Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN YG TIDAK TERDUGA
Langit siang itu sedikit berawan, angin membawa aroma bunga dari taman kota. Mereka berdua baru saja selesai makan siang di bangku kayu dekat kolam air mancur. Suara tawa anak-anak yang berlarian masih terdengar samar ketika Adrian mempersilakan Maya masuk ke mobil.
Maya duduk dengan tenang, tapi jari-jarinya tak berhenti memainkan ujung tas kecilnya. Adrian meliriknya sekilas sambil menyalakan mesin.
“Apa kamu selalu terlihat setegang ini setelah makan siang?” tanyanya sambil menarik sabuk pengaman.
Maya mendengus pelan. “Bukan tegang… cuma… aku nggak terbiasa diajak makan di taman sama pengacara terkenal.”
“Pengacara terkenal?” Adrian mengangkat satu alis. “Bukannya kamu pernah bilang, aku cuma pria yang kebetulan mengurus kasusmu?”
Maya menoleh, bibirnya sedikit mengulas senyum tipis. “Kamu sendiri yang bilang, jangan terlalu percaya pengacara. Aku cuma mematuhi.”
Adrian terkekeh pelan, lalu memutar kemudi keluar dari area taman. Perjalanan pulang berjalan dalam diam beberapa menit, hanya diisi musik instrumental lembut dari radio mobil.
“Jadi…” Adrian memecah hening. “Kalau sidang nanti berjalan sesuai rencana, kamu mau bagaimana setelahnya?”
Maya mengernyit. “Maksudmu?”
“Maksudku, hidupmu. Kamu akan tinggal di sini? Pindah kota? Atau… melarikan diri seperti yang sempat kamu bilang?”
Maya menarik napas dalam. “Aku… belum tahu. Aku cuma mau Nayla aman. Setelah itu… entahlah. Mungkin aku bisa mulai dari nol di tempat lain.”
Adrian tak langsung menjawab. Tatapannya fokus ke jalan, tapi rahangnya mengeras. “Melarikan diri bukan solusi jangka panjang, Maya. Apalagi dengan anak kecil. Dunia ini… jauh lebih kejam dari yang kamu kira.”
“Aku tahu,” jawab Maya pelan. “Tapi aku juga tahu, aku nggak mau Nayla di tangan Reza.”
Ucapan itu menggantung di udara sampai mobil berhenti di depan kos. Maya sempat ragu untuk turun, tapi sebelum ia membuka pintu, matanya menangkap sosok yang familiar di depan gerbang kos.
“Bu Ina?” Maya terkejut.
Seorang perempuan paruh baya berkerudung cokelat muda berdiri sambil menggandeng seorang anak kecil. Nayla.
Anak itu sedang asyik bercerita, mulutnya bergerak cepat, sementara Bu Ina mengangguk-angguk dengan sabar.
Maya buru-buru keluar dari mobil. “Bu Ina, kenapa ke sini? Bukannya tadi Bu Ina mau jemput Nayla agak sore?”
“Oh, iya, Nak. Tapi Nayla tadi minta pulang cepat, katanya mau kasih lihat sesuatu ke Ibu Maya,” jawab Bu Ina sambil tersenyum hangat. “Eh, ini siapa?” tatapannya beralih ke Adrian yang baru saja turun dari mobil.
Maya sempat gugup. “Ini… Adrian. Pengacaraku.”
Nayla menatap Adrian dengan rasa ingin tahu yang besar. “Pengacara itu apa, Bu?” tanyanya polos.
Adrian menunduk sedikit, menatap gadis kecil itu sejajar mata. “Pengacara itu orang yang membantu orang lain melawan ketidakadilan.”
Nayla memiringkan kepala. “Oh… kayak pahlawan?”
Maya menahan tawa, tapi pipinya memanas. “Beda tipis, Nay.”
Adrian tersenyum tipis. “Boleh dibilang begitu.”
Bu Ina menepuk bahu Nayla. “Nayla, salaman sama Om Adrian.”
Tangan kecil itu terulur ragu. Adrian menyambutnya dengan genggaman ringan. “Senang bertemu denganmu, Nayla.”
Anak itu tersenyum malu-malu, lalu berbisik pada Maya, “Bu, Om ini tinggi banget.”
Maya terbatuk kecil, mencoba menyembunyikan senyum. “Iya, Nay. Sudah, ayo masuk. Bu Ina mau minum dulu?”
“Ah, nggak usah, Nak. Saya harus balik. Tadi cuma mampir nganter Nayla.” Bu Ina menatap Maya penuh arti. “Kalau ada apa-apa, kabari saya, ya.”
Setelah Bu Ina pergi, suasana di halaman kos terasa sedikit canggung. Adrian masih berdiri di sana, tangannya di saku jas, sementara Nayla menatapnya seperti sedang mengukur sesuatu.
“Om Adrian…” panggil Nayla pelan.
“Ya?”
“Kamu suka es krim?”
Maya spontan memotong, “Nayla…”
Tapi Adrian sudah menjawab, “Tentu saja. Siapa yang nggak suka es krim?”
Nayla mengangguk mantap. “Kalau gitu, kapan-kapan kita makan es krim bareng.”
Maya terdiam, bingung apakah harus tersenyum atau khawatir. “Nay, jangan sembarangan ngajak orang…”
“Dia kan pengacara kita, Bu.” Nayla mengedip polos.
Adrian tersenyum kecil, tapi tatapannya sekilas pada Maya seolah berkata, Tenang saja, aku tahu batasnya.
Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam kos. Adrian hanya duduk sebentar di ruang tamu kecil itu, memperhatikan rak buku mungil Nayla, beberapa boneka lusuh, dan foto yang tergantung di dinding.
“Aku nggak mau ganggu lebih lama,” kata Adrian sambil berdiri. “Tapi… terima kasih sudah mengenalkan aku ke Nayla.”
Maya menatapnya sebentar. “Kamu nggak keberatan?”
“Keberatan? Tidak. Justru aku senang bisa tahu siapa yang selama ini jadi alasanmu berjuang.” Tatapannya turun sebentar ke arah Nayla yang sedang sibuk membongkar tas sekolahnya. “Dia anak yang cerdas.”
Maya tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan. “Ya… dia segalanya buatku.”
Adrian mengangguk. “Kalau begitu, kita pastikan dia tetap bersamamu.”
Sebelum pergi, Adrian sempat berjongkok lagi di depan Nayla. “Jaga ibumu, ya?”
Nayla mengangguk mantap. “Siap.”
Dan untuk pertama kalinya, Maya merasa ada sesuatu yang berubah—bukan hanya dalam hubungan mereka, tapi juga di dalam dirinya sendiri.
kamu harus jujur maya sama adrian.