Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Sani hanya bisa pasrah saat Yusuf menarik pinggangnya agar duduk lebih mepet. Laki-laki itu bermain peran dengan sangat apik di depan keluarganya. Dasar bermuka dua! Sani tak henti-hentinya mengumpat dan menyumpahi Yusuf dalam hati.
Bi Wati datang dengan beberapa gelas sirup, meletakkan ke atas meja.
"Maaf ya, baru bisa ngasih minuman. Makanan sebentar lagi datang, saya sudah pesan," ujar Yusuf.
"Kenapa gak suruh Sani masak?" tanya Yumi.
Yusuf menoleh, menatap Sani sambil tersenyum. "Sani itu saya nikahi untuk dijadikan ratu di rumah ini, bukan untuk jadi pembantu."
Hoek! Sani rasanya pengen muntah. Sepertinya Yusuf salah mengambil profesi, harusnya ia jadi aktor, pintar sekali acting. Ratu atau babu?
"MasyaAllah, makasih sudah memperlakukan Isani dengan sangat baik," tutur Fatur.
"Em.. Suf, soal yang Papa bilang hari itu, gimana?" Farah lebih berminat membahas soal masa depannya.
"Em... soal kerjaan ya?" Yusuf tersenyum simpul. "Sebenarnya, di perusahaan saya, anti sekali dengan yang namanya nepotisme."
"Tapi Papa itu berpengalaman loh," Farah kembali angkat bicara. "Kinerja Papa juga bagus, gak pernah ada track record buruk selama bekerja. Dia juga gak dipecat, tapi perusahaan dia kerja saja yang kolaps."
"Em.. gimana ya?" Yusuf tampak berfikir. "Gimana, Sayang?" menoleh ke arah Sani, meminta pendapat. "Keputusan ada di tanganmu," bisiknya di telinga Sani.
"San, Papa bener-bener butuh pekerjaan," Fatur menatap Sani, meminta pertolongan. "Papa masih harus membiayai kuliah Yuka."
"Iya, San, masa kamu tega Yuka gak bisa lanjut kuliah. Kamu sudah dibiayai sampai lulus kuliah, sekarang bantu dong ngeyakinin Yusuf agar ngasih kerjaan ke Papa," desak Farah.
"Gimana?" Yusuf kembali berbisik.
"San," panggil Fatur, raut wajahnya mengiba.
Sani benci sekali dimanfaatkan seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, ia tak mau Yuka sampai berhenti kuliah kalau Papanya tidak bekerja.
"Aku terserah kamu aja, kan kamu yang mimpin perusahaan, bukan aku," Sani kembali melemparkan pada Yusuf.
"Aku itu minta pendapat kamu Sayang, enaknya gimana. Gini aja deh, kalau kamu bilang ok, aku ok. Kalau kamu bilang enggak, aku enggak."
Sani menghela nafas panjang. "Ya udah."
Fatur dan Farah langsung tersenyum lebar.
"Ya udah kalau gitu, hari Senin, Papa datang aja ke kantor."
"Em... kalau bisa, Dafa jugalah, cariin dia posisi yang enak di kantor," Farah malah makin tak tahu diri, ngelunjak.
"Enggak!" Sani menolak lantang. "Enak aja setelah apa yang dia lakukan, mau minta kerjaan ke suamiku."
"Siapa juga yang minta," Yumi lagi-lagi nyolot, membela Dafa. "Lagian Mama ngapain sih, Dafa udah ada kerjaan," ia mendengus kesal.
"Ya kan Mama mikirin masa depan kamu," Farah tak mau disalahkan. Mumpung punya menantu sultan, gak ada salahnya dimanfaatkan.
"Oh iya, bulan depan, kalian ke rumah ya, Yumi dan Dafa ngadain acara 4 bulanan," ujar Fatur.
Mulut Sani langsung menganga. Udah mau 4 bulanan, ternyata sudah sangat lama mereka selingkuh. Kedua telapak tangannya mengepal kuat.
"Iya Pah, kami pasti datang. Iya kan Sayang?" Yusuf memindahkan lengannya dari pinggang Isani ke pundaknya.
"Kalau gak males," sahut Sani sinis.
"Siapa tahu, bulan depan sudah ada kabar bahagia dari kamu, San. Papa akan punya dua cucu dong."
"Jangan ngerep, Pah." Sani tersenyum kecut.
"Do'akan saja Pa," Yusuf tersenyum, menoleh pada Isani. "Semoga bulan depan Sani sudah isi."
Sani menelan ludah susah payah, tatapan Yusuf begitu misterius, semoga saja, laki-laki itu tidak ada fikiran kesana.
Mereka semua berpindah ke meja makan saat makanan pesanan Yusuf tiba. Begitu banyak makanan enak dihidangkan, yang rasanya mustahil bisa dihabiskan oleh mereka. Sambil makan, mereka ngobrol ringan, lalu berkeliling melihat-lihat rumah. Tak ada senyuman sama sekali di bibir Yumi, dadanya dongkol melihat betapa mewah rumah yang dihuni Sani saat ini.
"Rumah mertuamu kayak gini gak?" cibir Sani saat dia berjalan beriringan dengan Yumi.
"Halah, ini juga bukan rumah kamu," balas Yumi.
"RUMAH SUAMI AKU!" tekan Sani. Ngambil keuntungan dikit dari Yusuf gak papakan, daripada cuma dapat buruknya saja.
"Kamu bilang mau nunjukin video, video apa?" tanya Dafa setelah mereka berkeliling.
"Em... " Yusuf menoleh pada Sani, dan langsung mendapatkan pelototan tajam dari istrinya tersebut.
"Awas saja kamu macem-macem!" bisik Sani, tangannya mencubit pinggang Yusuf, kecil namun kuat dan tidak ia lepas-lepas hingga lama. Kapan lagi kan, dapat kesempatan menganiaya Yusuf tanpa perlawanan.
"Video pernikahan kita. Fotografer yang aku sewa dulu, udah selesai ngeditnya," Yusuf terpaksa tersenyum meski sedikit tersiksa karena cubitan Isani. "Nanti aku kirim aja deh ke kamu, kali aja mau di upload di sosial media," menyingkirkan tangan Sani, namun tangan itu kembali lagi mencubitnya, kecil-kecil berpindah-pindah tempat, sungguh menjengkelkan.
Setelah mereka pulang, Sani langsung mendorong Yusuf menjauh darinya. Empet banget dia dari tadi ditempelin terus laki-laki manipulatif itu.
"Aku mau keluar, jemput Irene. Ingat, bersihkan rumah, paviliun, dan kalau perlu, bersihkan kolam, ponselmu ada di dalam sana," Yusuf tersenyum simpul. "Gak usah sok-sokan mau minggat, malu-maluin kan kalau balik lagi," ejeknya.
"Gak ada cerita ratu bersih-bersih rumah."
"Peranmu jadi ratu sudah selesai, sekarang waktunya jadi babu!"
"Sialan!" Sani melotot, lalu pergi begitu saja.
"Heh Sani, aku belum selesai ngomong," teriak Yusuf.
"Bodo amat!"
"Awas kalau rumah gak bersih, aku kurung kamu di planet mars."
"Malah bagus!" teriak Sani sambil terus jalan. "Biar aku gak bisa liat muka kamu yang kayak psikopat itu."
"Aku akan pantau kamu dari CCTV."
"Bodo amat!"
Sani menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa ruang keluarga, berteriak kecil sambil nendang-nendang gak karuan. Gini banget nasibnya hanya gara-gara lahir dari rahim Erna. Sungguh, selain turunan wajah cantik dari Erna, tak ada lagi yang yang bisa ia banggakan dari ibunya itu.
"Bibi senang sekali Nonya balik lagi," Bi Wati datang dengan senyum lebar, dan seperti biasanya, selalu membawakan ia air putih.
"Bibi harus tanggung jawab kalau aku ada apa-apa," Sani membuka tutup botol, lalu meminumnya.
"Gak akan ada apa-apa, Tuan Yusuf itu sebenarnya orang baik. Dia cuma mengalami trauma dan hatinya penuh dendam, tapi bingung mau melampiaskan kemana." Bi Wati duduk di lantai, dekat kaki Isani.
"Ya tapi gak ke aku juga kali," Sani menggeram tertahan. Ia lalu menarik lengan Bi Wati, membantunya berdiri lalu duduk di sofa. "Udah tahu kalau duduk di bawah gak bisa berdiri," geramnya sambil melotot.
"Nyonya Sani ini sangat baik, Bibi berdoa semoga jodohnya sampai akhir hayat dengan Tuan Yusuf."
"Enggak, gak mau!" Sani menggeleng cepat. "Mau buru-buru pisah aja. Lagian disini aku cuma dijadiin pembantu, sialan itu udah nikah lagi," dadanya dongkol. Sebagai wanita normal, jelas ia marah, dongkol, mengetahui suaminya menikah lagi. "Aku gak mau dipoligami."
"Nyonya pasti bisa melawan Irene. Nyonya jangan mau kalah sama pelakor, tendang dia, jadikan Nyonya satu-satunya."
"Males banget. Laki-laki kayak si Ucup itu, cocoknya emang sama Irene. Saya terlalu istimewa untuk dia yang gak banget itu."
Bi Wati menahan tawa mendengar Sani memuji diri sendiri.
"Nyonya Sani lebih cantik dari Irene, buat Tuan jatuh cinta, tergila-gila, dan akhirnya ninggalin Irene."
Sani menggeleng. "Udahlah Bi, biar aja dia buat Irene, aku udah gak minat. Ngeri hidup sama psikopat."
"Dia bukan psikopat, Nyonya. Tuan Yusuf itu orang baik."
"Baik dari Hongkong! Udah ah, aku mau bersih-bersih dulu." Sani bangkit dari duduknya, berjalan ke tempat penyimpanan alat kebersihan lalu mulai bersih-bersih.
Hanya bersih-bersih kan? Ah, itu tidak susah baginya. 20 tahun dia jadi tukang bersih-bersih di rumah Papanya, jadi sudah terbiasa. Saat melihat kamera CCTV, dia mengangkat jari tengah sambil melotot, semoga saja Yusuf pas melihat.
Saat membersihkan kamar Yusuf, tiba-tiba ia punya ide cemerlang. Sepertinya, pengantin baru butuh aroma terapi biar malam ini makin hot. Sambil tertawa cekikikan membayangkan ekspresi keduanya, Sani berlari menuju paviliun.
papa yg egois kmu fatur,kalau sampai memanfaatkn kekayaan mantumu...
anda saja yg gk sadar.
manis bibirnya Isani apa bibirnya Irene Suf?😆😆😆