NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:14.1k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cultural Gala 2025 – A Symphony of Youth

Satu minggu berlalu begitu cepat hingga tibalah hari yang ditunggu-tunggu — acara Cultural Gala benar-benar digelar hari itu.

Pagi yang cerah perlahan berganti sore yang sibuk di lingkungan Starlight School. Sejak siang, halaman utama sekolah sudah dipenuhi panitia yang lalu-lalang membawa dekorasi, peralatan, dan perlengkapan acara. Spanduk besar bertuliskan “Cultural Gala 2025 – A Symphony of Youth” membentang megah di atas gerbang utama, diterpa lembut angin sore Jakarta.

Di depan aula besar yang disulap menjadi panggung utama, cahaya lampu mulai diuji satu per satu. Suara teknisi yang saling berteriak dari balik headset bercampur dengan dentuman musik uji suara dari speaker raksasa di sisi kanan panggung.

Sementara itu, di belakang panggung, suasana tak kalah ramai. Para peserta tampak sibuk mempersiapkan diri — mulai dari tim tari, paduan suara, fashion show, hingga band-band siswa yang sudah berlatih berminggu-minggu demi malam ini.

Sore di Starlight terasa hidup. Aroma cat semprot, debu panggung yang baru dipoles, dan wangi bunga segar dari dekorasi bercampur menjadi satu, memenuhi udara.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Agler berdiri dengan clipboard di tangan, headset menggantung di leher, dan ekspresi yang jelas menunjukkan ia sedang berada di ambang kesabaran.

“Tim lighting! Gue udah bilang, spotlight-nya jangan terlalu ke tengah! Itu buat fashion show nanti, bukan buat band!” serunya sambil menunjuk ke arah teknisi di atas panggung.

Satu detik kemudian, ia menoleh ke arah panitia dekorasi, “Dan tolong! Jangan taruh bunga di depan ampli! Kalau meledak, yang nyium aromanya bukan kalian, tapi teknisi yang pingsan!”

Beberapa panitia langsung mengangguk cepat — ngeri kena semprot. Tapi semua tahu, tanpa Agler yang bawel dan tegas itu, acara sebesar ini mungkin sudah kacau sejak pagi.

Di sisi lain area aula, Zea sibuk mengatur tripod tinggi di balkon kecil tempat tim publikasi melakukan livestream. Rambutnya dikuncir asal; jemarinya cepat berpindah dari satu tombol ke tombol lain, memastikan semua berjalan lancar.

   “Cam dua, angle-nya jangan motong lampu sorot. Turunin sedikit, ya. Gue mau dapetin ekspresi penonton depan panggung,” instruksinya cepat, tegas.

Di bawah, Claudy jongkok di antara barisan kursi penonton, DSLR di tangan, memotret dari berbagai sudut.

“Zee, nanti pas band-nya Qyler tampil, gue ambil dari sisi kanan panggung. Jadi lo fokus ke kamera utama aja.”

“Oke, noted.” Zea melirik layar monitor yang menampilkan tiga kamera berbeda. “Sinyal stabil, lighting bagus. Kita aman.”

Claudy berdiri sambil tersenyum kecil.

“Lo keliatan kayak produser profesional, tau gak?”

Zea terkekeh ringan. “Gue cuma pengen semuanya presisi, rapi, dan sesuai instruksi.”

Sementara itu, di ruang rias belakang panggung, Arcelyn duduk di depan cermin besar yang dikelilingi lampu bulat. Para make-up artist sibuk menata rambut dan memoles wajahnya. Gaun elegan berwarna champagne tergantung di samping kursi.

“Gue tampil jam berapa?” tanyanya pada salah satu panitia.

“Setelah penampilan band terakhir, sekitar jam delapan,” jawab panitia itu.

Arcelyn mengangguk, menatap pantulan dirinya di cermin.

“Berarti gue masih bisa dong nonton penampilan calon pacar gue — Qyler.”

Panitia itu terkekeh pelan. Semua orang tahu betapa Arcelyn mengidolakan Qyler — sejak awal kedatangan cowok itu di Starlight, ia sudah menandainya sebagai miliknya, meski belum mendapat respons dari si empunya hati. Cowok cuek itu bahkan tampak tak terpengaruh sedikit pun oleh pesona Arcelyn Genova, selebgram muda yang sedang naik daun.

Tak jauh dari sana, di salah satu sudut backstage, lima sosok berdiri mengelilingi set alat musik lengkap.

Qyler, Sagara, Jhonatan, Luki, dan Sean tengah bersiap. Keempat anggota mengenakan seragam hitam dengan detail perak di jaket mereka, sementara Qyler tampil sedikit berbeda — kaus putih di balik jaket hitam dan celana jeans robek yang memberi kesan kasual tapi tajam.

“Senar lo udah dicek, Jon?” tanya Qyler sambil memutar mic di tangannya.

“Udah. Tapi ampli sempet ngadat, gue panggil teknisinya biar aman,” jawab Jhonatan, menunduk memeriksa kabel gitar.

Luki yang duduk di belakang drum memutar stik di jarinya. “Sial, jantung gue udah kayak mau copot. Ini pertama kali kita tampil di depan beberapa sekolah, cuy.”

Sagara menepuk bahunya santai. “Tenang, bro. Kita udah latihan seminggu penuh. Begitu lampu nyala, yang lo liat cuma panggung — bukan ratusan mata di depan lo.”

“Yakin?” sahut Sean, meneguk air mineral. “Soalnya kalo gue salah kunci dikit aja, lo semua bakal ngebunuh gue besok.”

“Bukan besok,” balas Qyler datar. “Langsung malam ini.”

Tawa ringan pun pecah. Rasa gugup dan semangat bercampur jadi satu — khas energi muda sebelum naik ke atas panggung.

...----------------...

Di balkon publikasi, Zea kembali mencondongkan tubuh, memastikan posisi kamera. Angin sore yang masuk dari jendela besar membuat tali tripod sedikit goyah.

“Sedikit lagi… oke, pas…” gumamnya.

Namun tiba-tiba salah satu kaki tripod kehilangan keseimbangan. Kamera hampir jatuh — begitu pula dengan nya.

Sebelum tubuhnya benar-benar kehilangan pijakan, sepasang tangan kuat menangkapnya dari belakang.

“Hey, hati-hati. Kalau jatuh dari sini, kamu nggak cuma kehilangan kamera.”

Suara itu dalam dan tenang. Zea menoleh cepat — matanya membulat.

“Rafka…?”

Cowok itu tersenyum tipis, masih menahan bahunya agar tak jatuh.

“Kamu terlalu fokus kerja sampai lupa kalau tanah masih di bawah, ya?”

Zea buru-buru menarik diri. “T–thanks. Gue cuma… ngecek angle. Nggak sengaja kepleset.”

Deg.

Rafka sempat kehilangan kata saat mendengar nada bicara gadis di depannya. Nada itu tegas — dingin — dan satu hal yang paling mengusiknya, Zea baru saja bilang gue. Kata yang dulu nggak pernah keluar dari mulut gadis itu setiap kali bersamanya.

Ada rasa miris yang tiba-tiba menusuk dada. Ia mencoba tersenyum lalu...

“Tripod-nya belum kekunci. Biar aku bantu—”

“Nggak usah.” Zea cepat memotong. Tangannya sigap mengunci kaki tripod, berusaha tampak tenang meski jemarinya sedikit bergetar.

Rafka hanya menatapnya dalam diam, rasa bersalah menguasai pikirannya.

Tanpa berpikir panjang, ia melangkah maju dan menarik Zea ke dalam pelukan.

“Maaf…” bisiknya lirih, suara serak tertahan. “Aku benar-benar minta maaf.”

Tubuh Zea menegang. Matanya mulai terasa panas di genangi air mata yang coba ia tahan suapaya tak keluar. Ia menahan nafas, tangannya mengepal,

Lalu mendorong dada Rafka cukup keras hingga pelukan Rafka terlepas.

“Lupain aja,” ucapnya pelan namun tajam. “Dan tolong… jangan muncul lagi di depan gue kayak gini.” pintanya. Tatapannya sedikit bergetar. “Lo udah cukup nyakitin gue dulu. Jadi tolong jangan usik ketenangan gue kali ini.

"Vi\_\_"

"Cukup! stop panggil gue dengan nama itu. Gue Zea bukan Viora." tekannya tajam.

Rafka kembali terdiam hingga hening menyelimuti

hanya suara angin sore yang melintas di antara mereka.

Sampai akhirnya — langkah cepat terdengar dari arah belakang, disusul suara berat yang memecah suasana.

“Khem… sorry udah ganggu waktu kalian.”

Zea dan Rafka spontan menoleh. Agler berdiri di ambang pintu balkon — clipboard masih di tangan, ekspresinya datar tapi matanya tajam. Ia menatap mereka bergantian, lalu berniat berbalik pergi. Namun Zea lebih dulu berjalan melewatinya tanpa sepatah meninggalkan mereka.

Kepergian Zea membuat Agler mengurungkan niatnya ia kembali menatap Rafka. dan sedikit mengangkat alis saat melihat ekspresi sendu di wajah pemuda itu.

“Khem… gue butuh second opinion buat beberapa hal teknis. Panitia Starlight lagi kejar waktu, dan gue pengen tahu apakah pihak lo udah siap buat transisi acara.”

Nada suaranya to the point.

Rafka cepat mengangguk, berusaha kembali profesional.

“Oke. Gue dengerin.”

Agler membuka clipboard-nya, menunjukkan lembar rundown penuh coretan.

“Setelah penampilan band sekolah gue — Qyler — langsung transisi ke segmen fashion show, kan? Tapi lighting lo minta efek twilight shimmer, sementara panggung kita belum punya filter warna yang cocok. Gue bisa ganti pake warm gold, tapi hasilnya bakal beda dari preview tim lo.”

Rafka berpikir sejenak. “Warm gold bisa, asal jangan terlalu kuning. Kita pengen kesan elegan, bukan sunset party.”

“Noted.” Agler menulis cepat. “Terus, soal panggung Satropa Dance Crew — lo yakin mau pake properti tangga itu? Posisinya sempit. Gue gak mau properti lo nyenggol set dekor Starlight buat closing.”

“Udah gue ukur, pas banget. Gue juga udah kasih tahu tim logistik buat pasang stopper biar gak geser.”

“Bagus.” Agler menutup clipboard-nya, menatap Rafka lebih dalam. “Gue gak mau tahu urusan pribadi lo sama siapa pun. Tapi di acara ini, kita dua panitia dari dua sekolah besar. Kalau satu kacau, dua-duanya kena imbas. Jadi pastiin semua kru lo kerja sesuai rundown.”

Rafka sempat terdiam, lalu menatap balik dengan nada tenang.

“Gue pastiin acara ini selesai dengan sempurna. Lo tenang aja.”

Agler mengangguk, berbalik menuju area panggung. Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat berhenti sejenak tanpa menoleh.

“Dan satu lagi,” katanya datar tapi tegas. “Kalau lo masih punya urusan belum selesai sama Zea, selesain di luar acara. Malam ini bukan waktunya buat drama.”

Rafka tak menjawab. Ia hanya menunduk, rahangnya mengeras — menatap kosong ke lantai.

Di kejauhan, suara sorak penonton mulai terdengar dari aula, tanda bahwa Cultural Gala 2025 akan segera dimulai.

Lampu-lampu panggung menyala satu per satu.

Dan malam pun resmi dimulai.

1
Fitriana Muflihatul Afidah
agler
Fitriana Muflihatul Afidah
koq diulang Thor... tapi El jadi agler..
Mar lina
oooh
Zea
kenapa kamu lupa ingatan...
apakah sebelum nya Violet sudah bertunangan dengan Agler...
lanjut Thor ceritanya
Yunita Aristya
wah rafka
Mar lina
ternyata Rafka jahat
sudah 2 kali bikin kecelakaan buat Zea/ Vio
Yunita Aristya
kurang... 😭🤭
ARQ ween004: hhe... tunggu besok ya kak😄
total 1 replies
Yunita Aristya
luar biasa
Yunita Aristya
apa rafka ya🤭
Mar lina
kemudian
apakah yg terjadi..
lanjut thor ceritanya
ARQ ween004: besok lanjut lagi🙏
total 1 replies
Achy Hidayat
Karya nya sangat bagus dan sangat menarik
ARQ ween004: makasih
total 1 replies
Mar lina
kira" apa tuch yg terjadi
semoga aja kebusukan Friska & pacar nya
kebongkar tentang hubungan mereka...
terutama tentang kecelakaan Zea...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!