NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Orang yang sama dengan aura yang berbeda

Langit sore mulai meredup ketika jam digital di dashboard motor sport putih itu menunjukkan pukul 17.15.

Suara raungan mesinnya menggema di halaman depan Satropa Academy, memecah ketenangan yang tersisa setelah sebagian besar siswa selesai dengan kegiatan ekstrakurikuler mereka.

Motor itu berhenti perlahan di area parkir depan, menimbulkan decak kagum dari beberapa siswa yang kebetulan lewat. Dari balik helm putih, seseorang mematikan mesin, menurunkan penyangga, lalu membuka visor dengan gerakan tenang.

Dan di saat itu—waktu seolah berhenti sesaat.

Viora Zealodie Walker.

Nama itu masih bergaung di sekolah ini, bahkan setelah kepergiannya. Namun sosok yang kini berdiri di hadapan mereka… terasa asing.

Viora yang mereka kenal dulu seakan lenyap terganti oleh versi yang benar-benar berbeda.

Ia turun dari motor dengan langkah mantap, melepaskan helmnya dan mengibaskan rambut hitamnya sebelum mencepolnya asal menggunakan jedai.

Sinar sore memantul di jaket kulit hitam yang membalut tubuh rampingnya, berpadu dengan kaus cokelat susu dan jeans hitam ketat yang mempertegas kesan dingin dan kuat. Sepatu kets putih di kakinya melengkapi tampilan yang tampak effortless, namun tetap mencolok.

Beberapa siswa Satropa yang baru keluar dari gedung musik berhenti di tempat, menatap tak percaya.

“Eh… itu Vio?” bisik salah satu siswi dengan suara tercekat.

“Gila, penampilan dia berubah banget…” sahut yang lain, matanya tak lepas dari sosok yang baru turun dari motor sport putih itu.

Zea menatap lurus ke arah gedung utama tanpa menunjukkan reaksi. Tatapannya dingin, fokus—nyaris tak ada yang bisa menebak apa yang ia rasakan.

Dua siswi senior dari tim teater, Kania dan Raya, yang baru keluar dari aula latihan, ikut menoleh saat mendengar bisik-bisik itu.

“Ya ampun, itu Vio kan?” seru Kania yang dulu cukup akrab dengannya. “Samperin, yuk!” katanya sambil menarik tangan Raya.

“Tunggu...! Lo liat gak sih, aura Vio kayak beda sekarang?” bisik Raya, matanya tak lepas memperhatikan langkah tenang gadis itu.

Beberapa detik kemudian, tatapan mereka bertemu.

Mata Zea menangkap dua sosok itu—Raya dan Kania. Namun keduanya justru tersentak kecil melihat tatapan Zea. datar, nyaris tanpa emosi.

Dulu, Zea dikenal ramah, lembut, selalu menebar senyum bahkan pada orang asing sekalipun.

Sekarang, yang mereka lihat hanyalah seorang gadis dengan aura dingin dan penuh jarak, tapi tak bisa diabaikan.

“Vio…” panggil Kania pelan.

Zea hanya melirik sekilas—tatapannya tajam, bukan marah, tapi auranya tegas. Ia mengangguk singkat, sopan namun berjarak, lalu melanjutkan langkah tanpa sepatah kata pun.

Kania dan Raya hanya terdiam.

“Gila, aura dia mendominasi banget, sekarang.” gumam Raya.

“He'em. Menurut lo, apa yang udah terjadi sama dia? Kenapa dia jadi berubah se-drastis itu.

“Gue juga gak tau. Bahkan dia pindah sekolah setelah balik dari olimpiade di Jepang waktu itu. Dan katanya… dia udah putus dari Rafka.”

“Apa mungkin karena ada masalah ya di antara mereka? Gue juga liat akhir-akhir ini Rafka lebih sering bareng sama Friska."

"Lah, dari dulu kali. Mereka kan sama-sama anggota OSIS. Tapi emang sih sekarang hubungan mereka kayak lebih dekat gitu."

"Apa mungkin..."

"Udah ah. Itukan urusan mereka, kita cuma penonton yang gak tau apa-apa."

Bisik-bisik itu masih terdengar jelas di telinga Zea.

Namun ia memilih untuk tuli—melangkah mantap mengabaikan semuanya.

Suara langkah sepatunya bergema lembut di lantai marmer, beriringan dengan suara motor lain yang mulai meninggalkan area parkir. Semua mata menatapnya—antara kagum, canggung, dan penasaran.

Ia melangkah lurus menuju auditorium utama Satropa Academy, tempat rapat antar sekolah tengah berlangsung.

Di bawah langit sore yang perlahan gelap, bayangan Zea memanjang di lantai kaca gedung megah itu.

Aura percaya diri dan misterius terpancar dari setiap gerakannya.

Dan bagi siapa pun yang pernah mengenalnya dulu—

gadis itu bukan lagi Viora yang mereka ingat.

Kini, ia tampak seperti seseorang yang kembali…

bukan untuk bernostalgia, tapi untuk menunjukkan versi barunya.

......................

AUDITORIUM SATROPA ACADEMY

Cahaya lampu kristal di langit-langit auditorium menyinari ruangan besar itu dengan pantulan lembut keemasan.

Barisan kursi tersusun rapi, sebagian besar sudah terisi oleh panitia dari sekolah-sekolah elit yang berpartisipasi dalam Cultural Gala gabungan tahun ini.

Suasana terasa serius namun elegan—aroma parfum mahal dan suara kertas yang dibolak-balik menjadi latar dari rapat penting itu.

Di sisi kiri, tampak deretan panitia dari Starlight School, duduk dengan berkas masing-masing.

Agler duduk di kursi paling depan, mengenakan kaus putih yang dilapisi kemeja panjang berwarna hitam—kancing depannya terbuka, lengannya digulung hingga siku.

Di sebelahnya duduk Gavin dan Arvin, dua rekan dekatnya di divisi acara, sedang meninjau rundown.

Tak jauh dari sana ada Rama dari dekorasi, Kayla dari konsumsi, dan Taya dari dokumentasi.

Namun satu kursi di barisan depan masih kosong.

Kursi dengan label kecil bertuliskan, “Zea — Ketua Divisi Publikasi.”

Jam dinding menunjukkan pukul 17.18.

“Ketua publikasi belum datang?” tanya salah satu panitia Satropa dengan nada heran.

Agler hanya melirik sekilas ke arah pintu. “Udah,” jawabnya pendek. “Cuma belum kelihatan.”

Dan seolah menunggu aba-aba—pintu auditorium terbuka perlahan.

Langkah sepasang sepatu kets putih terdengar jelas di antara riuh kecil percakapan panitia. Beberapa kepala langsung menoleh.

Viora Zealodie Walker.

Atau di daftar panitia Starlight — Zea.

Ia masuk dengan langkah mantap, udara di ruangan seolah berubah. Cahaya lampu gantung memantul di jaket kulit hitamnya, menciptakan kilau lembut di permukaannya. Rambutnya yang dicepol asal menambah kesan cuek, namun karismatik.

Hening singkat menyelimuti ruangan.

Beberapa perwakilan sekolah lain sempat saling berbisik pelan—mengagumi penampilannya yang santai, tapi menarik perhatian.

Zea berjalan ke barisan depan dengan pandangan tenang, lalu berhenti di sisi meja Starlight.

Ia menunduk sedikit, suaranya datar tapi jelas.

“Maaf, gue datang agak telat. Ada urusan di sekolah yang baru kelar.”

Nada suaranya profesional—tenang, tak tergesa, tak merendah.

Agler menoleh dari tempat duduknya, menatap sejenak. Tatapannya tajam seperti biasa.

Ia menarik kursi di sebelahnya dan memberi isyarat halus lewat matanya, seolah berkata, “Duduk di sini.”

Zea menurut tanpa banyak bicara dan duduk di tempat yang disediakan.

Agler sedikit mencondongkan tubuh, berbisik pelan,

“Lain kali, jangan mepet waktu.”

Nada suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup tegas untuk membuat Zea melirik dan mengangguk singkat.

Namun interaksi singkat itu tak luput dari perhatian seseorang di seberang ruangan.

Di meja utama Satropa, seorang pemuda menegakkan duduknya. Wajahnya tegas, rahangnya kuat, mata cokelat gelapnya sempat membulat saat melihat sosok yang baru datang.

Rafka — Ketua Divisi Acara dari Satropa Academy.

Di sampingnya, Friska, gadis berambut pirang madu dengan senyum tipis yang masih sama seperti dulu, juga menatap ke arah yang sama. Ekspresinya sulit diartikan.

Pandangan Rafka dan Zea akhirnya bertemu.

Dan lagi—waktu seolah berhenti.

Tak ada kata yang keluar, tapi tatapan itu berbicara banyak. Terlalu banyak.

Ada kenangan di sana. Tawa, janji, dan sesuatu yang dulu disebut cinta. Namun kini, yang tersisa hanya gema dari pengkhianatan yang pernah terjadi.

Zea menatap lurus tanpa emosi. Tapi di balik ketenangan itu, dadanya terasa sesak.

Semua rasa yang selama ini ia kubur—luka, kecewa, amarah—berdesakan naik ke permukaan hanya karena satu tatapan dingin nan teduh itu.

Dengan cepat ia berpaling dan fokus pada berkas di hadapannya sebelum pertahanan nya goyah.

Rafka, di sisi lain, menggenggam pena terlalu erat hingga buku di tangannya sedikit tertekuk.

Ia ingin melempar senyum, tapi bibirnya terasa kaku.

Tatapan Zea kini begitu asing—dingin, menusuk, seolah menuntut atas semua yang terjadi.

Friska melirik keduanya bergantian, lalu mencoba mengalihkan perhatian.

“Raf, nanti lo bantu arahin gue ya buat nyiapin peralatan acara?”

“Heum,” jawab Rafka singkat, tanpa benar-benar fokus.

Tatapannya kembali tertuju pada Zea yang duduk tenang, matanya menatap layar besar di panggung utama bertuliskan:

“Cultural Gala 2025 — Cross-School Coordination Briefing.”

Wajahnya tetap datar, tapi di balik ekspresi itu, hatinya bergemuruh. Ia bisa merasakan tatapan Rafka di setiap gerakannya, namun ia menolak untuk menoleh lagi.

Ia ingin membuktikan bahwa dia bukan lagi gadis yang mudah rapuh karena cinta.

Kini, ia adalah seseorang yang datang bukan untuk mengingat, tapi untuk membuktikan bahwa ia telah berubah.

Dan di antara semua pasang mata yang memperhatikannya sore itu—hanya ada satu-satunya orang yang benar-benar tahu, betapa dingin dan dalam luka di balik sorot matanya.

...****************...

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!