Dilahirkan dari pasangan suami istri yang tak pernah menghendakinya, Rafael tumbuh bukan dalam pangkuan kasih orang tuanya, melainkan dalam asuhan Sang Nini yang menjadi satu-satunya pelita hidupnya.
Sementara itu, saudara kembarnya, Rafa, dibesarkan dalam limpahan cinta Bram dan Dina, ayah dan ibu yang menganggapnya sebagai satu-satunya putra sejati.
"Anak kita hanya satu. Walau mereka kembar, darah daging kita hanyalah Rafa," ucap Bram, nada suaranya dingin bagai angin gunung yang membekukan jiwa.
Tujuh belas tahun berlalu, Rafael tetap bernaung di bawah kasih sang nenek. Namun vidhi tak selalu menyulam benang luka di jalannya.
Sejak kanak, Rafael telah terbiasa mangalah dalam setiap perkara, Hingga suatu hari, kabar bak petir datang sang kakak, Rafa, akan menikahi wanita yang ia puja sepenuh hati namun kecelakaan besar terjadi yang mengharuskan Rafael mengantikan posisi sang kakak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh cinta pada kakak ipar
Rafael bangun lebih dulu. Cahaya matahari menembus tirai kamar, membias di wajah Viola yang masih tertidur pulas di sampingnya. Napas istrinya itu terdengar teratur, tenang, seakan-akan kelelahan benar-benar membawanya ke dalam mimpi yang panjang.
Mereka baru tidur pukul tiga dini hari. Obat yang viola berikan memang tidak begitu bekerja, Rafael melakukan setiap ronde nya dengan sadar dan memang keinginan nya, Malam itu, ia menuntut Viola hingga empat ronde. Tidak heran jika sekarang tubuh Viola begitu letih, sementara Rafael justru merasa bahagia.
Tidak ada sedikit pun penyesalan di wajahnya. Ia mengira sudah menggunakan pengaman, padahal hanya ronde pertama ia memakainya. Ronde-ronde berikutnya… ia lupa. Viola menyadarinya, tapi memilih diam, keputusan untuk memiliki seorang anak sudah viola ambil, dengan cara apapun, ia akan mengandung anak, keinginan nya untuk menjadi ibu sudah sangat bulat dan tekad,
Senyum terukir di bibir Rafael. Setidaknya, ' setidak nya sekali seumur hidup ku, aku bisa mendengar suara. d*s*h viola dengan manja, meminta ku untuk lebih pelan, tapi itu justru membuat ku bahagia, sungguh indah dan enak didenger suara nya ' batin Rafael sambil menata wajah lemah viola,
Dengan perasaan ringan, Rafael bangkit dari ranjang, mandi, lalu turun ke dapur. Ia menyiapkan sarapan sederhana, tapi penuh niat. Telur dadar, roti panggang, buah segar, dan kopi hangat. Semua ia tata dengan rapi di meja makan.
Viola perlahan membuka mata. Aroma masakan menyelinap masuk ke kamar, membuatnya terbangun. Tubuhnya terasa berat, pinggangnya ngilu, langkahnya pelan dan tertatih. Ia meringis kecil. ' Kenapa sakit sekali? Pertama kali aku melakukannya dulu, rasanya nikmat dan lembut… tapi semalam? Kenapa berbeda? ' batik viola sambil memegangi pinggan nya, karena benar-benar ngilu dan tidak nyaman,
Namun ia tak ingin memperpanjang rasa herannya. Viola bangkit, menahan pinggang dengan tangannya, lalu berjalan menuju ruang makan.
“Kau masak semua ini? Kenapa banyak sekali?” tanyanya sambil tersenyum lemah, matanya menatap makanan di atas meja.
Rafael berbalik. Tatapannya melembut saat melihat Viola berdiri sambil memegangi pinggangnya. Ia segera menghampiri, lalu meraih pinggang Viola, menarik tubuhnya agar lebih dekat.
“Ya, ini untukmu. Agar tenagamu kembali. Kau terlalu lelah semalam,” ucap Rafael, suaranya hangat namun penuh arti.
Ia memijat pinggang Viola dengan lembut, mata mereka saling beradu. Rafael tersenyum menyesal. “Maaf… kalau aku terlalu keras semalam, aku bahkan tidak memberikan kau waktu untuk tidur,”
Viola membeku sejenak. Kata-kata itu membuatnya semakin bingung. Rafa yang ia kenal… tidak pernah berkata begini. Biasanya, setelah berhubungan, Rafa justru meninggalkannya begitu saja. Tetapi Rafael berbeda. Ia perhatian, ia tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita.
Viola tersenyum " siang ini aku akan lebih banyak tidur, sungguh aku ngantuk dan lemah sekali " nada bicara nya sangat manja,
" Ya, kau tidurlah dengan nyenyak siang nanti, lain kali aku tidak akan terlalu kasar " Rafael memberikan senyuman hangat nya,
Viola memeluknya, menyandarkan dagunya di dada bidang Rafael. “Kau terlalu kasar… pinggangku sakit sekali,” ujarnya manja, suaranya seperti rengekan kecil.
Rafael salah tingkah. Wajahnya memerah, senyumnya kaku tapi tulus. Ia menahan rasa salting yang membuncah. “Baiklah… lain kali aku akan lebih pelan.” Ia mengecup dahi Viola sebentar, lalu menuntunnya ke meja. “Sekarang ayo makan. Setelah itu aku harus ke kantor.”
Viola mengecup bibirnya singkat, lalu tersenyum. “Baiklah… ayo makan.” Matanya berbinar melihat sarapan yang sudah tertata manis di meja.
...🌻🌻🌻...
Sementara itu, di bandara, Rafael duduk di ruang kerjanya. Ia memeriksa berkas-berkas yang menurut Bram bermasalah. Namun setelah diperiksa berulang kali, lima kali bahkan, ia tidak menemukan kesalahan apa pun. Semua rapi, sesuai prosedur.
Brak!
Pintu terbanting. Bram masuk dengan wajah merah padam, membawa setumpuk berkas. Dengan kasar, ia membuang semuanya ke lantai.
“Semua ini bermasalah! Kau tidak becus Diaman otakmu? pikiran mu? Kau tidak seperti ini Rafa, ini sungguh sampah ” bentaknya.
Rafael terbelalak. “Ini bukan hasil kerjaku. Itu hasil kerjamu sendiri!” suaranya menahan amarah
" Hah,? Hasil kerja ku? Hasil kerja ku adalah hasil terbaik yang kau berikan, sampah ini tidak cocok berada di tanggan ku, ini bukan milikku, kau tidak punya otak untuk berfikir? " Bram membentak Rafael dengan sangat keras, nada bicara nya tinggi,
Rafael berdiri, mengepal kedua tanggan nya, siap untuk memukul pria tua yang ada di hadapan nya, namun ia tahan, Rafa bukan orang yang seperti ini, ia sadar saat ini ia sedang berada dimana " jika hasil kerja nya baik dan bagus, itu adalah hasilmu? tapi jerih payah ku yang kau andalkan? Maaf pak, ini bukan masa nya dimana memanfaat hasil kerja orang lain "
Bram menekan pelipisnya, lalu menatap Rafael dengan tatapan tajam penuh emosi. “Apa kau pikir itu yang ingin aku dengar? Rafa akhir-akhir ini sibuk terbang ke sana kemari! Kau tidak pernah ada waktu untuk membantu ayah mengurus perusahaan! Dan apa kata mu tadi, pak?”
Rafael mendengus. “Apakah aku harus selalu membantu mu? Kita sudah punya jalannya masing-masing, pak, . Aku mengurus perusahaan penerbangan, dan itu baik-baik saja. Kalau di tanganmu perusahaan bermasalah, kenapa aku yang disalahkan?”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Rafael. Seketika memorinya kembali ke masa lalu. Dulu, Bram juga pernah menamparnya karena kesalahan yang bahkan tidak ia lakukan. Luka lama itu kini kembali menganga.
Rafael menatap Bram, matanya memerah menahan emosi. “Kau menamparku? Ini yang kau lakukan pada anakmu?” Kalimat itu bukan merujuk pada dirinya, tapi pada Rafa. Luka itu sama hanya saja Rafa dulu memilih bertahan karena begitu menyayangi ayahnya.
Bram berteriak lantang. “Dimana sopan santun mu? Aku ini ayahmu! Apa pantas kau bicara padaku dengan nada seperti itu?”
Rafael mendengus dingin, suaranya penuh sarkas. “Ini kantor, bukan sekolah. Kau pikir guruku dulu tidak mengajarkanku bagaimana bersikap di tempat kerja? Ku rasa aku sudah cukup sopan.”
“Rafa!” Bram meraung. “Dimana etika seorang anak? Aku ayahmu! Sudah seharusnya kau patuh padaku dan membantuku dalam bisnis ini!”
Rafael menatapnya dengan sorot mata tajam, lalu mengumpulkan berkas-berkasnya. Ia berdiri, tubuhnya tegak penuh wibawa. “Ini adalah kantorku. Jadi, kuharap… kau segera angkat kaki dari sini, Tuan Bram Arzander yang terhormat.”
Dengan langkah tegas, Rafael meninggalkan ruangan, meninggalkan Bram yang terdiam dengan amarah membuncah.
Jangan lupa beri bintang lima, like dan komen ya teman-teman
Bersambung...........
Hai teman-teman, yuk bantu like, komen dan masukkan cerita aku kedalam favorit kalian, ini karya pertama aku dalam menulis, mohon bantuan nya ya teman-teman terimakasih........
btw aku mampir Thor /Smile/