Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
“Aku jenuh,” kata Wiji lirih, duduk di tanggul Brantas, matanya menatap air yang terus mengalir. “Hidup ini seperti kurungan. Terlalu banyak aturan, terlalu banyak suara yang menyuruhku diam.”
Asmarawati tidak langsung menjawab. Ia memungut sehelai daun kering, lalu meremasnya perlahan.
“Hidup dengan aturan memang kadang bikin sesak, Mas,” katanya pelan. “Tapi apa kita kuat kalau hidup tanpa arah? Tanpa batas?”
Wiji menghela napas. “Aku cuma ingin jadi diriku sendiri.”
"Boleh saja .....asal jangan sampai menyakiti orang lain,” bisik Asmarawati.
“Kadang kita pikir kita sedang jujur pada diri sendiri, padahal tanpa sadar... kita sedang menampar hati orang lain.”
Sunyi. Hanya suara angin dan riak sungai yang bicara.
“Kalau begitu... harus bagaimana?” tanya Wiji.
“Kita tetap jadi diri sendiri,” jawab Asmarawati, “tapi dengan hati yang tahu kapan harus bicara, kapan harus diam. Bukan untuk takut... Bukan untuk menang.... Tapi supaya kita tetap bijak menyikapi kahanan. Dan tetap adil dalam menjalani kehidupan.”
"Aku tidak tahu harus berbuat apa. Menurutku... hidup ini terlalu tidak adil untukku." Setengah putus asa, Wiji mengeluh. Suaranya pelan, hampir tenggelam dalam gemuruh air Brantas yang mengalir tanpa peduli.
Asmarawati tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah Wiji sekilas, lalu kembali memandang ke arah sawah yang mulai tertutup kabut tipis. Angin sore membawa hawa dingin, membuat ujung jarinya terasa kebas.
“Kadang aku juga merasa begitu, Mas,” katanya akhirnya. “Seolah dunia ini cuma berpihak pada mereka yang punya nama, punya kuasa, atau sekadar... disukai banyak orang.”
Wiji menghela napas panjang. “Aku cuma pengin hidup baik-baik. Nggak minta yang aneh-aneh. Tapi kenapa... rasanya semua langkah seperti salah di mata mereka?”
Asmarawati mengangkat kepalanya. Matanya tenang, tapi ada luka yang diam-diam mengendap di baliknya. “Mungkin karena kita terlalu jujur. Dan kejujuran itu... jarang disukai kalau tak sejalan dengan kepentingan orang-orang. Tapi meskipun begitu, njenengan tetap semangat, nghih.”
Hening merayap. Hanya suara serangga dan desir angin di ranting akasia yang masih bicara.
Di bawah langit yang makin kelam, dua anak muda duduk bersisian, sama-sama lelah, sama-sama mencari arah. Tapi untuk sore itu, mereka tahu satu hal: mereka tidak sendirian. Mereka mengikat dengan cara perasaan, saling menguatkan.
Azan magrib pun menggema, mengalun pelan dari surau di seberang sawah—seperti panggilan langit untuk pulang.
Mereka saling pandang sejenak, lalu berdiri tanpa banyak kata. Dengan langkah pelan, keduanya menuju motor masing-masing.
Mesin dinyalakan, tapi dalam dada masih tersisa percakapan yang belum usai.
Senja menutup hari, tapi bukan rasa.
Dan di jalan pulang yang berpisah arah, hati mereka tetap berjalan berdampingan—dalam diam yang saling memahami.
Sampai di rumah, Asmarawati memarkir sepedanya di samping pendapa.
Langit sudah gelap sempurna. Lampu gantung di teras menyala redup, menciptakan bayang-bayang di dinding rumah yang diam.
Ia masuk perlahan, melepas kerudungnya, lalu duduk termenung di ruang tamu.
Tak ada suara, hanya detak jarum jam dan hembusan angin malam yang menyelinap lewat celah jendela.
Wajahnya menunduk, tapi pikirannya mengembara jauh. Bayangan Wiji masih jelas di benaknya, bersama kata-kata yang tak sempat terucap.
Sementara itu, dari arah pendapa, terdengar suara tawa ringan.
Ki Ratmoyo duduk bersila di atas tikar pandan, berbincang hangat dengan Jatmiko, si tukang kendang. “Aku ingin menghidupkan lagi latihan mingguan,” kata Ki Ratmoyo sambil menyeruput teh hangat. “Anak-anak zaman sekarang harus dekat dengan seni, ora mung sibuk dengan HP-nya saja.”
Jatmiko mengangguk sambil menggulung kabel. “Tentu, Pak. Saya siap. Tinggal atur jadwal, nanti saya kabari anak-anak pengrawit.”
Percakapan mereka mengalir dengan ringan. Dunia mereka penuh semangat, rencana, dan tawa. Tapi hanya beberapa langkah dari sana, di balik dinding yang sama, Asmarawati duduk sendirian. Sunyi menelannya perlahan.
Beberapa saat kemudian, Jatmiko melirik jam tangannya. Sudah jam 18:30
“Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak,” ucapnya sambil berdiri dan merapikan jaket yang tergantung di kursi. “Besok saya coba hubungi anak-anak. Kita mulai minggu depan, ya?”
Ki Ratmoyo mengangguk pelan. “Iya, Jat. Hati-hati di jalan. Salam buat keluargamu.”
“Siap, Pakdhe.” Jatmiko membungkuk ringan, lalu melangkah turun dari pendapa. Suara motornya sebentar kemudian menghilang ditelan malam.
Ki Ratmoyo masih duduk sendiri, memandangi cangkir tehnya yang tinggal separuh.
Sesekali ia mengangguk-angguk kecil, entah pada rencana yang barusan dibicarakan, atau pada kenangan yang tiba-tiba mengetuk dari masa lalu.
Dari dalam rumah, tak ada suara.
Ia belum sadar bahwa putrinya sedang termenung di ruang tamu, memeluk sunyi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Setelah Jatmiko pergi, Ki Ratmoyo duduk sejenak, membiarkan malam meresap perlahan ke dalam tubuh dan pikirannya.
Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga kenanga dari halaman.
Ia meneguk sisa teh dalam cangkir, lalu bangkit berdiri.
Langkahnya tenang saat memasuki rumah. Lampu ruang tamu masih menyala, dan di sana, ia melihat Asmarawati duduk diam, memeluk lutut di ujung kursi.
“Asmara...” panggilnya pelan.
Asmarawati menoleh, kaget sedikit, lalu mencoba tersenyum. Tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan lelah.
“Sudah pulang dari tadi?” tanya Ki Ratmoyo, duduk di kursi seberang.
Asmarawati mengangguk. “Iya, Pak.”
Ki Ratmoyo memandangi putrinya sesaat. Ada jeda sunyi, seakan ia sedang menimbang sesuatu di dalam hati.
“Kamu habis dari mana?” tanyanya, nada suaranya datar, tapi tidak keras.
“Asal muter-muter aja, Pak,” jawab Asmarawati pelan. “Nggak jauh.”
“Sendirian?”
Ia ragu sejenak, lalu menjawab, “Nggih.”
Ki Ratmoyo menghela napas pendek. Matanya menatap ke arah lampu gantung di langit-langit, lalu kembali ke wajah putrinya.
“Kamu itu anak perempuan. Jangan terlalu sering keluyuran. Apalagi sendirian.”
Asmarawati diam. Ia tahu, kata-kata itu bukan sekadar larangan, tapi juga kekhawatiran. Namun di baliknya, ada sesuatu yang tak diucapkan.
Mereka kembali diam. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas.
Malam semakin larut, dan di antara mereka berdua—ayah dan anak—ada jarak yang tak selalu bisa dijembatani oleh kasih sayang semata.
Terdengar suara pintu kayu berderit pelan. Dari dalam rumah, Bu Sundari muncul—langkahnya tenang, matanya masih sembab sedikit tanda baru saja selesai salat. Ia hanya mengenakan daster lengan panjang bermotif bunga-bunga kecil dan sandal jepit, sederhana seperti kesehariannya.
"Ada apa, Pak?" tanyanya pelan, berdiri di ambang pintu ruang tamu, tangannya menyeka sedikit rambut yang terurai.
Ki Ratmoyo menggeleng pelan. “Ora apa-apa. Ngobrol bentar karo Asmara.”
Sundari mendekat, lalu duduk di tepi kursi, menyisakan jarak sejangkau tangan dari Asmarawati. Tatapannya teduh, tapi ada gurat cemas yang samar mengintai di sudut matanya.
“Asmara,” katanya perlahan. “Ibu cuma pengin kamu ngerti… malam itu waktunya untuk pulang. Bukan soal apa-apa, tapi soal waktu. Kita ini orang desa, Nak. Omongan tetangga bisa ke mana-mana. Ada kejagalan sedikit saja mulunya langsung memanjang.”
Asmarawati diam. Ia paham, dan hatinya justru makin perih karena paham itu. Bukan marah, tapi seperti tertimpa beban yang tak bisa ia tolak dan tak tahu harus diletakkan di mana.
Sundari menepuk pelan pahanya sendiri, lalu berdiri.
“Ibu ke dapur dulu, ya. Mau bikin teh,” ujarnya singkat, lalu berlalu dengan langkah pelan menyusuri lorong rumah, membiarkan ayah dan anak kembali tenggelam dalam sunyi yang makin dalam.
Sundari menepuk pelan pahanya sendiri, lalu berdiri. “Asmara,” suaranya terdengar pelan, tapi tegas. “Bapak dan Ibu sudah cukup tahu. Anak itu… Wiji. Lebih baik kamu tidak usah terlalu dekat lagi.”
Seketika dada Asmarawati mengencang. Seperti baru saja ditusuk dari dalam. Ia tidak kaget—ia hanya belum siap mendengarnya diucapkan.
“Dia anak baik, Bu,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
Ki Ratmoyo meletakkan gelas tehnya dengan suara kecil namun mantap. Matanya menusuk lurus ke arah putrinya, tak lagi berputar-putar dengan nasihat halus. “Bukan soal baik atau tidak. Ini soal arah, jalan, asal-usul. Kamu itu sinden,” ucapnya perlahan tapi tegas, seperti mengucapkan sesuatu yang tak bisa ditawar. “Tak seharusnya kamu berhubungan dengan brandalan macam Wiji.”
Kata "brandalan" itu menghantam dada Asmarawati seperti cambuk. Wiji? Brandalan?
Setahu dia Wiji adalah laki-laki yang mendengarkan suara hatinya lebih dari siapa pun?. Teman setianya memandangi senja tanpa perlu banyak perdebatan?
Ia tidak menjawab. Karena tahu, melawan artinya menyalakan api dalam rumah sendiri.
Ia hanya menunduk, menahan napas, seolah kata-kata itu bisa diusir jika ia cukup lama diam.
Sundari menggenggam tangannya.
Hangat, tapi juga menahan. “Asmara, kamu masih muda. Dunia panggung sudah cukup sulit untuk perempuan. Jangan tambah beban dengan laki-laki seperti itu,” katanya lembut.
Asmarawati menarik napas, dalam dan getir.
Ia menatap ibu dan bapaknya, tapi tak melihat harapan di mata keduanya. Yang ada hanya ketakutan—bahwa sejarah akan terulang, bahwa luka lama akan tumbuh lagi lewat cinta anak mereka.
Setelah semua kata dilontarkan, dan ruang menjadi hening kembali, Asmarawati hanya duduk mematung. Gelas teh di hadapannya telah mendingin, seperti dirinya. Tak ada rasa yang tersisa, kecuali getir yang terus menetap di ujung lidah hatinya.
Sedihnya bukan seperti tangis yang bisa ditumpahkan begitu saja. Kesedihan itu mengendap, sunyi, dan dalam—seperti kabut yang turun di pagi hari, menutupi jalan yang tadinya ia yakini.
Ia merasa sendirian, meski duduk di antara orang-orang yang paling ia cintai.
Yang lebih menyakitkan bukan larangan itu sendiri,
melainkan cara kedua orangtuanya menyebut nama Wiji—seolah cinta yang ia rawat itu tak ada harganya.
Seolah ia sedang berdosa karena mencintai seorang anak manusia yang kebetulan lahir dari orang yang salah.
Ia bukan anak kecil yang bisa ditakut-takuti dengan kata “aib” atau “harga diri keluarga”.
Tapi ia juga bukan perempuan dewasa yang bebas memilih tanpa luka. Ia terjepit di tengah, antara bakti dan keinginan. Antara darah dan rasa.
Asmarawati memejamkan mata. Dalam gelap itu, wajah Wiji muncul. Tersenyum, tenang, seperti biasa. Tapi kini senyumnya justru menyayat, karena ia tahu—dalam waktu dekat, tak mudah lagi bertemu tanpa rasa bersalah.
Hatinya perih. Bukan karena dimarahi, melainkan karena harus diam di saat cinta sedang dipertaruhkan. Dan di balik keheningan rumah itu, Asmarawati itu berdoa dalam diamnya sendiri:
"Semoga malam ini tak terlalu panjang… karena ia tak tahu harus bertahan dengan luka ini sampai kapan."
Malam makin turun dengan pelan, seolah enggan menyentuh rumah itu lebih cepat. Asmarawati berdiri tanpa banyak suara, meminta diri ke kamarnya. Tak ada yang menahan, tak ada yang mengantar.
Seolah mereka semua diam-diam sepakat bahwa kesedihan paling baik dihadapi sendiri. Begitu pintu kamar tertutup, ia bersandar di baliknya.
Menunduk. Menahan napas yang terasa berat.
Lalu duduk perlahan di tepi ranjang, seperti daun kering yang jatuh tanpa suara.
Langit malam terlihat dari jendela kecilnya—gelap, dan tak berbintang. Ia menatapnya lama, berharap langit bisa mengerti apa yang tak bisa ia ucapkan pada siapa pun.
Ia buka buku catatan yang selalu ia simpan di bawah bantal. Halaman-halamannya penuh dengan lirik-lirik lagu dangdut, tembang campursari, dan serpihan puisi, dan rahasia yang tak bisa dituturkan dengan suara. Tangannya gemetar saat menulis:
"Aku telah jatuh cinta kepada seseorang yang tak diterima oleh tanah tempatku berpijak.
Bukan karena dia salah, tapi karena dunia ini terlalu sibuk mencatat silsilah, dan lupa memeriksa hatinya. Aku mencintainya bukan karena ia sempurna, tapi karena ia tau caranya mendengarkan suaraku, bahkan saat aku tak berkata apa-apa."
Air matanya menetes perlahan di atas halaman itu.
Ia tak menyekanya. Biar saja kertas itu tahu: bahwa di balik suara lembutnya yang sering ia nyanyikan di panggung, ada tangis yang tak pernah dipentaskan.
Ia bukan ingin melawan larangan orangtuanya. Tapi juga tak ingin mengingkari hatinya sendiri. Dan di antara dua pilihan itulah ia terperangkap—seperti daun di antara dua arah angin, tak tahu harus terbang ke mana.