Ketika cinta berubah menjadi luka, dan keluarga sendiri menjadi pengkhianat. Dela kehilangan segalanya di hari yang seharusnya menjadi miliknya cinta, kepercayaan, bahkan harga diri.
Namun dalam keputusasaan, Tuhan mempertemukannya dengan sosok misterius yang kelak menjadi penyelamat sekaligus takdir barunya. Tapi apakah Dela siap membuka hati lagi, ketika dunia justru menuduhnya melakukan dosa yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 04 Suami Butut, Keluarga Nyinyir
"Ada Bu itu di dalam," jawab Arsen pelan ketika Rena memanggil dari luar kamar. Suaranya terdengar lembut tapi jelas, seolah mencoba menenangkan suasana yang sudah mulai terasa tegang sejak pagi. Rena yang mendengar jawaban itu langsung masuk dengan langkah cepat, wajahnya tampak masam seperti biasanya kalau sedang marah.
"Owh bagus ya kamu Dela. Mentang-mentang pengantin baru, bangunnya kesiangan. Bukannya bangun pagi bantuin Ibu ngurus rumah, malah enak-enakan tidur. Kamu tahu tidak, gara-gara Ibu yang dari pagi mencuci baju dan bersih-bersih rumah, sampai sekarang belum ada sarapan!" Omel Rena sambil melipat tangannya di dada.
Dela hanya bisa menunduk. Kepalanya terasa berdenyut, dan kakinya yang keseleo membuatnya sulit berdiri tegak. Tapi mulut Ibunya terus saja mengeluarkan kata-kata yang menusuk.
"Kakak, adik, dan abang ipar kamu itu harus berangkat ke kantor. Mau sarapan apa mereka, hah?" Lanjut Rena dengan nada tinggi.
Tika yang sejak tadi berdiri di ambang pintu ikut menimpali sambil menyilangkan tangan di dada, wajahnya penuh cibiran.
"Pengantin baru sih pengantin baru, tapi gak gini juga kali Mbak. Memangnya waktu semalam masih kurang apa buat memadu kasih?" Sindir Tika dengan senyum miring.
Dela spontan mengelus dadanya pelan, berusaha menahan napas panjang. Dalam hati, ia ingin tertawa getir. Memadu kasih apanya kenal aja baru semalam pikirnya lirih.
Arsen yang duduk di sisi ranjang hanya bisa diam. Ia masih bingung melihat kehebohan keluarga istrinya. Baginya hal seperti ini aneh. Hanya karena belum ada sarapan, tapi suasana rumah sudah seperti mau perang.
"Udah sana Del buruan masak! Bisa telat nanti aku ke kantor. Atau kalau gak sebagai gantinya kita minta uang tambahan buat beli sarapan," ujar Eka dengan nada seenaknya.
Arsen melirik Dela yang menunduk pasrah. Dalam hati, ia merasa kasihan. Padahal dua perempuan itu kakak dan adik iparnya sudah dewasa, bahkan katanya bekerja di kantor dan pabrik besar. Tapi kenapa semua urusan rumah mesti diserahkan ke Dela?
"Maaf sebelumnya," ucap Arsen pelan tapi tegas, "tapi Dela sekarang sedang sakit gak mungkin bisa masak."
Rena menatapnya sinis. Tika langsung melotot.
"Apa? Sakit? Sakit dari Hongkong kali! Sakit kok wajahnya gak pucat-pucat," seru Tika.
"Halah palingan sakit karena habis malam pertama," celetuk Eka sambil terkekeh.
"Pokoknya Ibu gak mau tau kamu kerjakan semua tugas kamu. Sudah sesiang ini kok belum ada makanan," titah Rena dengan nada tak terbantahkan.
Dela menatap Ibunya pelan.
"Tapi Bu Dela memang sakit. Kaki Dela mungkin terkilir karena ketabrak motor malam. Ini kepala Dela aja memar dan benjol," ucap Dela lirih sambil menunjukkan luka di keningnya dan kaki yang bengkak.
Rena menatapnya agak lama. Dalam hatinya sempat ada rasa bersalah tapi cepat ia tutupi dengan gengsi. Jadi benar dia ditabrak? pikirnya. Tapi mulutnya tak mau mengaku salah.
"Semalam itu memang kecelakaan Bu," tambah Arsen dengan tenang. "Saya yang gak sengaja menabrak Dela. Waktu itu dia jalan meleng, saya sudah berusaha ngerem tapi tetap kena. Dia sempat pingsan, makanya saya bawa berteduh di rumah kosong, tapi malah disangka macam-macam sama warga."
Semua terdiam sesaat. Hanya suara kipas angin di pojok kamar yang berputar pelan.
"Owh jadi yang semalam itu beneran?" Ucap Rena akhirnya. "Ibu kira cuma alasan kalian berdua aja." Wajahnya berubah, tapi bukan karena lega melainkan karena melihat kesempatan. "Kalau gitu kamu harus ganti rugi dong. Kamu harus tanggung jawab sama anak saya lihat Dela sampai luka-luka!" Katanya dengan nada menekan.
Arsen menarik napas panjang. Harusnya dia bilang begitu tadi malam, pikirnya. Tapi ia hanya menunduk sopan.
"Wah iya Bu dia harus tanggung jawab. Ayo sini kasih uang buat berobatnya Mbak Dela," timpal Tika cepat.
"Oke," jawab Arsen tenang. "Saya memang mau tanggung jawab. Saya juga berniat membawa Dela ke dokter atau tukang urut biar diperiksa."
Eka malah tertawa terbahak.
"Hahaha apa kamu bilang? Mau ke dokter?" Ujarnya dengan nada mengejek. "Hello kamu pikir periksa ke dokter itu murah? Mampu gak kamu bayar?"
"Insyaallah saya bisa membayarnya," jawab Arsen dengan nada yakin, meski dalam hati ia sadar uangnya tak banyak.
Rena melirik cepat. "Udah gini aja biar Ibu aja yang urus Dela. Kamu kasih uang ke Ibu dua juta buat biaya berobat ya?" Pintanya, senyum kecil mulai muncul di sudut bibirnya.
"Apa? Dua juta Bu?" Seru Dela cepat. "Gak usah Bu. Dela bisa ke tukang urut aja gak usah repot-repot, lagian Dela juga gak papa kok," ujarnya cepat, merasa kasihan pada Arsen. Ia tau Ibunya sedang berusaha memanfaatkan keadaan.
"Aduh Bu," sambung Tika, "dia mana ada uang segitu. Lihat aja penampilannya kayaknya miskin banget."
"Ya ampun Dela," ujar Eka sambil menatap dari ujung kaki ke kepala, "kasihan banget sih punya suami kayak gini kalau hidup begitu terus kapan majunya. Nih lihat aku, suamiku kerja di kantor besar gajinya mantap."
Dela menunduk, dadanya sesak. Dalam hati ia ingin marah, tapi memilih diam. Ia tau kalau melawan, malah akan makin disalahkan.
Padahal, Eka dan suaminya yang katanya sukses itu masih numpang di rumah orang tua. Gajinya lumayan, tapi keduanya pelit luar biasa. Dela yang cuma jualan kue kecil-kecilan malah sering disuruh belanja kebutuhan rumah.
"Sudah cukup Mbak Eka, Tika. Jangan hina-hina Mas Arsen terus. Lagian biaya tukang urut juga gak sampai dua juta," ujar Dela menahan emosi.
Eka memutar bola mata. "Heh gaya banget ngomong ‘Mas Arsen’. Baru juga sehari nikah udah sok bela suami," sindirnya.
Rena mendengus. "Begitu aja repot pakai gaya-gayaan mau ke dokter segala. Udah sana bawa ke tukang urut. Setelah itu Dela kerjakan lagi semua pekerjaan rumah ibu gak mau tau!" Katanya lalu berbalik meninggalkan kamar.
Tika dan Eka mengikuti dari belakang sambil berbisik-bisik dan cekikikan.
Begitu pintu kamar tertutup, Dela menarik napas pelan. "Maaf ya Mas. Ibu dan saudara-saudaraku memang begitu. Tapi sebenarnya mereka baik kok," ucapnya lirih, mencoba menutupi rasa malu.
Arsen menggeleng lembut. "Kamu gak perlu minta maaf Dela. Kamu gak salah udah ayo, kita periksain kaki kamu ke dokter. Aku yang udah gak sengaja nabrak kamu, jadi aku harus tanggung jawab."
"Tapi gak usah ke dokter Mas. Cukup ke tukang urut aja. Nanti mahal aku gak tega," tolak Dela halus.
"Tapi luka kamu itu harus dirawat," balas Arsen sabar.
"Udah diobatin kok tadi malam Mas. Nanti juga sembuh," ujar Dela ngotot.
Arsen akhirnya menyerah, hanya membantu memapahnya keluar kamar. Tangannya perlahan menahan bahu Dela agar tak jatuh. Sentuhannya lembut, membuat Dela sedikit salah tingkah.
"Ya Tuhan," batin Dela, "semoga suamiku ini orang yang baik."
Mereka berjalan pelan menuju halaman depan. Arsen hendak mengambil motor tuanya yang diparkir di garasi. Tapi belum sempat ia menyalakan mesin, suara keras terdengar dari belakang.
"Woy minggir! Aku mau lewat nih! Motor butut aja masih dipelihara!" Teriak Tika dari balik kemudi mobilnya.
Arsen buru-buru menuntun motornya ke pinggir, mencoba tak menanggapi. Tapi Eka yang ikut di mobil lain bersama suaminya, malah menambah ejekan.
"Ssshh cepat dikit dong nanti aku tabrak sekalian biar tau rasa!" Katanya dengan tawa keras.
Rian, suami Eka, juga ikut tertawa. "Hahaha serasi banget ya mereka. Sama-sama kucel cocok naik motor butut!"
Eka menimpali, "Eh iya cocok banget. Motor aja udah mau rontok, gimana nasib rumah tangganya nanti?"
Dela menunduk makin dalam. Ia tak berani menatap siapa pun. Pipinya panas karena malu tapi tangannya tetap menggenggam lengan Arsen. Ia tak ingin terlihat rapuh, walau hatinya sudah remuk.
"Eh motor butut begitu mending dibuang aja ke kali. Pakai mobil kayak aku dong baru keren!" Teriak Tika sebelum akhirnya melajukan mobilnya keluar halaman.
Dela menatap punggung mobil itu menghilang di tikungan. Nafasnya berat, tapi ia tetap berusaha tersenyum kecil.
"Maaf ya Mas. Mereka memang suka ngomong sembarangan," ucapnya pelan.
Arsen menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Gak apa-apa aku udah biasa diremehin. Yang penting kamu jangan sedih."
Dan pagi itu, dengan motor tuanya yang berasap putih, Arsen mengantar Dela pelan menuju tukang urut langganan. Dela menatap langit yang mulai cerah setelah hujan semalam. Di dalam hati, meski baru sehari menikah, ia mulai berdoa diam-diam semoga lelaki sederhana yang kini jadi suaminya benar-benar membawa ketenangan dalam hidupnya yang selama ini penuh luka.