Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23 -- darren vs william
Langit sore menumpahkan warna oranye keemasan ketika Aruna melangkah keluar dari gedung Surya.
Suasana lobi sudah sepi, hanya beberapa karyawan yang masih menenteng map dan laptop sambil bercakap pelan. Angin senja menyambut lembut ketika ia menyeberangi pintu kaca utama, dan suara langkahnya terdengar jelas di lantai granit yang mulai dingin.
Ia menatap ponsel di tangan—pesan dari sopir pengganti yang katanya masih terjebak di jalan tol. Aruna menghela napas kecil. Hari ini sudah cukup panjang. Rapat berat, interaksi dengan Naya yang menguras batin, dan kini ia harus menunggu lagi di depan gedung sambil menatap lalu lintas yang tak bergerak.
“Setidaknya bukan mogok lagi…” gumamnya pelan, menatap parkiran di depan gedung.
Namun baru saja ia hendak berdiri lebih dekat ke tepi jalan, sebuah suara familiar memecah kesunyian.
“Menunggu jemputan, Aruna?”
Aruna menoleh. Di sana, berdiri William dengan kemeja abu gelap dan jas yang belum sempat dilepas. Tatapannya tenang, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Aruna otomatis menegakkan punggung.
“Oh, William…” Aruna tersenyum tipis. “Iya, sopirku belum datang. Katanya macet parah di tol.”
William mengangguk, langkahnya ringan ketika ia mendekat.
“Kalau begitu, biar aku antar. Sekali lagi, kebetulan aku memang lewat sini.”
Nada suaranya lembut tapi pasti. Ia kemudian melirik mobil hitamnya yang terparkir tidak jauh dari situ. “Kamu juga pasti lelah setelah rapat panjang.”
Aruna membuka mulut, ragu. Sebagian dirinya ingin menolak dengan sopan, tapi matahari yang mulai turun dan hawa sore yang semakin dingin membuatnya goyah. Ia menatap ke arah jalan, lalu ke William.
“Yah… sepertinya tidak ada pilihan lain,” ucapnya lirih sambil tersenyum lembut.
William membalas senyumnya dengan anggukan kecil. “Ayo, biar tidak terlalu malam.”
Aruna melangkah pelan ke arah mobil. Ia baru saja hendak membuka pintu penumpang ketika tiba-tiba sebuah tangan kuat menarik pergelangan tangannya dari samping.
Refleks, tubuhnya sedikit berputar, dan jantungnya berdetak keras karena terkejut.
William langsung menoleh, begitu juga Aruna. Tatapan mereka berdua bertemu dengan sosok pria asing yang baru saja muncul dari arah berlawanan—tinggi, gagah, dan tampak berwibawa.
Rambut hitamnya tersisir rapi, jas hitam pekat membalut tubuh tegapnya, dan di hidungnya bertengger kacamata berbingkai tipis yang menambah kesan tenang tapi berbahaya. Aura yang ia bawa berbeda—dingin, tegas, dan misterius, membuat udara sekitar seakan menegang.
Aruna mengerjap pelan.
Siapa dia? batinnya bergumam heran. Aku… tidak mengenalnya.
Namun sebelum ia sempat bertanya, pria itu menatapnya lembut, lalu tersenyum kecil—senyum yang lebih formal daripada ramah.
“Maaf, Nyonya Aruna,” ucapnya dengan suara dalam dan tegas. “Saya terlambat menjemput.”
Aruna membeku sejenak. “Nyonya…?” ulangnya lirih, seolah baru saja disadarkan akan identitas barunya yang masih sulit ia biasakan di hadapan orang lain.
William langsung menatap pria itu tajam, langkahnya bergeser sedikit mendekat. “Dan Anda siapa?”
Nada suaranya masih sopan, tapi ada ketegangan halus yang jelas terasa.
Pria itu menatap balik tanpa sedikit pun goyah. Ia lalu menunduk tipis ke arah Aruna, memperkenalkan diri dengan nada resmi.
“Nama saya Darren Karel. Mulai hari ini, saya yang bertugas mengantar dan menjemput Nyonya Aruna sesuai perintah keluarga Adikara.”
Mata Aruna sedikit melebar. Nama itu tidak asing baginya—ia pernah mendengar dari Clarissa Adikara, ibu mertuanya, tentang pria bernama Darren yang menjadi tangan kanan Leo. Tapi baru kali ini ia melihatnya langsung.
William melirik Aruna, lalu kembali menatap Darren. “Keluarga Adikara, ya? Sayangnya, aku sudah lebih dulu menawarkan bantuan. Tidak perlu repot datang jauh-jauh.”
Nada William terdengar tenang, tapi matanya menyiratkan ketegasan. Darren membalas tatapan itu tanpa senyum, tanpa gentar. “Tugas saya bukan repot, Tuan William. Tapi menjalankan perintah. Dan perintah dari keluarga Adikara tidak untuk dinegosiasikan.”
Suasana tiba-tiba berubah tegang.
Angin sore yang tadinya lembut kini terasa dingin menusuk. Aruna menatap keduanya bergantian—dua pria berbeda, sama-sama berdiri tegak, namun membawa energi yang berlawanan.
William—hangat, rasional, tapi dengan tatapan tajam yang tak mau kalah.
Darren—dingin, terukur, dan jelas tidak terbiasa diberi perintah balik terkecuali keluarga adikara
Aruna mengangkat tangannya pelan, mencoba menengahi. “Maaf… mungkin ada kesalahpahaman. William hanya ingin membantu. Tidak perlu sampai—”
“Tapi perintah keluarga Adikara sudah jelas, Nyonya.”
Darren memotong dengan sopan namun tegas, pandangannya tetap lurus ke arah William.
“Keamanan Anda menjadi tanggung jawab penuh kami. Tidak seharusnya orang luar ikut campur.”
Kata “orang luar” itu membuat William mengeraskan rahangnya. “Orang luar?” ulangnya dengan nada rendah. “Cukup arogan untuk menyebutku begitu, padahal tanpa aku, Nyonya Aruna kau mungkin masih di tengah jalan pagi ini.”
Darren menatapnya datar. “Saya menghargai niat baik Anda, Tuan William. Tapi hari ini tanggung jawab itu sudah diambil alih. Saya sarankan Anda tidak melangkahi wilayah keluarga Adikara.”
Tatapan mereka bertemu—dua dunia berbeda, dua kekuatan yang tak mau mundur.
Aruna, yang berdiri di tengah, hanya bisa menarik napas panjang. Hatinya berdebar tak karuan. Ia bukan takut… tapi lebih karena menyadari sesuatu: aura yang keluar dari Darren bukan aura sembarangan. Ia membawa nama besar yang bahkan bisa membuat lawan bicara tertegun hanya dengan menyebut asalnya.
“Darren,” akhirnya Aruna bicara dengan nada lembut tapi tegas. “Terima kasih sudah datang menjemput. Tapi William hanya berniat baik. Tidak perlu ada perdebatan di sini.”
Darren menunduk sedikit, suaranya menurun. “Saya mengerti, Nyonya. Tapi saya harus memastikan keselamatan Anda. Perintah Tuan Adikara tidak bisa saya abaikan.”
William menarik napas panjang, lalu mundur setengah langkah, menatap Aruna dengan ekspresi lembut namun kecewa. “Kalau begitu, aku tidak akan memaksa,” ujarnya akhirnya.
“Tapi setidaknya izinkan aku memastikan kamu benar-benar sampai rumah dengan aman.”
Aruna mengangguk pelan. “Tentu, William. Terima kasih sudah menawari tumpangan.”
Darren hanya menunduk tipis, meski dari matanya tersirat kewaspadaan. Tatapan singkatnya ke arah William seolah berkata ‘jangan coba-coba mendekat lagi’. William membalas dengan lirikan tenang tapi tajam, lalu melangkah ke mobilnya.
Begitu mobil William pergi, Darren membuka pintu belakang mobil hitam milik keluarga Adikara, membiarkan Aruna masuk lebih dulu. Gerakannya efisien, nyaris seperti seorang pengawal militer.
“Maaf kalau saya membuat suasana tidak nyaman, Nyonya,” ujarnya sambil menyalakan mesin. “Tapi saya hanya menjalankan perintah langsung dari Tuan Adikara. Beliau ingin memastikan Anda tidak bepergian tanpa pengawalan.”
Aruna terdiam beberapa detik, memandang pria di kursi pengemudi dari pantulan kaca depan. Nada suaranya dalam, terlatih, dan tidak meninggalkan celah untuk ditolak. Tapi ada satu hal yang membuat Aruna tak bisa berpaling: nada percaya diri penuh rahasia.
Mobil hitam itu melaju pelan meninggalkan halaman kantor. Lampu-lampu kota mulai menyala, memantulkan cahaya lembut di kaca jendela yang membingkai wajah Aruna. Ia bersandar tenang, tapi matanya tak berhenti memperhatikan sosok di kursi pengemudi.
Pria itu terlalu tenang. Terlalu tepat waktu.
Bahkan cara ia menggenggam setir pun penuh kendali, seolah sudah terbiasa menghadapi bahaya kapan saja.
“Darren,” panggil Aruna pelan, nadanya tak terlalu tinggi, tapi cukup untuk menarik perhatiannya.
“Ya, Nyonya?” jawab Darren tanpa menoleh, matanya tetap fokus ke jalan.
“Sejak kapan kamu mulai bertugas di keluarga Adikara?” tanyanya dengan nada santai, mencoba memecah keheningan yang terasa terlalu hening untuk ukuran sore seperti ini.
Beberapa detik hening. Lalu terdengar jawaban pendek tapi terukur. "Cukup lama untuk tahu siapa yang boleh saya percayai, dan siapa yang tidak.”
Aruna mengerutkan kening kecil. Jawaban itu bukan yang ia harapkan. “Berarti kamu cukup mengenal keluarga Adikara,” ujarnya lagi, berusaha memancing sedikit informasi.
Kali ini Darren tersenyum samar. “Cukup mengenal untuk tahu kapan seseorang mencoba mencari tahu terlalu banyak.”
Nada suaranya tenang, tapi membuat Aruna terdiam. Antara bingung, kesal, dan… penasaran.
Ia menatap bayangan Darren di kaca spion depan—rahang tegas, sedikit janggut tipis, dan kacamata yang memantulkan sinar jalanan. Ada kesan misterius di setiap geraknya, membuat Aruna sulit menebak apakah pria ini benar-benar hanya seorang asisten… atau sesuatu yang lebih dari itu.
“Kau terlalu serius untuk seorang sopir,” gumam Aruna akhirnya, nyaris tanpa sadar.
Darren hanya tersenyum tipis, satu sisi bibirnya terangkat. “Kalau saya hanya sopir, Nyonya, mungkin Anda sudah diculik tiga kali sore ini.”
Aruna terdiam, menatapnya lewat pantulan kaca. “Itu maksudnya apa?”
“Artinya, saya tidak sedang bekerja sebagai sopir biasa,” jawab Darren tenang. “Saya menjaga Anda—dan memastikan tak ada yang mendekat tanpa izin.”
Ucapan itu sederhana, tapi ada sesuatu di baliknya—peringatan, atau… janji?
Aruna menghela napas perlahan. “Kamu terdengar seperti tahu sesuatu yang tidak aku tahu.”
“Bukan begitu,” Darren menanggapi lembut, kali ini nada suaranya sedikit lebih manusiawi. “Saya hanya tahu bahwa dunia di sekitar Anda tidak seaman yang terlihat.”
Kalimat itu membuat Aruna menoleh cepat. “Maksudmu?”
Namun Darren tak menjawab. Ia hanya melirik ke kaca spion sebentar, lalu menepikan mobil di sisi jalan ketika lampu merah menyala.
Tatapan matanya tertuju ke luar, tapi suaranya kini rendah dan dalam. “Kadang, orang yang paling dekatlah yang justru paling berbahaya.”
Aruna terdiam. Kata-kata itu menembus lebih dalam daripada yang ia kira. Bayangan masa lalunya—pengkhianatan, darah, dan senyum palsu—berkelebat cepat di pikirannya.
Ketika lampu hijau kembali menyala, Darren melajukan mobil lagi dengan tenang seolah tak pernah mengucapkan apa pun.
Hening menggantung di antara mereka.
Tapi di dada Aruna, sesuatu mulai bergetar—sebuah firasat samar, bahwa pria bernama Darren Karel ini tidak muncul dalam hidupnya hanya karena “perintah keluarga Adikara.”
Dan di sisi lain, Darren menatap pantulan wajah Aruna di kaca spion… Senyum tipisnya muncul lagi. Tapi kali ini bukan senyum sopan, melainkan senyum seseorang yang mengetahui jauh lebih banyak daripada yang ingin ia tunjukkan.
---