“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyimpan Sendiri
Delisha segera memberikan tas itu kepada Zara.
“Makasih, Delisha.”
Delisha mengangguk.
“Delisha, kamu tahu kenapa Ustadzah Meisya jatuh?”
“Saya nggak tahu ustadz. Kami hanya tahu saat ustadzah Meysha sudah tergeletak di ujung tangga dalam keadaan begitu.”
“Oh, ya ya.”
“Selama ini apakah ustadzah Meisya sering mengeluh sakit kepala?”
“Iya Ustadz. Sangat sering.”
Dengan mata terpejam, Zayn mengurut-urut dahinya. Dia seakan berpikir keras tentang keadaan ustadzah Meisya saat ini.
Jangan-jangan sakit kepala yang dialaminya sekarang ini adalah lanjutan dari sakit kepala yang dulu pernah dia rasakan. Tapi bukankah saat itu, sudah dinyatakan sembuh oleh dokter.
Mengapa dia tidak pernah mengeluh ke kita, tentang masalah ini.
“Ya sudah makasih, Delisha.”
“Ustadz, sepertinya kita tidak diperlukan lagi di sini. Bagaimana kalau kami kembali ke pesantren?” kata Kemal.
“Sebentar. Tunggulah Ustadz Sapri datang,” kata Zayn.
Meskipun Sapri hanya sebagai sopir di pesantren, namun Zayn mengajarkan kepada anak-anak memanggilnya ustadz. Agar anak-anak bisa menghormati semua orang yang telah membesarkan pesantren ini.
“Baik Ustadz,” jawab Kemal.
Semua diam membisu. Tak ada yang berani berkata-kata. Guratan kesedihan tampak di wajah mereka. Terutama Zayn.
Dia merasa menyesal, tidak mampu menjaga Meysha dengan baik. Hingga menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Bagaimanapun juga, Meisya adalah keluarganya.
Semoga tidak terjadi apa-apa dengan dirinya, doa Zayn dalam hati.
Kesunyian ini pun pecah, saat Sapri menghampiri mereka.
“Gus, pripun Keadaan ustadzah Meisya?” tanya Sapri.
“Tidak apa-apa. Sudah ditangani dokter. Doakan saja yang terbaik agar cepat sembuh," Zayn menenangkan.
"Oh ya...Tolong bawa anak-anak ini kembali ke pesantren. Sekalian kamu bawa juga ambulans-nya.”
Zayn segera memberikan kunci ambulans kepada Sapri.
“Baik Gus.”
Mereka pun berpamitan kepada keduanya, sambil mencium tangan Gus Zayn atau Neng Zara.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Zayn.
Zara dan Zayn menunggu dengan harap-harap cemas di lobby. Namun sampai waktu maghrib pun tiba, belum ada panggilan lagi.
“Neng kita gantian shalat ya,”
“Ya Aa Gus.”
Zara sesekali mengusap kepalanya. Bagaimanapun dia masih terbayang dengan keadaan Meisya yang sangat mengenaskan. Dan itu membuatnya khawatir dan gelisah.
Dia menunggu-nunggu kabar dari para perawat yang menangani Meisya. Beberapa kali dia menengok ke pintu. Barangkali ada kabar yang menentramkan hatinya.
Bibirnya pun tak henti mengalunkan ayat-ayat yang pernah dihafalnya. Mungkin dengan ini dapat mengurangi kekhawatiran dan kegelisahan yang dia rasakan saat ini.
Dia baru berhenti ketika ada sebuah tangan menepuk pundaknya.
“Oh.. Aa Gus,” ucap Zara.
“Sekarang shalatlah dulu. Biar Aa yang menunggu Meisya,” kata Zayn.
“Ya, Aa Gus.”
Zara cepat-cepat menuju ke mushola yang ada di lingkungan rumah sakit. Untuk sesegera mungkin melaksanakan salat magrib.
Dia tak mungkin meninggalkan Aa Gus menunggui Meisya seorang diri. Bukan karena cemburu atau apa, tapi dia khawatir kalau-kalau Meisya membutuhkan bantuannya sebagai perempuan. Ke kamar mandi atau berganti pakaian.
Sementara itu Zayn tak bisa diam. Dia terlalu capek untuk duduk seorang diri. Makanya dia mondar-mandir di lobby seorang diri, sekedar melepaskan kelelahan yang ia rasakan.
“Keluarga ibu Meisya.”
“Ya, saya.” Zayn segera menghampiri perawat itu.
“Silakan bertemu dengan dokter yang merawat ibu Meisya.”
“Baiklah.”
Dia mengikuti langkah perawat itu menuju ruangan dokter. Mereka melewati deretan pasien-pasien yang keadaannya tak jauh berbeda dengan Meisya. Tapi mungkin tidak separah Meisya.
Sepintas dia melihat Meisya di ruangan khusus yang ada di sebelah ruangan dokter. Hati Zain terasa teriris melihat keadaan Meisya. Lemah tak berdaya, dengan banyaknya peralatan medis yang terhubung dengan tubuhnya.
“Keluarga ibu Meisya,” sapa dokter Hamzah saat dia baru saja masuk ke ruangannya.
“Ya, saya dokter,” jawab Zayn.
“Silakan duduk!”
Sepintas dia melihat Zayn. Lalu perhatiannya teralihkan pada lembaran-lembaran yang ada di tangannya.
“Terima kasih dokter,”
Zayn segera duduk di hadapan dokter tersebut. Dia menunggu dengan gelisah, apa yang akan dikatakan oleh dokter Hamzah tentang keadaan Meisya.
“Bagaimana keadaan adik saya, dokter?” tanya Zain begitu dokter Hamzah selesai membaca lembaran-lembaran yang ada di tangannya.
“Kenapa selama 3 bulan ini, adik Anda menghentikan pengobatan tumornya?”
Zayn tersentak dan terbelalak. Dia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter Hamzah baru saja tentang kesehatan Meisya.
“Ini sudah stadium lanjut, bahkan sudah terjadi pendarahan di otaknya,” kata dokter Hamzah penuh penekanan.
“Jadi maksud dokter, adik saya menderita tumor sudah lama.”
“Ya. Jadi yang menyebabkan pendarahan bukan karena dia jatuh dari tangga tetapi tumor otaknya yang telah mencapai stadium akhir. Yang mendorong pembuluh-pembuluh darah di otaknya pecah.”
“Ya Allah...” Zayn mengusap wajahnya dengan sedih. Dia tak menyangka Meisya telah menderita penyakit ini sudah sangat lama. Dan bodohlah dia yang selama ini tak mengetahuinya.
“Apakah masih bisa disembuhkan, Dokter?”
“Harapan itu tentu saja ada, kita punya Allah yang menentukan hidup mati setiap makhlukNya. Hanya saja aku sebagai dokter, hanya bisa menganalisis sesuai dengan keilmuanku.
Melihat keadaannya yang sedemikian parah, kemungkinan harapan untuk sembuh memang kecil. Apalagi dia telah mengalami pendarahan. Kemungkinan harapan hidupnya hanya sekitar satu tahun lagi atau kurang dari itu.”
“Dokter lakukan yang terbaik untuk adik saya.”
“Ya, insya Allah,” kata dokter Hamzah.
Zayn sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Dia pun berpamitan.
“Terima kasih dokter atas penjelasannya. Tapi bolehkah saya menjenguk adik saya, Dok?”
“Silahkan, tapi tidak boleh masuk ke dalam ruangannya.”
“Baiklah.”
Zayn pun meninggalkan ruangan dokter tersebut. Dan melihat keadaan Meisya melalui kaca.
Dalam diam Dia berkata,
” Dik, kamu begitu kejam kepada dirimu sendiri. Merahasiakan semua ini dari kita, keluargamu.
Dan yang membuat Kakak lebih sedih lagi, mengapa kau biarkan tubuhmu termakan oleh penyakit yang mematikan ini.
Apa karena kamu kecewa terhadap kakak, yang tak pernah memperhatikan perasaanmu. Tiga bulan... Yah 3 bulan yang lalu saat Kakak mulai memperhatikan Zara. Kamu kecewa, dan tak mau berobat lagi.
Maafkan kakak, Dik.”
Tak terasa mata Zayn pun berkaca-kaca. Ia pun tak kuasa, sehingga setetes embun bening lolos dari sudut matanya.
“Cepat sembuh, Dik.” Zayn pun keluar dengan wajah sedih.
Di depan pintu, dia disambut oleh Zara dengan wajah gelisah.
“Bagaimana keadaan Meisya, Aa Gus?”
Dia bingung akan akan berkata apa kepada Zara. Saat ini dia belum siap untuk menjelaskan bagaimana keadaan Meysha yang sebenarnya.
“Meysha belum siuman, masih dalam penanganan intensif para dokter,” kata Zayn kemudian.
“Apa Meisya mengalami gegar otak?” tanya Zara.
“Meisya mengalami pendarahan bukan karena gegar otak melainkan karena hal lain. Yang saat ini sedang diupayakan untuk segera sembuh.”
Zayn berusaha tetap tenang. Meski dalam hatinya benar-benar menjerit, dengan keadaan Meysha yang luar biasa berat.
“Ya Allah... Beri dia kesembuhan,” pinta Zara kemudian.
“Aamiin,” sahut Zayn.
“Sepertinya malam ini kita harus menginap di sini. Bagaimana Neng?”
“Kalau bersama Aa Gus, tentu Neng tidak akan pernah keberatan.”
Zayn tertawa kecil. Tak sangka akan mendapatkan siraman yang menyejukkan dari sang istri di tengah hatinya yang benar-benar kacau.
Siapa lagi bisa menjaga Meysha, kalau tidak mereka.
“Masya Allah...kata-kata Neng membuat Aa tenang,” jawabnya dengan senyum dikulum.
sejatinya mencinta dalam diam itu lebih baik apalagi yang kau cintai telah dimiliki oleh orang lain berarti memang bukan jodoh
jika masih tetap memaksa sungguh dirimu smakin terluka
cinta yang sesungguhnya akan bahagia dengan kebahagiaan orang yang kita cintai meski akhirnya bukan kamu yang disisinya
ikhlaslah dengan takdir
cinta itu suci murni jangan dinodai dengan keegoisan memanfaatkan kesempatan
tapi begitu alurnya.
mohon bersabar ya...🙏🙏
ak black list cerita author klo kyk gini.
mending zara g setor amalan baca surat yg akhirnya di poligami.
by lah ga suka ceritanya
palagi yg berhubungan dgn pesantren. trs byk yg poligami apapun alasan nya.
entah itu kyai ustad ulama pling g suka klo mrka pny istri lbh dari 1