Lyra tak pernah menyangka bahwa orang yang paling ia percayai telah mengkhianatinya sebulan sebelum pernikahannya.
Alih-alih membelanya, ibu tirinya justru memilih untuk menikahkan tunangannya dengan kakaknya sendiri dan menjodohkannya dengan Adrian— seorang pria yang tak pernah ia tahu.
Namun, di tengah huru hara itu Adrian justru menawarkan padanya sebuah kontrak pernikahan yang menguntungkan keduanya. Apakah Lyra dan Adrian akan selamanya terjebak dalam kontrak pernikahan itu? Atau salah satunya akan luluh dan melanggar kontrak yang telah mereka setujui?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rheaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Cukup, Tasya! Tidak semua hal yang ada di dunia ini harus kau dapatkan. Kalau kau baru ingin belajar, lakukan itu di luar proyek. Jangan membuatku malu dan menghancurkan proyek penting ini dengan memaksakan masuk ke dalam tim perancangan!" ujar Pak Evan dengan alis yang tertekuk.
"Tapi paman—"
"Jangan membuatku mengulanginya dua kali, Tasta. Lalu, panggil aku dengan sebutan Pak manager Evan. Kita sedang berada di kantor, bukan di lingkungan rumah. Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan lagi, silahkan keluar dari ruanganku," perintah Pak Evan lalu kembali fokus pada komputernya.
Tasya hanya bisa tertunduk, perlahan ia menyeret kakinya keluar dari ruangan project manager. "Aku memang tidak pandai membaca skala. Tapi desainku sangat bagus, bahkan mungkin saja bisa membuat orang awam langsung terpanah saat melihatnya," batin Tasya kesal lalu mengepal tangannya dengan erat.
Lyra yang sedari tari duduk di kursinya sambil mengunyah makan siang meliriknya sesaat lalu kembali fokus pada komputernya. "Kau pasti ingin mengejekku, kan?" celetuk Tasya lalu menjatuhkan dirinya pada kursi kerja.
"Sejujurnya aku tidak peduli sama sekali," ketus Lyra lalu kembali menyendok makanan masuk ke mulutnya.
"Cih! Entah apa yang kau lakukan sampai bisa bergabung dalam proyek penting itu," batin Tasya menatap Lyra dengan bengis.
"Sebaiknya kau segera meningkatkan kemampuanmu atau kau akan dipecat dari perusahaan ini. Bisa jadi tidak ada perusahaan yang akan menerimamu nantinya," tambah Lyra seraya menyunggingkan senyum miring pada Tasya.
"Jalang sialan! Aku tahu, kau pasti menjual tubuhmu pada atasan, kan?!" pikir Tasya. Rahangnya mengeras, tangannya menggenggam sudut meja seolah ingin mematahkannya.
Di sisi lain kota, Adrian sedang duduk di kantornya untuk makan siang. "Enak," pikirnya setelah melahap satu suapan bekal makan siang yang disiapkan oleh istrinya.
"Hei apa yang kau makan?" celetuk sahabatnya, Rico yang tiba-tiba masuk ke ruangan.
"Bekal makan siang dari istriku," jawab Adrian datar. Selama mereka menjalin hubungan pertemanan, Adrian telah terbiasa dengan sifat Rico yang selalu mendatanginya secara tiba-tiba seperti sekarang ini.
"Terlihat lezat. Biarkan aku mencobanya satu suapan," ucapnya seraya meraih kotak makan siang Adrian.
"Tidak. Cari saja istri sendiri." Adrian menarik kembali kotak bekalnya dan melahapnya hingga tak tersisa.
Rico hanya mampu menghela napas, bibirnya melengkung samar. "Akhirnya ada wanita yang mampu meluluhkan hatimu."
"Apa yang membuatmu datang kemari?" tanya Adrian dengan satu alis terangkat.
"Ini tentang proyek kompleks apartemen itu. Kau yakin menyerahkannya pada perusahaan lain untuk dikelola?"
"Ya. Aku memberikannya pada perusahaan tempat istriku bekerja. Aku yakin dia mampu menyelesaikan proyek itu."
"Bagaimana kalau klien kita kecewa karena hasilnya?"
"Kau ingat mall yang baru saja dibuka tahun lalu? Perusahaan istriku yang mendesainnya dan respon publik tidak buruk."
Rico mendengarnya sambil mengangguk pelan tanpa melemparkan pertanyaan lagi. Jam demi jam berlalu, Adrian datang ke kantor Lyra untuk menjemput istrinya. Namun, di luar dugaan pria itu justru bertemu dengan ayah mertuanya.
"Nak? Kau pasti kemari untuk menjemput Lyra. Bagaimana kalau menunggu di ruangan papa?" celetuk Pak Satria saat berpapasan dengan Adrian di lobi.
"Terima kasih, pa," ucapnya lalu mengekori Pak Satria di belakang. Keduanya berbincang ringan tanpa henti, membahas hal-hal sepele hingga tiba di depan ruangan.
Derit pintu yang dibuka menggema di ruangan sederhana itu. Adrian menjatuhkan dirinya pada sofa, matanya tertuju pada sebuah foto yang menggantung di dinding. Ia menatapnya tanpa berkedip selama beberapa detik.
"Oh, itu Lyra saat masih berusia tujuh belas tahun. Setiap memandang foto itu, paman seakan tidak percaya bahwa putri bungsuku saat ini sudah menikah. Paman akan menghubungi Lyra agar kemari," jelas Pak Satria, tangannya bergerak lincah di atas papan ketik menghasilkan suara yang memecah keheningan di antara mereka.
"Tujuh belas tahun? Artinya sudah delapan tahun yang lalu. Wajahnya tidak banyak berubah," batin pria itu, pandangannya terpaku pada foto itu.
*
*
*
Ting!
"Papa? Kira-kira apa yang ingin papa sampaikan sampai mengirim pesan seperti ini," pikir Lyra saat melihat notifikasi pesan di sudut layar komputernya.
Pak Satria : Lyra, Adrian datang untuk menjemputmu. Dia ada di ruangan papa sekarang.
Lyra : Baiklah. Aku akan ke sana saat jam kerja usai papa.
Beberapa menit berlalu, tak ingin membuat Adrian menunggu Lyra segera meraih tasnya dan bergegas ke arah tangga darurat. Di meja lain, Tasya memperhatikan gerak-gerik dari wanita itu. "Mari kita lihat, bagaimana caramu dapat masuk ke dalam tim perancangan."
Tasya melirik ke arah Juan dan Sena, memastikan situasi aman sebelum akhirnya mengekori Lyra dalam jarak aman. "Tangga darurat? Rupanya kau tidak ingin kebusukkanmu terendus oleh orang lain."
Langkah kaki Lyra bergaung, memantul di antara dinding ruangan. Kakinya terhenti, menyembunyikan tubuhnya di balik dinding koridor.
Lyra menoleh ke kiri dan ke kanan seakan memastikan situasi aman, lalu mendorong daun pintu di hadapannya.
"Sudah kuduga kau mempunyai hubungan gelap dengan atasan kita!" batin Tasya sambil meremas roknya dengan kencang.