Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Kedatangan Liora
Sebuah Malam di Blackstone
Malam telah menelan benteng Blackstone, dan hanya cahaya sihir yang redup yang memecah kegelapan. Di ruang kerja John Vale, lampu-lampu sihir yang tergantung di dinding batu memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, memantulkan bayangan-bayangan panjang dari tumpukan peta dan dokumen di atas meja kerja.
John sedang asyik menulis, membiarkan pena bulu ayamnya menari di atas perkamen, ketika pintu diketuk dengan suara keras. Pintu itu terbuka, dan seorang wanita dengan mantel kulit berdebu melangkah masuk. Rambut hitamnya yang pendek dipotong rapi, dan sebuah pedang dengan ukiran rune kuno tergantung di pinggangnya, membuat suaranya yang halus terasa aneh.
John mendongak, menyunggingkan senyum tipis.
"Aku bisa mencium aroma medan tempur dari sepuluh langkah. Hanya satu orang yang masih suka menerobos tanpa izin seperti itu."
Liora Blackshade, si wanita, membalas senyumnya dengan senyum miring yang sama berbahaya.
"Aku tak mengira kau akan jadi pejabat, Johnny. Masih suka main aman seperti dulu?"
"Dan kau masih suka menyulitkan hidup orang. Duduklah, Liora," John tertawa pelan.
Ia mengisyaratkan kursi di depan mejanya. Liora menjatuhkan dirinya di kursi, suaranya yang berat memecah keheningan ruangan. Ia menendang kakinya ke atas meja, tidak peduli dengan tumpukan dokumen yang hampir jatuh.
"Aku dengar ada dungeon baru. Gunung Api Karst. Sudah banyak yang mengincarnya?" tanyanya, suaranya terdengar lugas dan tanpa basa-basi.
John mengangguk, menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Semuanya berdatangan. Benteng ini jadi titik transit utama. Aku kehabisan prajurit, logistik makin tipis. Tapi ya... kerajaan senang dengan gemerlap penemuan."
Liora mendengus.
"Dan kau tetap jadi pengelola gudang... dengan budak rupawan sebagai peliharaan?" Matanya menelusuri John dari atas ke bawah, seolah mencoba mencari tanda-tanda kelemahan.
John mendelik, tapi tak menyangkal. Ia membalas tatapan Liora.
"Kau tak berubah, selalu bicara to the point."
Liora menyandarkan punggungnya, tatapannya menyapu seluruh ruangan.
"Aku tidak suka perbudakan, John. Tapi aku tahu dunia ini... tidak peduli pada hal-hal semacam itu." Sebuah keheningan melanda. Suasana yang tadinya ringan dan penuh candaan kini berubah menjadi lebih serius.
"Dan kau ke sini bukan cuma untuk reuni," kata John akhirnya. Ia kembali memandanginya, tatapan mereka beradu.
Liora tersenyum samar.
"Benar. Aku mau tahu tentang satu budakmu. Yang kau ambil enam bulan lalu. Kurus, bekas luka banyak. Tapi matanya... penuh neraka. Aku melihatnya sebentar tadi. Di taman belakang."
John terdiam, tangan kirinya yang berada di bawah meja mengepal erat. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, seolah-olah sebuah rahasia telah terungkap.
"Siapa dia, John?"
Liora menatapnya lurus. John mengalihkan pandangan ke jendela, menghindari tatapannya. Ia berdeham, mencoba mengumpulkan suaranya.
"Namanya... Noir." Suaranya terdengar berat, seolah nama itu memiliki beban yang tak terlukiskan.
"Noir?" Liora mengerutkan kening.
"Nama yang indah untuk budak."
"Aku tak memberinya nama," John tertawa hambar.
"Dia menyebutnya sendiri... setelah beberapa minggu di sini. Sungguh aneh, bukan? Seorang budak yang masih memegang sesuatu dari masa lalunya."
Liora menautkan jemari di atas meja.
"Aku ingin membawanya. Kelas atas punya hak atas satu permintaan, kau tahu itu."
John diam, tangan kirinya masih menggenggam erat kursi.
"Banyak budak di sini. Mengapa dia?"
"Matanya," Liora menatap John lurus-lurus.
"Seperti... jurang yang pernah aku lihat di medan perang. Tapi juga ada percikan yang langka. Kau tahu aku tidak bicara sembarangan. Dia bisa menjadi sesuatu, jika diarahkan."
John menghela napas, berjalan ke perapian, membiarkan kehangatan api menyelimutinya.
"Selama enam bulan ini... dia berubah. Tubuhnya memang masih lemah, tapi pikirannya... tajam. Dan yang paling berbahaya dari budak bukanlah otot mereka, tapi harapan yang menyala."
Liora berdiri.
"Justru karena itu aku membutuhkannya. Dunia akan semakin gila, John. Dan aku lebih memilih dia berada di sisiku... daripada meledak di sisimu."
John menatap api dalam diam. Lalu, dengan suara pelan tapi tajam, ia berkata,
"Aku akan mempertimbangkannya."
Liora menyipitkan mata.
"Pertimbangkan cepat, Johnny. Karena kalau bukan aku yang membawanya... mungkin kamu akan melahapnya."
Dengan itu, ia berbalik dan pergi, meninggalkan John sendirian dengan percakapan yang penuh dengan makna tersembunyi.