Alya, mahasiswi tingkat akhir yang cerdas dan mandiri, tengah berjuang menyelesaikan skripsinya di tengah tekanan keluarga yang ingin ia segera menikah. Tak disangka, dosen pembimbingnya yang terkenal dingin dan perfeksionis, Dr. Reihan Alfarezi, menawarkan solusi yang mengejutkan: sebuah pernikahan kontrak demi menolong satu sama lain.
Reihan butuh istri untuk menyelamatkan reputasinya dari ancaman perjodohan keluarga, sedangkan Alya butuh waktu agar bisa lulus tanpa terus diburu untuk menikah. Keduanya sepakat menjalani pernikahan semu dengan aturan ketat. Tapi apa jadinya ketika batas-batas profesional mulai terkikis oleh perasaan yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Besok adalah hari Alya wisuda, malam ini dia sudah menyiapkan semua yang akan dia pakai untuk acara besok. Mulai dari baju yang dia beli waktu itu sampai alat make up, Alya tidak menyewa MUA melainkan makeup sendiri, katanya biar lebih hemat aja.
sedangkan Reihan baru saja datang dari ruang kerjanya, wajahnya tampak lelah.
" kenapa belum tidur. Ini udah mau tengah malam" ucap Reihan sambil menjatuhkan dirinya ke atas ranjang.
Alya menatap ke sang empu " iya mas bentar lagi ini selesai"
" jangan lama-lama, besok kamu harus bangun lebih awal biar ngga telat"
Alya mengangguk saja. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada Reihan tapi dia ragu.
" mas" panggil Alya dengan suara pelan
Reihan yang belum tertidur menatap ke arah Alya "kenapa"
" besok mas datang ke acara wisudaku?" tanya Alya
Reihan terdiam beberapa detik, menatap wajah istrinya yang tampak ragu-ragu
Kenapa nanya gitu?” balas Reihan pelan.
Alya menunduk, memainkan ujung selimut dengan jari-jarinya. “Aku takut, Mas… kalau Mas datang, orang-orang jadi tahu tentang pernikahan kita. Aku belum siap kalau ada yang nanya-nanya. Apalagi teman-teman kampus kan nggak ada yang tahu.”
Reihan mendengarkan dengan tenang, tapi dalam hatinya ada rasa tidak suka.“Terus maksud kamu aku nggak usah datang?” tanyanya dengan nada datar.
Alya cepat-cepat menggeleng. “Bukan gitu, Mas. Aku seneng kalau Mas mau datang. Cuma… aku takut orang lain jadi curiga. Apalagi…” Alya terhenti sebentar, lalu menarik napas. “…Farel juga bakal datang.”
Mata Reihan langsung menajam mendengar nama sepupunya itu. “Farel?” ulangnya pelan.
Alya mengangguk. “Dia sahabatku, Mas. Dari awal dia tahu banget perjuanganku sampai bisa lulus. Jadi, pasti dia datang.”
Reihan berbalik berbaring menyamping, kini menatap istrinya lekat-lekat yang sudah berada di atas ranjang. Ada rasa aneh yang menggelitik dadanya, semacam cemburu yang tak ingin ia akui.
“Jadi kamu lebih milih Farel yang ada di sana daripada aku?” tanyanya dingin.
Alya buru-buru menatap Reihan dengan panik. “Nggak, Mas! Bukan gitu. Aku cuma… "
Reihan menarik napas panjang, lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Tatapannya masih terarah pada Alya yang tampak gelisah.
"aku ngerti maksud kamu,” ucapnya tenang. “Aku akan tetap datang… tapi sebagai dosen pembimbing kamu. Jadi nggak usah khawatir, ngga akan ada yang curiga tentang hubungan kita.”
Alya terdiam, hatinya terasa sedikit lega, meski masih ada rasa was-was. “Serius, Mas? Jadi orang-orang nggak akan mikir yang aneh-aneh?”
Reihan mengangguk mantap. “Iya. Lagian memang aku dulu dosen pembimbing kamu, kan? Jadi wajar aja kalau aku hadir di acara wisuda kamu. Mereka pasti nganggepnya sebatas itu.”
Alya mengembuskan napas pelan, seolah beban yang menyesakkan dadanya berkurang. “Syukurlah… aku sempat takut banget kalau semua orang tahu.”
“Tenang aja,” sambung Reihan dengan nada lebih lembut. “Aku nggak akan bikin kamu repot. Tugas kamu besok cuma satu: senyum, nikmatin hari wisuda kamu, dan jangan khawatir soal yang lain.”
Senyum tipis akhirnya mengembang di bibir Alya. “Makasih, Mas…”
“Udah, sekarang tidur. Besok kamu harus kelihatan cantik dan fresh,” ujar Reihan seraya menepuk pelan selimut Alya.
Alya mengangguk kecil, lalu memejamkan matanya. Sementara Reihan masih menatapnya sejenak, sebelum akhirnya ikut merebahkan diri di sisi ranjang.
Alarm ponsel berbunyi nyaring. Alya terbangun dengan sedikit kaget, lalu segera bangkit dari ranjang. Hari ini hari penting—hari yang sudah ia tunggu-tunggu selama bertahun-tahun kuliah.
Ia masuk ke kamar mandi, berwudhu, kemudian salat subuh. Setelah itu Alya langsung berkutat dengan peralatan makeup yang semalam sudah ia siapkan rapi di meja rias. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena gugup berdandan, melainkan karena membayangkan bagaimana nanti suasana acara akan berjalan.
Sementara itu, Reihan juga sudah bangun. Lelaki itu selesai mandi dan kini mengenakan kemeja putih bersih serta celana bahan hitam. Meski terlihat sederhana, aura berwibawanya tetap terasa kuat. Dari pintu kamar, ia memperhatikan Alya yang sedang serius bercermin.
“Udah jam segini masih aja ngotot dandan sendiri,” ucap Reihan sambil menyandarkan bahunya ke kusen pintu.
Alya menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Mas. Hemat. Lagi pula aku udah biasa makeup sendiri kok.”
Reihan mendekat, menaruh dasi di lehernya sambil sesekali melirik ke arah Alya. “Kalau sampai nggak rapi, aku yang malu. Masa dosen pembimbingnya punya mahasiswa wisuda dengan riasan kacau.”
Alya mendengus kecil, pura-pura cemberut. “Heh, jangan ngejek dulu. Belum selesai ini.”
Reihan hanya tersenyum miring, lalu duduk di pinggir ranjang. Diam-diam, matanya tak lepas dari sosok Alya yang perlahan berubah. Sentuhan lipstik, alis yang dirapikan, hingga kebaya biru lembut yang mulai ia kenakan membuat Alya tampak jauh berbeda dari biasanya.
Saat Alya selesai, ia berdiri sambil merapikan kain kebayanya. “Gimana, Mas? Udah cantik belum?” tanyanya dengan wajah penuh harap.
Reihan terdiam sejenak, matanya menyapu dari atas ke bawah. Sesuatu berdesir di dadanya, seolah ia baru pertama kali melihat Alya dengan cara berbeda.
“Cantik,” jawabnya nyaris tak terdengar.
" hah, kenapa mas"
“Udah, ayo turun. Mama sama Papa pasti udah nunggu. Jangan sampai telat,” ujar Reihan sembari meraih jasnya, lalu berjalan mendahului Alya keluar kamar.
****
Kampus pagi itu ramai sekali. Jalanan menuju aula dipenuhi mahasiswa berseragam toga, bersama keluarga yang sibuk mengabadikan momen dengan kamera ponsel maupun fotografer. Suasana haru, tawa, dan kebanggaan bercampur jadi satu.
Alya turun dari mobil bersama Reihan, dengan tatapan was-was. Jantungnya berdetak kencang karena dua hal: acara penting ini, dan fakta bahwa Reihan akan hadir sebagai dosen pembimbingnya.
“Mas, yakin nggak apa-apa? Kalau ada yang tahu gimana?” bisik Alya saat mereka berjalan beriringan.
Reihan menoleh singkat, wajahnya tenang. “Santai aja. Di sini aku cuma dosen pembimbing kamu. Nggak lebih, nggak kurang.”
Alya hanya mengangguk kecil. Ia mencoba menenangkan dirinya, meski di dalam hati masih ada rasa takut kalau rahasia mereka terbongkar.
Dari kejauhan, terlihat Bu Dewi dan Pak Pratama—orang tua Alya—sudah menunggu bersama Devan yang tampak gagah dengan kemeja rapi. Mereka melambaikan tangan begitu melihat Alya.
“Alya!” seru Bu Dewi penuh semangat, lalu segera memeluk putrinya erat. “Akhirnya… mama bangga banget sama kamu, Nak.”
Alya tersenyum, matanya ikut berkaca-kaca. “Makasih, Mah, Pah…”
Pak Pratama menepuk bahu Alya dengan bangga. “Selamat ya, akhirnya perjuanganmu terbayar. Papa juga bangga sekali.”
Devan yang berdiri di samping hanya menyunggingkan senyum jail. “Kak, jangan nangis dulu. Nanti mascaranya luntur, lho.”
Alya mencubit pelan lengan adiknya. “Dasar Devan!”
Semua tertawa kecil. Reihan yang berdiri tak jauh dari mereka hanya memperhatikan dalam diam, tapi ada senyum samar di wajahnya melihat kebahagiaan Alya bersama keluarganya.
Di sisi lain, dua sahabat Alya, Nia dan Lala, juga sudah datang dengan toga masing-masing. Mereka berlari kecil mendekati Alya.
“Alyaaaa! Kita beneran wisuda bareng!” teriak Nia sambil memeluknya.
“Ya ampun, akhirnya perjuangan begadang ngerjain skripsi terbayar juga,” timpal Lala dengan senyum lebar.
Mereka bertiga berpelukan erat, membuat suasana semakin haru.
“Kalian cantik banget!” ucap Alya sambil memandangi sahabat-sahabatnya.
“Kamu juga nggak kalah cantik, Ly. Apalagi ada dosen pembimbing super cool yang selalu setia nemenin kamu,” goda Lala dengan nada menggoda.
Alya langsung tersedak kecil dan buru-buru mengalihkan pandangan. “Eh, jangan ngomong aneh-aneh deh. Itu kan cuma kebetulan aja.”
Nia dan Lala saling pandang, lalu terkekeh. Sementara itu, Reihan yang mendengar dari jauh hanya mengangkat alis, pura-pura sibuk membuka ponselnya.
****
Tak lama, keluarga Reihan juga muncul—Bu Laras dan Pak Prasetyo. Mereka berjalan beriringan menghampiri Alya dan keluarganya.
“Selamat ya, Alya. Akhirnya lulus juga,” ucap Bu Laras sambil tersenyum hangat.
Alya langsung menunduk hormat. “Terima kasih banyak, Ma.”
Pak Prasetyo hanya mengangguk pelan, wajahnya tegas seperti biasa. Tapi Alya tahu, ada sedikit kebanggaan terselip di sana.
“Kalau gitu, sekalian foto bareng aja yuk,” usul Bu Dewi dengan penuh semangat. “Biar jadi kenang-kenangan keluarga besar.”
Mau tak mau, Reihan yang sedari tadi hanya berdiri di sisi Alya ikut melangkah maju. Akhirnya, kedua keluarga itu berdiri berdampingan di depan kamera.
Alya berada di tengah, diapit oleh Reihan dan Bu Dewi. Sementara Devan berdiri di samping Reihan, lalu orang tua mereka berjejer di belakang.
“Siap semua ya… satu, dua, tiga… senyum!” suara fotografer memandu.
Klik!
Senyum terpampang di wajah masing-masing, meski Alya bisa merasakan canggung yang samar di antara beberapa orang. Tapi entah kenapa, hatinya hangat melihat kedua keluarganya bisa menyatu dalam satu frame foto.
Setelah foto selesai, Bu Laras menepuk bahu menantunya itu. “Mama bangga sama kamu, Alya. Jangan berhenti belajar meski sudah lulus ya.”
“Iya, Ma. Terima kasih banyak sudah selalu mendukung Alya.”
“Alya…”
Alya menoleh, mendapati Farel berjalan ke arahnya dengan senyum lebar.
Selamat ya, akhirnya lulus juga,” ucapnya tulus.
Alya tersenyum kikuk. “Makasih, Rel.”
Sebelum suasana makin canggung, Reihan tiba-tiba melangkah mendekat. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya jelas menyiratkan sesuatu. “Tumben kamu datang, Rel,” ucapnya datar.
Alya terbelalak kecil. “Kalian… saling kenal?” tanyanya heran pura-pura tidak tahu.
Farel terkekeh kecil, menatap Alya. “Tentu saja kenal. Aku ini sepupunya Reihan.”
“Hah? Serius? Kok kamu ngga pernah bilang, Rel?”
Farel hanya tersenyum samar. “Banyak hal yang ngga sempat aku ceritakan, Alya.”
Sementara itu, orang tua Reihan dan Alya juga ikut memperhatikan. Bu Laras tersenyum ramah. “Oh, jadi Farel sempat hadir juga. Sudah lama sekali kita ngga ketemu, Nak.”
Farel sedikit bingung kenapa tantenya ini bisa ada disini“Betul, Tante. Maaf ya, Farel baru bisa menyempatkan waktu sekarang.”
Nia dan Lala yang berdiri di dekat Alya langsung saling melirik, jelas terkejut dengan fakta baru itu.
Reihan meraih lengan Alya pelan, seolah ingin menegaskan sesuatu. “Alya, ayo ikut Mama dan Papa. Kita harus lanjut acara makan bersama.”
Farel sempat menatap Alya cukup lama sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Selamat sekali lagi, Alya. Semoga semua yang kamu harapkan tercapai.”