Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Kilatan kamera berulang kali menyambar wajah Cedric. Para wartawan yang sedari tadi menunggu langsung merangsek maju, berebut mikrofon dan melontarkan pertanyaan.
"Tuan Cedric, apa benar video yang beredar itu putri Anda?"
"Ya. Itu memang Elira, putriku."
Para wartawan berlomba-lomba mencatat jawaban eksklusif itu.
"Bagaimana tanggapan Anda soal penusukan itu? Publik mengatakan tindakan itu sangat brutal."
Cedric terdiam sebentar di saat orang-orang menunggu jawabannya. Blitz kamera terus menyerang wajahnya.
"Nak. Aku ingin membelamu, namun kini aku merasa telah kehilangan segalanya. Kau melawanku di saat aku berusaha melindungimu," batin Cedric sendu.
Cedric Maeven yang tenang dan tak kenal takut, akhirnya merasa runtuh hanya karena perlawanan putrinya sendiri yang tak menganggapnya sama penting.
Andai Arsen tahu, sebenarnya ini sudah cukup berhasil. Cedric dan Elira telah berseteru tanpa ia tahu.
"Tuan Cedric?"
Cedric mengerjap. "Ah. Maaf."
Ia pun melanjutkan, "Elira tidak sempurna. Dia bisa salah, sama seperti manusia lain. Tapi jangan lupa, setiap peristiwa memiliki dua sisi. Sayangnya, semua orang hanya mendebatkan soal potongan video."
"Apakah Anda menyesali perbuatan putri Anda?"
Cedric menghela napas, menatap satu per satu orang yang ada di hadapannya. "Ayah mana yang tidak menyesal jika putrinya diperlakukan seperti ini di mata publik? Aku akan terus mendukungnya, meski seluruh mata tengah menyudutkannya."
"Ada sebuah kabar jika saham perusahaan Anda anjlok karena kasus ini. Apakah Maeven Corp akan bangkrut?"
Kali ini Cedric tersenyum miring, seolah sengaja agar di kejauhan sana, Arsen mampu melihat responsnya.
"Maeven Corp sudah berdiri puluhan tahun. Kami pernah melewati krisis lebih buruk dari ini." Cedric berkata serius sambil menerawang jauh ingatannya tentang insiden Naomi.
"Jika kalian pikir dua tayangan video bisa menghancurkan segalanya, kalian salah besar."
Wartawan mengangguk-angguk, merasa takjub dengan jawaban yakin Cedric yang sama sekali tak merasa takut.
"Jadi Tuan Cedric, apa langkah Anda berikutnya?"
"Langkah berikutnya?" Cedric tersenyum penuh arti. "Melindungi keluargaku. Itu jawabannya. Apa pun harga yang harus dibayar."
......................
📍 Markas Rahasia Arsen
Di sebuah ruangan redup dengan aroma obat-obatan dan darah kering, Arsen duduk di kursi roda. Luka tusukan di bawah tulang rusuknya masih terasa menusuk meski jahitan telah menutupinya. Di hadapannya, layar televisi menampilkan siaran langsung wawancara Cedric.
Arsen menyipitkan mata, menatap tajam ekspresi tegas Cedric yang berulang kali muncul di layar.
"Melindungi keluargaku. Itu jawabannya. Apa pun harga yang harus dibayar," kata Cedric dalam tayangan itu.
Arsen tersenyum pahit. Jemari pucatnya menekan lengan kursi roda.
"Melindungi keluarga? Kau pikir dunia masih akan segan pada nama Maeven? Kau sudah selesai, Cedric," batinnya penuh amarah.
Merrick yang berdiri di sisi kanan hanya menunggu instruksi. Ia bisa membaca jelas kegelisahan sekaligus amarah tuannya.
"Panggil mereka."
Merrick mengernyit. "Siapa yang Tuan maksud?"
Tatapan Arsen menyorot tajam dengan sunggingan jahat. "The Viper."
Ucapan itu seketika membuat atmosfer sekitar menjadi berat. Bahkan Merrick kali ini sempat terdiam.
The Viper, nama yang terlalu tabu untuk diucapkan sembarangan. Sebuah sindikat bayangan yang terkenal bukan sekadar mafia, melainkan rantai kutukan mutlak yang menjadi senjata terakhir Arsen melumpuhkan lawannya. Mereka jarang bergerak, kecuali untuk kontrak yang sangat mahal atau dendam yang harus ditebus darah.
Merrick akhirnya kembali bersuara. "Apakah Tuan benar-benar yakin? Menggerakkan mereka, artinya akan ada pertumpahan darah-"
"Hah," lirih Arsen dengan menyeringai.
"Kau ini seperti pertama kali saja," ucapnya ringan. "Bukankah sejak dulu, hidupmu telah penuh oleh noda darah? Tak usah sok suci," geram Arsen yang lama-lama merasa kesal.
"Lihatlah. Maeven terlalu lama merasa kebal. Aku ingin mereka tahu, tidak ada benteng yang cukup kuat untuk menahan bisa Viper."
Dengan tangan gemetar, Arsen meraih gelas di sampingnya. Ia menenggak seteguk air obat, lalu menatap lurus ke layar televisi yang menampilkan Cedric.
"Keluargamu akan merasakan apa artinya kehilangan, Cedric. Aku bersumpah."