"Karena sudah terlanjur. Bagaimana jika menambah bumbu di atas omong kosong itu?"
Asha menatap Abiyan, mencoba mengulik maksud dari lawan bicaranya. Kedua mata Asha bertemu dengan milik Abiyan, ada sirat semangat yang tergambar di sana.
"Menikahlah denganku, Ash!"
Asha seorang wanita yang hidup sebatang kara menginginkan pernikahan yang bahagia demi mewujudkan mimpinya membangun keluarganya sendiri. Namun, tiga hari sebelum pernikahannya Asha diberi pilihan untuk mengganti mempelai prianya.
Abiyan dengan sukarela menawarkan diri untuk menggantikan posisi Zaky. Akankah Asha menerima ide gila itu? Ataukah ia tetap memilih Zaky dan melajutkan pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
"Kamu masih menginginkannya?" teriak Rhea.
Asha mendengarnya jelas dari balik pintu.
"Jangan mencampuri urusanku!" Terdengar Zaky menyahut dengan ketus.
Asha akhirnya beranjak, tidak lagi memedulikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah pasangan itu akan bertengkar atau berperang sekali pun Asha tidak peduli.
Asha menghempaskan bobot tubuhnya di kursinya, memainkan pulpen di tangan. Laptopnya masih menyala dan proyek iklan yang sedang ia kerjakan hanya tertulis bagaian headline-nya saja sejak tadi.
Tony—seorang staf copywriter pria satu-satunya dalam timnya mengetuk meja Asha dengan punggung tangannya.
"Kamu terlihat tidak fokus. Haruskah kita membeli kopi lebih dulu? Kebetulan sudah masuk jam makan siang."
Asha mengulas senyum lalu memeriksa jam di tangannya. "Boleh."
Asha beranjak begitu selesai mematikan laptopnya. Belum sempat Asha melangkah, Rhea berjalan dengan tergesa ke arahnya.
"Ada apa ya? Mengapa sekertaris direktur menghampiri kita?" Tony berbisik di telinga Asha.
Asha mengedikkan bahu, matanya menatap Rhea tanpa berkedip.
"Ayo bicara, Ash!" ucap Rhea begitu ia berada di depan Asha.
Tony memandang Asha. Tatapannya penuh dengan tanda tanya.
"Bicara saja!" Asha menyahut santai.
Rhea melirik ke arah Tony, dan pria itu terlihat tidak nyaman. "Bicaralah dulu! Sepertinya penting. Aku akan membelikanmu latte," ucap Tony pada Asha.
"Terima kasih. Lain kali aku yang akan mentraktirmu."
"Tidak masalah." Tony meninggalkan Asha dan Rhea.
Sepeninggal Tony pergi, Asha menoleh pada Rhea. Wanita di hadapannya menunjukkan ekspresi yang berubah-ubah.
"Ada apa?" Rhea memulai pembicaraan.
Mata Rhea memindai ke penjuru ruangan, beberapa staf yang lewat terlihat penasaran dan Rhea terusik. Ia lalu menarik pergelangan tangan Asha. "Ikut aku ke rooftop."
Meski merasa tidak nyaman Asha berusaha tenang, mengikuti ajakan Rhea yang lebih seperti menyeret. Asha tidak protes akan hal itu, saat ini segala hal yang Rhea lakukan hanya membuatnya merasa terhibur.
Pintu di buka dan satu langkah lagi keduanya akan berada di rooftop. Angin menyapa kulit pipi Asha terasa sejuk dan panas sekaligus. Siang itu cukup terik namun berkat adanya taman di sana cuacanya tidak akan sepanas yang seharusnya.
Asha berjalan lebih dulu melewati Rhea yang mematung. Asha memilih duduk di bangku yang ada di bawah pohon palem. Rhea gegas mengikuti.
"Ash, aku tahu hubunganmu dengan Zaky sedang tidak baik-baik saja, tapi mendengar kabar kamu memutuskan pernikahan dengannya merupakan hal yang sangat mengejutkan...."
"Tunggu! Apa maksudmu? Hubunganku dengan Zaky tidak baik-baik saja ... dia mengatakan itu?"
"Tidak ... itu d-ddia.... " Rhea tergagap.
"Aku baru tahu kalian sedekat itu."
"Bukan begitu. Aku hanya ... bukan itu intinya. Melihatmu yang tiba-tiba menikahi Abiyan membuatku bertanya-tanya, apakah kamu hanya menjadikan Abiyan baru loncatan. Bisa saja kan, kamu hanya berusaha menarik perhatian Zaky agar dia berada dalam genggamanmu."
"Apa maksudmu?" Asha menaikkan satu oktaf nada bicaranya.
"Um. Itu ... aku hanya khawatir Abiyan akan terluka." Mata Rhea bergerak gelisah. Asha tahu jika ucapan Rhea tidak benar-benar tulus, wanita itu hanya menjadikan Abiyan sebagai alasan.
"Mengkhawatirkan suamiku bukan tugasmu, Rhea. Aku tidak tahu alasan kalian berpisah, tapi sekarang Abiyan adalah suamiku bukan lagi kekasihmu jadi kamu tidak perlu repot-repot mengkhawatirkannya." Asha menyilangkan tangannya di dada.
"Jika kamu memanfaatkan Abiyan untuk kembali pada Zaky. Aku khawatir suatu saat kamu sendiri yang akan terluka. " Rhea pura-pura menunjukkan wajah peduli.
Ah, jadi ini alasanmu mengajakku berbicara. Kamu takut Zaky akan berpaling rupanya. Padahal aku belum menjalankan rencanaku tetapi kamu sudah kelabakan begini.
Asha mendecih. "Lagipula kekhawatiranmu itu percuma, aku bukannya seseorang yang akan melepaskan berlian demi mendapatkan batu kerikil."
"Apa maksudmu?" Kali ini Rhea yang menaikkan nada bicaranya.
"Tidak ada. Hanya ... kamu tidak perlu khawatir!" Asha tersenyum mengejek.
Rhea terlihat kesal, dia mendecakkan lidah. "Tapi, Ash. Abiyan sangat tidak pantas kamu sebut berlian. Dia hanya seorang pria pengangguran dan pria berlebihan dalam hubungan."
"Apa maksudmu?"
"Tunggu sampai dia menunjukkan obsesinya! Kamu pasti akan muak."
Asha tidak mengerti maksud ucapan Rhea. Namun dari nada bicaranya, itu bukanlah sebuah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Namun, mengorek informasi lebih jauh dari Rhea tentu saja membuatnya gengsi. Asha merasa kesal lalu mendecak.
"Aku pikir kamu mengajakku bicara seserius ini karena kejadian tadi pagi."
Rhea terlonjak. Wajahnya semerah tomat, malu dan marah yang bercampur membuat wajahnya terlihat berantakan.
"Um. I–itu aku baru saja mau memintamu untuk merahasiakannya. Kamu tahu kan, jika pria sudah menginginkan berhubungan s*ks dia akan menjadi tidak terkendali dan aku rasa dia selalu tidak tahan jika melihatku." Rhea menyombongkan diri, namun ia tidak sadar jika sedang bunuh diri dengan Kata-katanya.
"Selalu tidak tahan? Berarti ini bukan kali pertama kalian bercinta?" Asha melempar pertanyaan jebakan. Rhea kalang kabut, ia tampak kebingungan menjawab Asha.
"Jadi sudah berapa kali? Di mana kalian melakukannya sebelumnya? Apakah di ruangannya juga? Atau sebenarnya kalian sudah sangat sering melakukannya? Mungkinkah kamu juga melakukannya dengan Zaky ketika masih menjalin hubungan dengan Abiyan?"
Asha mencecar Rhea dengan pertanyaan, mencoba mengulik kenyataan agar Rhea ucapkan sendiri dengan mulutnya. Rhea benar-benar kelabakan, wajahnya terlihat pucat pasi. Bibirnya bahkan memutih.
Asha menatap Rhea dengan pandangan menuntut, mendiskriminasi Rhea dengan tatapannya.
Rhea masih bungkam dan kebingungan ketika ponsel Asha berdering, panggilan telepon masuk dan Asha menerimanya.
Asha terlihat serius, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ponselnya masih berada di telinga. Rhea merasa terselamatkan.
"Aku ada urusan. Kamu bisa menjawab pertanyaanku nanti, tapi jangan harap bisa mengelak Rhea! Aku sangat penasaran."
Asha berlalu meninggalkan Rhea yang masih duduk di tempatnya. Rhea menghela napas, dirinya merasa sangat lega. Helaan napasnya sangat keras, bahkan Asha dapat mendengarnya meski keduanya sudah cukup berjarak.
Asha mengangkat sudut bibirnya.
Semuanya semakin menarik.
Asha sampai di lantai dasar. Ia mencari sosok orang yang tadi meneleponnya. Hingga ia menemukan sosok Ace yang duduk dengan menyilangkan kaki di ruang tunggu.
Kacamata hitam yang masih bertengger di wajahnya, juga setelan jas berwarna beige yang membuat kulitnya semakin terlihat putih.
"Ace...." Asha mempercepat langkah kakinya.
Pria yang Asha panggil namanya itu mendongak, lantas ia berdiri menyambut Asha yang tinggal dua langkah lagi sampai di tempatnya.
Asha mengulas senyum dan Ace juga melakukan hal yang sama, berpelukan sebagai salam pertemuan seperti yang biasa mereka lakukan.
"Senang melihatmu memakai setelan kerja, Ash. Kamu terlihat semakin matang."
"Apa maksudnya?" Asha mengernyit.
Ace gelagapan, namun segera bisa mengatasi situasi. "Lupakan! Aku tidak mengganggu jam makan siangmu kan, Ash?"