan. “Kalau itu benar... berarti dia bukan cuma musuh di kantor. Dia musuh masa lalu.”

Samantha menghela napas. “Dan aku rasa, dia baru aja nyalain sumbu bom yang lebih besar.”

---

Di ruangannya, Vanessa memandangi cermin, tersenyum pada bayangan dirinya sendiri.

> “Kau pikir kau bisa menang dua kali, Em?” katanya pelan.

“Tunggu saja. Kali ini aku pastikan Liam nggak cuma pilihanku di kantor... tapi juga di hidupnya.”

Lampu kantor padam perlahan, meninggalkan siluet wajah Vanessa yang tersenyum tipis —

campuran antara kecantikan dan bahaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!