Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi Cinta, Aku Bertahan
Pagi itu suasana rumah Pak Samingan terasa hening.
Hanya suara burung di luar jendela dan gesekan sapu dari Mbok Jum di teras.
Rara duduk di ruang tengah, masih memakai daster bunga biru, rambut dikuncir seadanya.
Matanya sembab, tapi tatapannya dalam — seperti sedang memikirkan seribu hal sekaligus.
Di depannya, segelas teh jahe yang tadi diseduh Bu Wiji sudah mulai dingin.
Tangannya memegang cangkir, tapi tak diminum.
“Rara…” suara lembut Bu Wiji terdengar dari arah dapur.
“Iya, Bu…” jawab Rara pelan tanpa menoleh.
Bu Wiji berjalan mendekat, duduk di sebelahnya.
“Tadi aku tak liat Mas Bol udah bangun. Lagi ngaji di kamarnya. Suarane lirih, tapi menenangkan banget.”
Rara menunduk, bibirnya bergetar pelan.
“Iya, Bu. Masih semangat, padahal semalem sempet parah banget…”
Bu Wiji menghela napas.
“Itu Arifbol, Ra. Badannya ringkih, tapi hatinya kuat. Dia selalu bilang, kalo sakitnya itu bukan musibah, tapi pengingat.”
Rara hanya mengangguk, tapi air matanya mulai menetes tanpa bisa ditahan.
“Aku… aku kaget, Bu. Aku pikir setelah nikah, hidupku bakal lebih ringan. Tapi ternyata malah banyak ujian. Kadang aku takut, Bu… takut gak kuat.”
Bu Wiji menatapnya lama, lalu memegang tangannya lembut.
“Nak, orang nikah itu bukan perlombaan siapa yang paling bahagia. Tapi siapa yang paling sabar. Kowe wes buktekne, Ra. Sewengi kowe kuat, padahal lagi diuji di malam pertama.”
Rara menutup wajahnya, suaranya parau.
“Aku gak eroh nangpo yo, Bu. Pas mas Arifbol kejang, aku gak kepikiran opo-opo, aku cuma pengin nolong. Tapi setelah tenang, aku nangis terus. Aku ngroso ngesakne, tapi juga sayang banget, Bu…”
“Ya itu tandanya Gusti Allah udah titip rasa tulus di hatimu,” kata Bu Wiji lembut. “Kowe cinta, tapi cinta yang ndak egois. Ndak nuntut. Itu yang langka, Ra.”
Rara menatapnya pelan-pelan, lalu memaksakan senyum.
“Aku bakal bertahan, Bu. Aku janji. Selama Mas Arifbol masih berjuang, aku juga gak bakal ninggalin.”
Bu Wiji mengelus punggung tangan Rara, air matanya ikut turun.
“Aku percoyo, Ra. Aku tahu kowe bukan cuma istri kanggo anakku, tapi malaikat kecil sing dikirim Gusti Allah kanggo njogo dia.”
Rara tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, menahan tangis yang makin deras.
Suasana hening, hanya suara serangga dan detak jam dinding yang terdengar.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki pelan terdengar dari arah tangga.
Arifbol muncul dengan sarung dan baju koko, wajahnya pucat tapi senyumnya lembut.
“Assalamu’alaikum, Bu, Ra…”
“Wa’alaikumussalam, Mas,” jawab Rara cepat, menghapus air matanya diam-diam.
Arifbol menatap istrinya sebentar, lalu menunduk canggung.
“Tadi aku ngimpi, Ra…”
“Ngimpi opo, Mas?”
“Aku mimpi lagi kejang, tapi pas aku tibo, enek cahaya putih sing nolong aku. Ternyata cahaya itu kowe.”
Rara terdiam. Tenggorokannya seret.
“Mas…” suaranya hampir tak keluar.
“Aku ngerti aku sakit, Ra. Kadang aku pengin nesu, tapi tiap ngiwasi kowe, aku inget lak Gusti Allah masih sayang aku. Mergo dikasih bojo sing sabar koyok kowe.”
Air mata Rara jatuh lagi. Ia langsung menunduk, menahan isak.
Bu Wiji berdiri pelan, memberi ruang bagi dua orang yang kini saling menatap dalam diam itu.
“Mas ojo ngomong ngono, aku sing beruntung iso dadi bojomu,” kata Rara lirih.
“Aku janji, Mas, aku bakal terus di sisimu. Nek kowe kejang maneh, aku bakal tetep jagain, sampe kowe waras, sampe kapanpun.”
Arifbol mendekat, tangannya gemetar tapi berhasil menggenggam tangan Rara.
“Matur nuwun, Ra. Aku ora iso janji dadi suami sempurna, tapi aku bakal terus belajar, demi kowe.”
Udara di ruang tengah terasa hangat.
Bukan karena sinar matahari yang menembus jendela, tapi karena dua hati yang diam-diam sedang saling menguatkan di tengah ujian paling berat dalam hidup mereka.
Hari-hari setelah kejadian malam itu berjalan pelan.
Rara mulai terbiasa bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan bukan cuma buat Arifbol, tapi juga buat Bu Wiji dan Pak Samingan kalau sedang di rumah.
Sementara Mbok Jum sesekali nyeletuk dari dapur, “Wah, saiki omah iki wes ono ‘ibu rumah tangga anyar’, yo…”
Rara cuma nyengir. Kadang tertawa kecil, kadang diam sambil nyapu halaman sambil melamun.
Dalam hatinya, rasa sayang dan takut bercampur jadi satu.
Suatu pagi, ketika Arifbol masih tidur, Rara duduk di ruang tamu dengan tumpukan kertas dan satu buku tebal di depannya.
Sampulnya bertuliskan: “Panduan Perawatan Pasien Epilepsi di Rumah.”
“Iki opo, Ra?” tanya Bu Wiji pelan, datang dari dapur sambil bawa teh.
“Buku, Bu. Aku nyileh teko perpustakaan cilik cidek kontrakanku ndisek. Aku pengin ngerti lebih banyak soal penyakit Mas Bol.”
Bu Wiji terdiam sebentar. Matanya berkaca-kaca.
“Kowe bener-bener serius, yo, Ra…”
“Iyo, Bu. Aku ra pengin panik terus nek kejange kumat. Aku pengin ngerti carane nyegah, carane nolong, lan carane nenangne atiku dhewe…”
Rara membuka halaman demi halaman.
Setiap kalimat dibacanya pelan, disertai catatan kecil di kertas.
Tulisan tangannya miring, tapi rapi: “Jangan panik. Longgarkan pakaian. Jangan masukkan apapun ke mulut. Catat durasi kejang.”
Bu Wiji duduk di sampingnya.
“Rara…” suaranya lirih. “Aku dadi eling waktu Arifbol isih SMP. Aku sering nangis tiap ndelok anakku kejang. Kadang aku ngroso gagal dadi ibu.”
Rara menatapnya, matanya ikut basah.
“Bu… njenengan ra salah. Aku yakin, Arifbol iso sekuat saiki yo mergo dididik karo ibu sing sabar. Aku cuma nerusin perjuangan njenengan.”
Bu Wiji tersenyum getir.
“Tapi aku kadang iri, Ra. Kowe iso ndelok Arifbol karo pandangan sing lebih lembut. Aku ndisek malah sering nangis diam-diam.”
Rara menatap tangannya sendiri.
“Aku yo nangis, Bu. Tapi aku pengin nangisku bermanfaat. Wong kadang awak e dhewe kudu belajar sabar bukan dari bahagia, tapi dari luka.”
Suasana hening sejenak.
Di luar, suara motor tetangga lewat. Aroma teh melati masih menguar di udara.
Beberapa saat kemudian, Arifbol keluar dari kamar, wajahnya cerah.
Dia membawa mushaf kecil di tangannya.
“Ra… aku tadi baca ayat sing lucu,” katanya sambil nyengir.
“Ayat lucu, Mas?” Rara heran.
“Iyo, lucu buatku maksude. Tentang sabar. Aku bacanya malah senyum-senyum.”
“Lho kok lucu, Mas?”
“Soale Gusti Allah ngomong, nek sabar iku ora ana batase. Lha aku mikir, berarti kowe sabar banget yo, Ra. Ora ana batase.”
Rara spontan menutup wajah sambil ketawa nangis.
“Mas iki, lho, kok iso ae ngomong ngono…”
“Lha bener to,” jawab Arifbol polos. “Aku iso sabar karo penyakitku mergo kowe sabar karo aku.”
Ucapan itu sederhana, tapi seperti pisau kecil yang mengiris lembut dada Rara.
Ia menatap suaminya lama-lama, menahan air mata yang mau tumpah lagi.
“Mas…” katanya pelan, “Aku ora sabar terus kok. Aku yo kadang kesel, kadang pengin nangis, tapi nek aku ileng Mas Bol tetep ibadah, aku isin, Mas. Kowe luwih kuat daripada aku.”
Arifbol menunduk, suaranya bergetar.
“Ra, nek aku kuat, iku mergo kowe. Aku ora pengin nyerah, mergo ono kowe sing nunggu.”
Rara terdiam. Lalu dengan suara lirih, ia berkata:
“Aku wes nemu arti cinta, Mas. Cinta iku dudu soal seneng-seneng, tapi soal sopo sing tetep meluk waktu yang lain udah lari.”
Bu Wiji, yang sedari tadi hanya diam di dapur, menatap keduanya dari kejauhan sambil menahan air mata.
Dalam hatinya, ia berbisik, “Ya Allah… anakku ora salah milih bojo.”
Sore itu, Rara menulis di buku catatannya:
“Aku belajar dari luka. Luka ngajari aku sabar. Dan sabar ngajari aku cinta.”