 
                            Clara Moestopo menikah dengan cinta pertamanya semasa SMA, Arman Ferdinand, dengan keyakinan bahwa kisah mereka akan berakhir bahagia. Namun, pernikahan itu justru dipenuhi duri mama mertua yang selalu merendahkannya, adik ipar yang licik, dan perselingkuhan Arman dengan teman SMA mereka dulu. Hingga suatu malam, pertengkaran hebat di dalam mobil berakhir tragis dalam kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Tapi takdir berkata lain.Clara dan Arman terbangun kembali di masa SMA mereka, diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya… atau mengulang kesalahan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25.Keputusan.
Hari itu, sore turun perlahan di langit Jakarta, memantulkan warna oranye lembut di kaca-kaca jendela rumah keluarga Lukman. Di ruang tamu yang sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan suara napas berat Luna yang duduk di sofa sambil memegang amplop putih dari laboratorium.
Clara duduk di sampingnya, menggenggam tangan sang mama erat-erat. Tangannya terasa dingin.
“Ma…” suaranya nyaris berbisik. “Kalau Mama belum siap, aku yang bacakan hasilnya.”
Luna menatap putrinya, matanya sembab tapi tetap lembut. Ia menggeleng pelan.
“Tidak, Clara. Mama harus tahu sendiri. Mama yang minta tes ini, jadi Mama yang harus lihat hasilnya.”
Perlahan, ia membuka amplop itu. Kertas hasil uji DNA tergulung rapi di dalamnya. Sekali tarik napas, Luna mulai membaca.
Kata-kata ilmiah, angka persentase, dan istilah medis tidak banyak ia pahami,tapi satu baris terakhir itu menampar seluruh hatinya:
“Kecocokan genetik: 99,87%. Hubungan biologis: ayah dan anak.”
Tangannya bergetar. Kertas itu hampir terjatuh.
Clara sigap menahannya. “Ma…”
Luna tidak langsung menangis. Ia hanya diam lama, seolah dunia berhenti berputar. Lalu pelan-pelan, air mata yang ditahan berhari-hari akhirnya jatuh tanpa suara.
“Jadi benar, Clara…” bisiknya. “Semua yang Mama takutkan… bukan cuma prasangka.”
Clara merangkul bahu mamanya. “Ma, dengar aku ya… Ini bukan salah Mama. Mama sudah berjuang menjaga keluarga ini. Tapi ayah yang memilih mengkhianati kepercayaan Mama dan aku.”
Luna menggeleng lemah. “Tapi dia suamiku, Clara… Kami sudah melewati begitu banyak hal. Aku tidak menyangka ayahmu mengkhianati kita dan masih berpura-pura di—”
“Ma.” Clara menatapnya dalam. “Kesalahan masa lalu tidak bisa dijadikan alasan untuk menghancurkan masa depan. Mama berhak bahagia. Mama berhak bebas dari hubungan yang menyakiti.”
Untuk pertama kalinya, suara Clara terdengar seperti orang dewasa yang tegas, tapi penuh kasih. Luna menatap putrinya lama, lalu memejamkan mata, menahan isak.
“Mama takut, Clara.Takut kita tidak bisa menjalani hidup saat bersama ayahmu, jika kamu ikut mama bagaimana sekolahmu dan masa depan mu?.”
“Tapi Clara tidak takut,” kata Clara sambil menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku di sini, Ma. Aku yang akan bantu Mama sampai semuanya selesai,apapun yang terjadi Clara akan ikut mama.”
Hening sejenak, hanya suara rintik hujan di luar jendela. Lalu Clara berdiri, mengambil ponselnya dari meja. Dengan tangan masih gemetar, ia menekan kontak Ria.
Sambungan terhubung.
“Ria, ini Clara.”
“Hei, Clara. Kamu kelihatan serius banget, ada apa? Udah dapat hasilnya?” suara Ria terdengar tegang di seberang.
Clara menarik napas panjang. “Iya. Hasilnya positif, Ria. Desi… benar anak ayahku.”
Sunyi sesaat. Ria tidak langsung menjawab. Hanya terdengar helaan napas panjang dari seberang.
“Aku… aku nggak tahu harus bilang apa.”
Clara menatap mamanya yang masih duduk diam memandangi lembar hasil tes. “Sekarang aku butuh bantuan kamu, Ria. Mama mau bercerai. Tapi kami nggak tahu harus mulai dari mana. Papa-mu kan pengacara keluarga, kan? Bisa bantu Mama urus semuanya?”
Ria terkejut. “Ayahku?”
“Iya. papamu. Mama bilang dulu mereka sempat satu sekolah dan berteman dekat,dan itu pasti lebih mudah dalam proses hukumnya. Aku yakin papamu tahu caranya biar Mama nggak disulitkan.”
Ria terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, “Aku ngerti, Clara. Aku akan bicara sama Papa nanti malam. Dia memang biasa tangani kasus seperti itu. Dan aku janji, dia akan bantu Mama kamu.”
“Terima kasih, Ria,” suara Clara melembut. “Aku cuma mau Mama cepat lepas dari ini semua. Aku udah lihat sendiri gimana dia hancur tiap kali nyebut nama Papa.”
Ria menghela napas berat. “Kamu kuat banget, Clar. Aku bakal ada buat kamu, oke?”
Setelah menutup telepon, Clara kembali duduk di samping Luna. Hujan mulai turun lebih deras, menimpa kaca jendela dengan suara lembut tapi memilukan.
“Mama…” Clara berkata pelan. “Aku udah hubungi Ria. Ayahnya mau bantu Mama untuk urus perceraian ini. Kita bisa mulai kapan pun Mama siap.”
Luna menatap putrinya lama, lalu menarik napas panjang dan mengangguk pelan.
“Mungkin memang sudah waktunya, Clara. Mama lelah hidup dengan kebohongan.”
Clara memeluk ibunya erat. “Kita mulai dari awal lagi, Ma. Di tempat baru, tanpa luka lama.”
Luna tersenyum kecil di tengah air matanya. “Tempat baru ya… rumah yang tadi pagi kita lihat itu?”
Clara ikut tersenyum lembut. “Iya. Rumah itu tenang, Ma. Aku rasa itu tempat yang pas buat kita memulai lagi.”
Luna mengangguk pelan, seolah menenangkan dirinya sendiri.
“Baiklah, Clara. Kalau begitu, Mama setuju. Kita akan mulai lagi dari sana.”
Di luar, hujan makin deras. Tapi di dalam ruangan itu, pelukan seorang ibu dan anak justru membawa kehangatan baru sebagai tanda bahwa meski badai besar baru saja dimulai, mereka akhirnya berani berjalan menuju hari yang baru.
Dan di blok C-7, hanya dua jalan dari rumah keluarga Morgan, takdir mulai menyusun benang merahnya dengan tenang.
Setelah itu Clara dan mamanya bersikap biasa didepan ayahnya,Luna dan Clara sudah membawa sedikit demi sedikit barang milik mereka ke rumah yang ia sewa.
Dan Luna juga berencana bertemu dengan Tio sebagai pengacaranya,ia pergi bersama Clara untuk bertemu dengan Tio.
Sore itu, hujan baru saja reda. Langit Jakarta berwarna kelabu muda, dan aroma tanah basah masih terasa di udara. Di sebuah rumah makan bergaya klasik di bilangan Menteng, suasana hangat tercipta dari cahaya kuning lampu gantung dan denting sendok garpu yang lembut.
Luna datang bersama Clara. Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok panjang abu-abu, rambutnya dikuncir rendah. Di wajahnya, tersisa ketenangan yang baru saja ia temukan setelah hari-hari penuh air mata.
Ria dan ayahnya, Tio, sudah tiba lebih dulu. Lelaki itu kini berusia awal lima puluhan, namun sorot matanya masih sama seperti dua puluh tahun lalu teduh dan tajam sekaligus. Saat melihat Luna melangkah masuk, Tio berdiri, menahan napas sejenak. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya.
“Luna…” suaranya parau, tapi hangat.
Luna tersenyum kecil. “Hai, Tio. Sudah lama sekali, ya?”
Tio hanya bisa mengangguk sambil mempersilakannya duduk. Clara dan Ria saling pandang, lalu Ria berbisik, “Kami duduk di luar saja, biar Mama dan Papa bisa bicara tenang.”
Luna mengangguk lembut. “Terima kasih, sayang.”
Begitu kedua gadis itu meninggalkan meja, suasana di antara Luna dan Tio menjadi hening. Mereka sempat saling pandang tanpa bicara, seolah waktu membawa mereka kembali ke masa sekolah ketika Tio sering menunggu Luna di gerbang dengan sebotol es teh manis di tangan, tapi tak pernah berani mengungkapkan perasaannya.
Tio akhirnya membuka percakapan. “Kamu kelihatan… lebih kuat sekarang. Tapi matamu masih sama. Masih Luna yang dulu.”
Luna tersenyum getir. “Kalau aku masih Luna yang dulu, mungkin aku sudah menyerah waktu tahu Lukman berselingkuh.” Ia menatap ke luar jendela. “Tapi sekarang aku punya Clara. Aku nggak bisa diam,dia adalah kekuatan ku untuk bertahan.”
Tio menunduk, mencoba menyembunyikan gejolak emosinya. “Ria sudah cerita sedikit. Aku minta maaf kamu harus melalui semua itu sendirian.”
Luna mengeluarkan map cokelat dari tasnya dan meletakkannya di meja. Di dalamnya, tertata rapi bukti-bukti: salinan hasil tes DNA, foto-foto Lukman bersama Desi dan ibunya, serta salinan percakapan pesan.
“Aku nggak mau dendam, Tio,” katanya pelan. “Aku cuma mau lepas dari kebohongan. Aku ingin hidup tenang, dan aku ingin Clara tumbuh tanpa harus melihat ibunya terus berpura-pura bahagia.”
Tio membuka map itu perlahan. Ia membaca sekilas, alisnya menegang, rahangnya mengeras. “Bukti ini kuat sekali,” ujarnya tegas. “Dengan hasil DNA ini dan bukti komunikasi, aku bisa ajukan gugatan cerai dengan dasar perselingkuhan dan pelanggaran kepercayaan rumah tangga.”
Luna menarik napas pelan. “Kamu yakin aku bisa menang?”
Tio menatapnya lekat-lekat. Tatapan yang dulu selalu Luna hindari karena terlalu jujur. “Aku bukan cuma yakin, Luna. Aku janji akan bantu kamu sampai selesai. Kamu dan Clara nggak akan disakiti lagi.”
Suara Tio tegas, tapi ada nada lembut yang menelusup di sela-selanya. Luna menunduk, merasa dadanya bergetar. “Terima kasih, Tio. Aku nggak tahu harus mulai dari mana kalau bukan karena kamu dan Ria.”
Tio tersenyum tipis. “Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku… senang akhirnya bisa melakukan sesuatu buat kamu, setelah sekian lama cuma bisa lihat dari jauh.”
Luna terdiam. Pandangannya bertemu dengan matanya, dan sesaat waktu seolah berhenti. Di tengah hiruk pikuk pengunjung yang datang dan pergi, hanya ada dua orang yang terikat oleh masa lalu dan keberanian baru untuk memulai lagi.
Beberapa menit kemudian, Ria dan Clara kembali. Mereka menemukan orang tua mereka sedang berbicara dengan nada lembut dan penuh pengertian.
“Ayah,” panggil Ria sambil tersenyum, “kayaknya Mama Clara kelihatan lebih lega.”
Tio menatap Luna sekilas, lalu tersenyum. “Iya. Karena mulai hari ini, semuanya akan berubah.”
Clara menggenggam tangan mamanya. “Kita mulai babak baru, Ma.”
Luna mengangguk sambil menatap Tio. “Terima kasih, Tio. Kita akan jalani ini sama-sama yang bukan karena masa lalu, tapi karena sekarang saatnya untuk menata ulang hidup.”
Tio membalas dengan senyum hangat. “Dan kamu nggak sendiri kali ini, Luna. Aku akan pastikan itu.”
Hujan di luar mulai reda sepenuhnya. Cahaya sore yang lembut menembus jendela, menyinari meja tempat mereka duduk yang seolah semesta ikut memberi restu untuk langkah baru yang akhirnya mereka pilih.
Tapi di kejauhan ada seseorang yang mengambil foto Luna dan Tio, orang itu memiliki niat buruk untuk merusak hubungan Lukman dan Luna.
penasaran bangetttttttt🤭