Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25-Jejak yang Menghilang
Bi Mar baru saja selesai menebus obat di apotek rumah sakit. Dengan napas yang sedikit terengah karena berlari kecil kembali menuju ruang tunggu, ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok Nyonya mudanya yang tadi ia tinggalkan sejenak. Namun, hingga langkahnya berhenti tepat di depan pintu toilet wanita, sosok itu tak kunjung terlihat.
“Nyonya Aliya…” panggil Bi Mar lirih, suaranya mulai bergetar.
Ia memeriksa satu per satu bilik toilet, mengetuk pintu, bahkan menengok ke dalam setiap sudut lorong. Namun, hampa. Tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdetak kencang, kakinya terasa lunglai, seakan tubuhnya kehilangan tenaga.
“Nyonya… jangan bilang… jangan bilang Nyonya hilang…” gumamnya, panik.
Dengan tangan gemetar, Bi Mar meraih ponselnya. Pilihannya hanya satu: menghubungi Angkasa. Namun panggilan itu berulang kali tak diangkat. Ia tahu, Tuan muda sedang berada dalam rapat penting bersama para petinggi perusahaan, termasuk Daddy Samudra.
Akhirnya, dengan tangan gemetar ia menekan nomor Vino, asisten pribadi Angkasa.
“Pak Vino… gawat ini,” ucap Bi Mar begitu panggilan tersambung.
“Ada apa, Bi?” Suara Vino terdengar waspada.
“Nyonya Aliya… hilang. Tadi saya hanya sebentar menebus obat, tapi beliau tidak ada di ruang tunggu. Saya sudah cari ke toilet, ke lorong, ke segala tempat, tapi tidak ada. Hilang, Pak!”
Diam sejenak di seberang. Vino menarik napas panjang. Ia tahu kabar ini bukan hal yang bisa dianggap sepele.
“Tenang, Bi. Jangan panik. Jangan bilang siapa-siapa dulu. Saya akan segera bertindak.”
Namun Vino tahu, ada satu hal yang membuat langkahnya terikat. Ia tidak bisa langsung menyampaikan berita ini kepada Angkasa. Rapat yang sedang berlangsung terlalu penting, dan lebih dari itu—Daddy Samudra ada di sana.
Tetapi Daddy Samudra bukanlah pria yang bisa dibohongi dengan mudah. Dari kursi pimpinan rapat, ia sudah memperhatikan Vino yang beberapa kali keluar-masuk ruangan, menerima telepon, serta memberi instruksi cepat kepada staf lain. Matanya yang tajam seolah sudah membaca ada masalah besar yang sedang ditutup-tutupi.
Tiga jam kemudian, rapat akhirnya berakhir. Begitu semua keluar, Vino segera menghampiri Angkasa. Ia memberi isyarat dengan mata—sinyal bahwa mereka harus berbicara secara pribadi. Angkasa yang menangkap gelagat itu langsung mengangguk, lalu berjalan cepat ke ruang kerjanya, diikuti oleh Vino.
“Ada apa?” suara Angkasa dingin, penuh wibawa.
Vino menelan ludah. “Tuan… Nyonya Aliya dikabarkan hilang.”
Kedua alis Angkasa mengernyit tajam. “Apa maksudmu hilang?”
“Kepala pelayan… Bi Mar. Beliau yang menghubungi saya. Katanya, Nyonya Aliya menghilang di rumah sakit, tepat setelah beliau menitipkan ponsel dan kartu ATM pada Bi Mar.”
Deg. Dunia Angkasa seakan berhenti sejenak. Tanpa banyak bicara, ia langsung beranjak, melangkah cepat menuju mobilnya. Ia ingin tahu sendiri. Ia ingin mendengar langsung bagaimana istrinya bisa pergi begitu saja.
Di rumah, Bi Mar tengah menangis sesenggukan, dikelilingi para pelayan lain yang berusaha menenangkannya. Begitu pintu dibuka dengan keras, langkah Angkasa masuk bagai badai. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
“Apa yang terjadi pada istriku?!”
Bi Mar langsung bersimpuh, air matanya tak terbendung. “Ampuni saya, Tuan… Bibi lengah… Bibi sudah berusaha mencari, tapi Nyonya menghilang begitu saja…”
“Bagaimana bisa, Bi?” Suara Angkasa bergetar, antara amarah dan keputusasaan. “Bagaimana bisa Aliya pergi?”
Dengan terbata, Bi Mar menceritakan kronologinya: bagaimana Aliya menitipkan kartu ATM, juga ponsel, lalu pergi begitu saja. Tidak ada tanda-tanda paksaan. Tidak ada jejak orang asing yang mencurigakan.
Angkasa terduduk lemas, menekap keningnya. Dalam benaknya, satu pertanyaan terus berulang: Mengapa, Aliya? Mengapa kau lari dariku?
Vino yang baru tiba menyusul memberi laporan. “Tuan, saya sudah mengerahkan banyak orang. CCTV rumah sakit sudah kami kantongi. Tidak ada tanda penculikan. Semua rekaman menunjukkan bahwa Nyonya memilih pergi sendiri.”
Bi Mar yang masih menangis menyerahkan sesuatu—ponsel dan kartu ATM milik Aliya, serta empat lembar foto hasil USG.
Tangan Angkasa bergetar saat meraih foto itu. Matanya langsung berkaca-kaca ketika melihat bayangan kecil dalam perut istrinya.
“Anakku… istriku…” lirihnya, suara itu terdengar begitu memilukan.
⸻
Sementara itu, di dalam sebuah taksi yang melaju menjauh dari rumah sakit, Aliya memeluk tas kecilnya erat-erat. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah ponsel lama yang selama ini ia simpan dan nonaktifkan. Saat layar menyala, wallpaper usang terpampang—foto keluarganya saat masih di desa.
Matanya basah. “Kak Bimo…” hanya satu nama yang terlintas.
Namun Aliya sadar, ia tak mungkin kembali ke desa. Dengan kondisi berbadan dua, ia tak ingin menyeret keluarganya ke dalam pusaran masalah. Ia memilih pergi ke kota lain, tempat yang lebih jauh, tempat di mana tidak ada satu pun orang mengenalnya.
Tak ia sadari, beberapa pasang mata telah mengawasinya sejak awal. Orang-orang berbaju hitam yang setia mengikuti setiap geraknya, mengintai dalam diam.
Tiba-tiba, taksi itu berhenti mendadak.
“Pak, kenapa berhenti?” tanya Aliya panik.
Sopir menoleh gugup. “Ada… ada yang menghentikan kita, Bu.”
Seorang pria berbadan besar mengetuk kaca, lalu tanpa permisi menarik handle pintu. Wajahnya dingin, suaranya tegas.
“Silakan turun.”
Aliya terperanjat. “Kalian siapa?”
“Lebih baik ikut kami.”
Jantung Aliya seakan berhenti. Namun ia tak punya pilihan. Dengan langkah gemetar, ia turun dari taksi, membiarkan dirinya digiring ke arah yang tak ia ketahui. Dalam hati ia hanya bisa berdoa, agar dirinya dan bayi yang dikandungnya selamat.
Hari-hari berikutnya, Angkasa hidup dalam kehampaan. Ia tak pergi ke kantor, tak menghadiri rapat, tak lagi peduli pada dunia luar. Yang ia lakukan hanyalah menatap foto USG yang selalu ia genggam, seolah itu satu-satunya hal yang menghubungkannya dengan Aliya.
Di tengah keputusasaan itu, kabar hilangnya Aliya sampai juga ke telinga Tania. Dengan wajah pucat namun penuh kegelisahan, ia datang bersama Darrel, langsung menuju rumah Angkasa.
“Sa…” panggilnya pelan.
Angkasa yang duduk termenung mendongak. “Untuk apa kau datang ke sini?” tanyanya tegas, tajam menusuk.
“Sa, kenapa Aliya bisa kabur? Dia membawa calon anak kita, Sa. Kamu harus cari dia. Kamu harus bawa pulang Aliya itu.”
Angkasa berdiri, matanya menyala marah. “Apa yang kau bilang? Anak kita?” ia tertawa getir. “Sudah jelas bayi itu anakku bersama Aliya. Bukan milikmu!”
Tania mencoba bertahan. “Tidak, Sa! Sesuai kontrak, Aliya harus menyerahkan bayi itu pada kita. Aku dan kamu yang akan jadi orang tuanya!”
Plaaak!
Tamparan keras mendarat di pipi Tania. Wanita itu terhuyung, matanya terbelalak kaget.
“Berhenti mempermainkan hidupku dan hidup Aliya!” suara Angkasa bergemuruh. “Aku akan menceraikanmu, dan aku akan menjadikan Aliya istriku satu-satunya!”
Tania menatap dengan wajah pucat. “Tidak bisa, Sa… Tidak bisa seperti itu…”
Namun Angkasa sudah meraih ponselnya. “Vino, urus perceraianku dengan Tania secepat mungkin!” Setelah menutup telepon, ia menatap Tania penuh benci.
“Aku tidak sudi punya istri penuh drama sepertimu. Jangan kira aku tidak tahu. Kau memalsukan surat kesehatanmu, mengatakan padaku bahwa kau sulit hamil, padahal kau memasang alat kontrasepsi di rahimmu!”
Wajah Tania membeku, matanya melebar.
“Ingat, Tania,” lanjut Angkasa dengan suara menekan, “jangan coba-coba persulit perceraianku. Kalau kau berani, aku akan mengambil segalanya darimu. Karirmu, hartamu, bahkan nama baikmu. Aku akan hancurkan semuanya.”
Tania terdiam, tubuhnya gemetar, sementara Angkasa berbalik, melangkah pergi.
Ia masuk ke kamar Aliya—ruangan yang penuh kenangan, aroma lembut yang masih tertinggal di seprai, dan bayangan sosok wanita yang kini hilang entah di mana. Angkasa duduk di ranjang itu, memejamkan mata, lalu memeluk erat foto USG di tangannya.
“Aliya…” bisiknya lirih. “Kembalilah padaku…”
jangan lengah,ntar kejadian lagi Aliya hilang
gak jauh jauh dari semesta kan kk Thor 😆...
udah 4 bulan ya dad 🤣🤣🤣