NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:727
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27 DI RUANG SIDANG

Kursi-kursi panjang berjajar di aula dekanat. Tirai tebal menutup jendela, membuat suasana berat. Di depan, meja panjang ditempati tiga dosen senior yang menjadi majelis etik. Mikrofon berdiri tegak di tengah ruangan.

Amara duduk di kursi saksi, map bukti di pangkuan. Jantungnya berdetak keras, telapak tangannya dingin. Ia menarik napas panjang, mengingat pesan ibunya: “Jawab dengan hati yang lurus.”

Ketua sidang membuka dengan suara datar. “Hari ini kita mendengar klarifikasi atas tuduhan yang beredar terkait mahasiswi Amara. Kami minta semua pihak menjaga ketertiban. Pertama, silakan Amara memberi pernyataan.”

Amara berdiri. Suaranya bergetar, tapi matanya mantap. “Saya Amara. Tuduhan bahwa saya menyalahgunakan dana yayasan sudah terbantahkan lewat audit. Tuduhan bahwa ibu saya sakit parah karena saya adalah kebohongan. Tuduhan bahwa saya masih berhubungan dengan Davin—itu juga tidak benar. Saya berdiri di sini bukan untuk mengemis simpati, tapi untuk menegakkan kebenaran.”

Beberapa mahasiswa yang hadir sebagai penonton berbisik-bisik. Ada yang mengangguk, ada yang menyipitkan mata.

Selvia maju dengan penuh percaya diri. Rambutnya disisir rapi, wajahnya dihiasi senyum tipis. “Majelis yang terhormat, izinkan saya menunjukkan bukti tambahan. Ini tangkapan layar percakapan antara Amara dan Davin, jelas bertanggal dua minggu lalu.”

Ia menyerahkan kertas-kertas yang dicetak rapi. Ketua sidang membolak-baliknya. “Amara, apakah ini milikmu?”

Amara menatap kertas itu lama. “Tidak. Chat ini palsu. Hari dan jam yang tertera adalah waktu saya presentasi di kelas, ada daftar hadir dan rekaman e-learning.”

Ketua sidang menoleh. “Apakah ada saksi?”

Indra berdiri dari kursinya. “Saya, Pak. Amara satu kelompok dengan saya. Ini salinan daftar hadir manual dan file presentasi dengan cap waktu. Kami semua ada di kelas, dan bisa dipanggil teman kelompok lain untuk bersaksi.”

Ruang aula riuh sejenak. Majelis memberi isyarat agar tenang.

Selvia tampak panik sesaat, lalu buru-buru menambahkan, “Tapi rekaman bisa dimanipulasi. Semua tahu keluarga Atmadja punya kekuasaan.”

Tiba-tiba pintu belakang terbuka. Davin masuk dengan langkah ragu, membawa ponsel di tangannya. “Saya ingin bicara.”

Majelis mengangguk, mempersilakan. Davin berdiri di depan mikrofon. “Saya Davin. Saya bersumpah, saya tidak pernah bertemu Amara sejak dia menikah. Minggu lalu, ada yang menghubungi saya untuk membuat kesaksian palsu. Saya menolak, tapi mereka memotong potongan chat lama dan menyusunnya seakan-akan baru. Saya punya rekaman telepon itu.”

Ia memutar rekaman. Suara perempuan terdengar samar: “Katakan saja kau bertemu Amara. Kami akan membayar. Tak perlu khawatir, ini demi kebenaran yang lebih besar.”

Ruangan bergemuruh. Beberapa mahasiswa langsung berbisik, sebagian menatap Selvia dengan curiga.

Ketua sidang mengetuk palu kecil. “Cukup. Rekaman akan diverifikasi tim IT kampus. Sementara itu, kita akui bahwa bukti chat yang diajukan Selvia tidak bisa diterima bulat-bulat.”

Wajah Selvia pucat, tapi ia memaksakan senyum. “Saya… hanya ingin mencari kebenaran.”

Setelah jeda singkat, sidang berlanjut. Ketua sidang menatap Amara. “Pertanyaan terakhir. Apa yang membuatmu yakin tetap pantas menyandang status mahasiswa, meski badai gosip ini terus menimpamu?”

Amara menghela napas. Matanya menatap semua yang hadir. “Karena saya tahu siapa diri saya. Saya bukan orang sempurna, tapi saya tidak berbohong. Saya tetap belajar, saya tetap bekerja, saya tidak kabur dari tanggung jawab. Kalau kampus ini hanya menilai dari gosip, maka kampus ini kehilangan arti pendidikan. Tapi kalau kampus menilai dari bukti, saya percaya kebenaran akan tetap berdiri.”

Seisi aula hening. Kata-kata itu sederhana, tapi penuh emosi.

Selesai sidang, Amara keluar dengan langkah berat. Udara kampus terasa lebih dingin dari biasanya. Namun sebelum ia melangkah jauh, beberapa mahasiswa mendekat.

“Amara, kami percaya kamu.”

“Kami lihat sendiri tadi, kamu berani.”

“Jangan menyerah.”

Amara hampir menangis, tapi ia tersenyum dan mengangguk. Di kejauhan, ia melihat Bagas berdiri di sisi mobil, memperhatikannya. Tatapan mereka bertemu. Bagas mengangguk sekali, seolah berkata: Kau tidak sendirian.

Malamnya, di rumah aman, Amara membuka buku catatannya. Pena menari di atas kertas.

“Hari ini aku duduk di kursi sidang. Mereka menyerang dengan tuduhan baru, tapi kebenaran juga punya saksi. Davin akhirnya bicara, Indra berdiri, bahkan beberapa mahasiswa mulai percaya. Aku masih harus menunggu keputusan, tapi aku tahu satu hal: aku tidak lagi sendiri. Suaraku mulai bergema lewat orang-orang yang berani berdiri bersamaku.”

Ia menutup buku itu, lalu menatap jendela. Langit malam tampak gelap, tapi ada bintang kecil yang berkedip. Dan Amara percaya—meski kecil, cahaya itu cukup untuk menuntun jalannya.

Koridor dekanat terasa sempit ketika pintu aula tertutup. Selvia berdiri di bawah lampu putih, wajahnya masih diselimuti senyum tipis yang tidak menyentuh mata. “Kau pikir selesai?” suaranya rendah. “Majelis belum memutuskan.”

Rani merengsek satu langkah, berdiri di sisi Amara. “Dan kau pikir orang tidak melihat caramu memelintir bukti?”

Selvia mendekat, bisikannya dingin. “Tidak perlu aku. Ada banyak cara membuatmu jatuh, Amara. Orang sepertimu selalu kalah pada akhirnya.”

Amara menatapnya lurus. “Kalau aku kalah, itu karena aku berhenti berjalan. Dan aku tidak akan berhenti.”

Seorang staf dekanat datang membawa map. “Ibu Amara, ini daftar dokumen lanjutan: portofolio kuliah semester ini, rekam kehadiran, dan ringkasan kegiatan sosial. Majelis memberi waktu tiga hari.” Ia menunduk sopan. “Terima kasih sudah kooperatif.”

Tiga hari. Kata-kata itu menghantam dada Amara seperti lonceng yang berdentang lama. Bukan ketakutan yang muncul, melainkan kelelahan yang diminta untuk bersabar.

Di halaman, angin sore mengibaskan rambutnya. Bagas menunggu di dekat mobil, tidak bertanya apa pun, hanya membuka pintu dan membiarkan keheningan duduk bersama mereka. Separuh jalan, ia baru bersuara, tenang dan datar. “Tiga hari cukup, kalau kau menyusunnya dengan rapi.”

“Aku akan selesaikan dalam dua,” jawab Amara, suaranya serak namun mantap.

Bagas menoleh sekilas, bibirnya terangkat samar. “Baik. Aku siapkan tim untuk mengumpulkan arsip dari kantor yayasan dan rekam medis ibumu. Untuk kampus, biarkan kau yang memimpin.”

Malam turun perlahan ketika Amara sampai di rumah aman. Ibunya menunggu di teras kecil dengan selendang di bahu. “Bagaimana?”

“Berjalan,” jawab Amara. “Aku diminta menunjukkan siapa aku, bukan siapa yang orang katakan.”

Ibunya tersenyum, garis halus di sudut mata tampak hangat. “Itu pertarungan yang adil.”

Di kamar, meja kecil berubah menjadi pos komando. Laptop terbuka, map berserakan: salinan kehadiran, cap waktu e-learning, nilai tugas, foto kegiatan kelas anak, testimoni guru, dan rencana evaluasi donor. Amara memberi nama folder dengan tanggal, menempelkan catatan kecil di samping layar: Kerja adalah jawabanku.

Notifikasi ponsel menyala—pesan dari nomor tak dikenal: “Tiga hari itu lama. Orang bisa berubah pikiran dalam semalam.”

Amara menatap layar beberapa detik, lalu menekan tombol “laporkan” dan memblokir. Ia meletakkan ponsel menghadap bawah, menolak memberi ruang bagi bayang-bayang.

Rani menelepon singkat. “Aku dan Indra urus pernyataan saksi tertulis. Dosen moderator setuju menandatangani berita acara forum. Kita kirimkan besok.”

“Terima kasih,” ucap Amara. “Jangan lupa istirahat.”

“Tulisanmu yang membuat kami kuat,” jawab Rani. “Kau dulu yang bilang: suara tidak harus keras, yang penting lurus. Kami belajar itu darimu.”

Panggilan berakhir meninggalkan sunyi yang hangat. Amara menoleh pada layar—cursor berkedip seperti detak jantung. Ia mulai mengetik ringkasan narasi pribadinya: bukan drama, bukan pembelaan, melainkan jejak langkah.

— jam-jam kuliah yang dihadiri.

— tugas yang dikumpulkan tepat waktu.

— nama-nama anak yang karyanya dipamerkan.

— tanggal rapat donor dan kesepakatan evaluasi.

Setiap baris terasa seperti memasang bata di dinding yang hendak dijebol fitnah. Semakin rapi, semakin sulit roboh.

Menjelang tengah malam, Arman mengirim berkas terenkripsi: rekaman panggilan yang dibawa Davin, salinan forensik waktu panggil, serta surat keterangan kondisi ibunya dari dokter klinik rekanan. “Semua siap untuk majelis,” tulisnya. “Kapan pun kamu mau kirim.”

“Besok pagi,” balas Amara. “Terima kasih, Man.”

Ia berhenti sejenak, menatap jari-jarinya yang pegal. Di luar, suara serangga malam mengalun samar. Ketika rasa cemas mendekat, ia teringat tatap mata Bagas di depan aula: bukan janji, melainkan kepercayaan. Terlintas juga suara Davin di mikrofon—terlambat, tetapi akhirnya jujur. Lalu wajah ibunya, senyum yang tidak pernah menuntut apa pun kecuali kejujuran anaknya.

Pena di buku catatan dibuka. Tinta mengalir tenang.

“Hari ini, ruang sidang menguji suaraku. Esok, dokumen akan berbicara untukku. Aku belajar bahwa kebenaran tidak selalu menang dalam sorak-sorai; ia menang dalam ketekunan. Jika ini maraton, aku akan berlari dengan napas yang panjang. Jika ini badai, aku akan menunggu sampai langit belajar kelelahan.”

Lampu meja dipadamkan, layar laptop dibiarkan menyala dengan daftar berkas yang siap diunggah. Amara menarik selimut, memeluk dingin malam sambil menahan satu keputusan sederhana namun berat: bangun lebih pagi dari ketakutannya.

Di tempat lain, sebuah pesan singkat terkirim dari ponsel Selvia ke kontak tanpa nama: “Rapat majelis tiga hari lagi. Pastikan testimoni ‘netral’ masuk besok. Jangan sebut sumber.” Balasan datang cepat: “Dipahami.” Selvia menutup ponsel, menatap bayangannya di jendela. Untuk pertama kalinya, bayangan itu tidak setegas biasanya—sebuah getar kecil menyelinap di sudut bibirnya.

Kembali ke kamar, Amara memejamkan mata. Ia tidak tahu keputusan apa yang menunggu, tetapi ia tahu cara menemuinya: data di tangan, kepala tegak, langkah lurus. Dan untuk kali pertama sejak semua ini meledak, kantuk datang bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai jeda yang pantas. Esok, suaranya akan kembali dipinjamkan kepada dokumen; lusa, ia siap duduk lagi di kursi yang sama—bukan untuk meminta maaf pada gosip, melainkan untuk memberi ruang pada kebenaran yang tumbuh dari kerja.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!