Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Arvenzo ingin pulang
Arvenzo sudah tampak gelisah. Ia bersandar di ranjang sambil menatap jendela. “Vel, aku bosan terus-terusan di kamar. Boleh nggak aku keluar sebentar? Cari angin di taman, sekalian berjemur.”
Velora yang sedang merapikan catatan medisnya menghentikan gerakan, lalu menoleh. Ada keraguan di matanya, tapi melihat sorot sungguh-sungguh suaminya, ia akhirnya menghela napas. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, ya? Dan kamu harus pakai kursi roda, nggak ada tawar-menawar.”
Senyum tipis muncul di wajah Arvenzo. “Asal bisa keluar dari kamar ini, aku bakal nurut.”
Beberapa menit kemudian, Velora membantu Arvenzo pindah ke kursi roda. Gerakannya hati-hati, memastikan perban tidak tergeser. Arvenzo menahan tawa kecil. “Pelan banget, kayak aku mau jatuh aja.”
Velora meliriknya. “Ya memang harus pelan, Ar. Luka kamu belum sembuh betul.”
Arvenzo mengangkat bahu, tersenyum tipis. “Aku tahu. Cuma rasanya jadi kayak pasien spesial.”
Velora menahan senyum, lalu menunduk sedikit sambil merapikan posisi kakinya di penopang kursi roda. Suaranya terdengar hangat. “Memang pasien spesial. Soalnya yang ini suamiku sendiri.”
Arvenzo terdiam sejenak, menatap Velora dengan sorot berbeda. Senyum tipis muncul di wajahnya, tapi ia tidak menanggapi lebih jauh.
Velora mulai mendorong kursi roda keluar dari kamar. Di lorong rumah sakit, beberapa perawat dan dokter menyapa mereka dengan ramah. Ada yang menundukkan kepala, ada pula yang tersenyum lebar.
“Selamat pagi, Dokter Velora. Tuan Arvenzo, semoga cepat pulih,” sapa seorang dokter muda.
Velora membalas dengan senyum sopan, sementara Arvenzo hanya mengangguk singkat dengan wajah datarnya yang khas. Namun dari ekor matanya, ia memperhatikan betapa orang-orang tampak menghormati istrinya.
Akhirnya mereka sampai di taman rumah sakit. Udara segar langsung menyapa, sinar matahari pagi terasa hangat. Velora menghentikan kursi roda di dekat bangku panjang di bawah pohon rindang.
“Di sini cukup, kan? Jangan lama-lama, nanti kamu kecapekan,” ujar Velora.
Arvenzo mendongak, menatap langit biru yang cerah. Untuk pertama kalinya sejak lama, bibirnya mengembang dalam senyum yang tulus. “Ini sudah lebih dari cukup, Vel. Terima kasih.”
Velora menunduk, tersenyum tipis sambil menatap suaminya. “Sama-sama, Ar. Aku cuma ingin kamu cepat sembuh.”
Suasana hening sejenak, hanya diisi suara dedaunan yang bergoyang tertiup angin.
Arvenzo sedang menikmati udara segar ketika sebuah bola berwarna merah tiba-tiba menggelinding, berhenti tepat di bawah kaki Velora. Ia spontan menunduk, lalu mengambil bola itu.
Tak lama, seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahun berlari kecil ke arah mereka. Pipi bulatnya memerah karena berlarian, matanya berbinar penuh harap.
“Permisi, Tante... itu bola punyaku,” ucapnya dengan suara polos.
Velora tersenyum hangat, lalu berjongkok agar sejajar dengan si kecil. “Oh, ini punyamu, ya?” katanya lembut sambil menyerahkan bola itu ke tangan mungil anak tersebut. “Mainnya hati-hati, jangan sampai kena orang lain, ya?”
Anak itu mengangguk cepat, senyum manis tersungging di bibirnya. “Iya, Tante. Terima kasih.”
“Namamu siapa?” tanya Velora, masih dengan nada penuh keibuan.
“Rafa,” jawabnya mantap.
Velora tersenyum semakin lebar. “Nama yang bagus. Baik-baik ya, Rafa. Jangan lari terlalu kencang, nanti jatuh.”
Rafa terkekeh kecil, lalu melambai sebelum kembali berlari ke arah orang tuanya yang duduk di bangku taman.
Arvenzo yang menyaksikan percakapan itu hanya terdiam, namun sudut bibirnya terangkat membentuk senyum samar. Ada sesuatu yang menekan dadanya ketika melihat betapa hangat dan lembut cara Velora menyapa anak kecil tadi.
Sesaat, bayangan singkat muncul di benaknya, bagaimana jika suatu hari nanti mereka memiliki anak sendiri? Apakah Velora akan tersenyum setulus tadi saat memeluk buah hati mereka?
Namun pikiran itu buru-buru ia enyahkan. Arvenzo menggeleng pelan, mencoba menepis lamunan yang terlalu jauh.
“Hah... aku apa-apaan, sih,” gumamnya lirih, kembali menatap ke langit sambil berusaha menahan diri.
Velora melirik suaminya, sempat heran melihat ekspresinya. “Kenapa? Kok tiba-tiba geleng-geleng?” tanyanya pelan.
Arvenzo segera menoleh ke arah lain, pura-pura santai. “Nggak. Anginnya aja agak kenceng.”
Velora mengangguk kecil, tidak banyak bertanya lagi. Tapi hatinya bertanya-tanya, sebenarnya apa yang tadi dipikirkan Arvenzo?
...****************...
Malam itu kamar VVIP sudah hening. Hanya suara mesin monitor yang berdetak teratur. Velora sudah berbaring di ranjang khusus keluarga pasien, posisinya di sisi kanan kamar. Ia mencoba memejamkan mata setelah seharian penuh menemani suaminya.
Tapi suara ketikan halus memecah keheningan. Velora mengernyit, membuka mata, dan mendapati cahaya laptop menyala dari arah ranjang utama. Arvenzo duduk setengah tegak, wajahnya serius, jemarinya sibuk menari di keyboard.
“Ar...” suara Velora pelan, serak karena baru bangun. “Kamu ngapain?”
Arvenzo sempat melirik, lalu kembali menatap layar. “Cuma ngecek pekerjaan sedikit. Biar nanti pekerjaan aku nggak semakin banyak.”
Velora bangkit, berjalan mendekat dengan raut tidak percaya. “Sedikit? Kamu baru beberapa hari sadar, luka masih belum kering, dan sekarang malah kerja?”
Arvenzo mencoba santai. “Aku nggak bisa diam, Vel. Bosan rasanya cuma rebahan.”
Velora tanpa banyak bicara langsung menutup laptop itu dengan tegas. “Kalau kamu terus maksa kayak gini, jangan salahkan siapa-siapa kalau jahitan mu bermasalah. Mau dirawat lebih lama di sini?”
Arvenzo menarik napas, jelas tak suka dimarahi tapi tak bisa membantah. “Aku cuma butuh sesuatu buat ngisi waktu, itu saja.”
Velora menatapnya lama, lalu suaranya melembut. “Yang paling penting sekarang itu kamu sembuh. Biarin waktu yang nyembuhin, jangan dipaksa.”
Kata-kata itu membuat Arvenzo terdiam. Ia akhirnya mengalah, meletakkan laptop ke meja samping. “Oke. Aku berhenti.”
Velora membetulkan selimutnya, lalu berdiri lagi. “Bagus. Sekarang tidur!”
Arvenzo menatapnya, bibirnya melengkung tipis. “Ternyata kalau dimarahin istri yang juga dokter rasanya nggak enak tapi bikin nurut.”
Velora menghela napas, mencoba menahan senyum. “Ya sudah, cepat istirahat. Jangan bikin aku ngomel lagi.”
Arvenzo akhirnya merebahkan tubuhnya, matanya perlahan terpejam. Velora kembali ke ranjang khusus keluarga pasien, berbaring menghadap ke arah ranjang utama. Tatapannya sempat berhenti pada wajah Arvenzo yang sudah tertidur tenang, sebelum akhirnya ia ikut terlelap.
...****************...
Pagi itu dokter jaga masuk ke ruang rawat VVIP, membawa berkas rekam medis Arvenzo. Setelah mengecek perban dan hasil lab terakhir, ia menutup map perlahan.
“Luka anda mulai membaik, tuan Arven,” ucap dokter sambil menutup map. “Tapi belum kering sepenuhnya. Kalau teratur minum obat dan jaga aktivitas, mungkin sekitar satu mingguan lagi bisa pulih betul.”
Arvenzo langsung menatap dokter dengan serius. “Kalau begitu, saya boleh pulang hari ini kan, Dok?”
Velora yang sedang membereskan gelas di meja menoleh cepat. “Ar, belum waktunya. Kamu masih harus dirawat di sini.”
“Tapi aku merasa sudah sehat,” balas Arvenzo tenang, meski jelas keras kepala. “Di rumah pun aku bisa minum obat, bisa istirahat. Malah lebih nyaman dibanding terkurung di kamar ini.”
Dokter ikut menimpali dengan nada tenang. “Sebenarnya, kalau memang pasien bersikeras, pulang itu mungkin saja. Tapi risikonya jelas lebih besar dibanding tinggal di rumah sakit dengan pengawasan penuh.”
“Saya tanggung risikonya,” sela Arvenzo cepat. “Asal saya bisa pulang, bisa hirup udara rumah sendiri. Obat, kontrol, semuanya akan saya jalani.”
Velora menghela napas panjang, jelas masih belum rela. “Kamu tuh ya keras kepala banget.”
Arvenzo meliriknya sekilas, suaranya sedikit lebih lembut. “Aku cuma butuh rasa nyaman, Vel. Percaya deh, aku akan lebih cepat sembuh kalau di rumah. Dan ada kamu yang bisa awasin aku.”
Dokter akhirnya mengangguk, memberi keputusan. “Baiklah, saya izinkan pulang. Syaratnya anda harus minum obat secara teratur, jangan aktivitas berat, jangan angkat yang terlalu berat, dan kalau ada keluhan sedikit pun harus langsung kembali ke sini.”
“Siap, Dok,” jawab Arvenzo mantap, seolah sudah memenangkan perdebatan.
Velora menatapnya sambil menggeleng tak percaya, tapi tatapannya melembut. “Baiklah, kalau kamu janji nurut sama aturan.”
"Hmmm, aku janji."
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭