Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Pagi itu di meja makan
Pagi itu di meja makan keluarga Malik tampak tertata rapi. Sepiring nasi hangat, sup bening, dan beberapa lauk khas kesukaan keluarga tersaji di atas meja. Hansel duduk dengan rapi di kursinya, sementara Laudya, meski wajahnya nampak kesal, berusaha tersenyum dan menyendokkan makanan ke piring suaminya. Hana pun hadir, duduk di sisi lain meja, ditemani Jamilah yang membantu pelayan mengatur hidangan.
Namun, ada satu hal yang berbeda, Hana tak menyentuh sedikit pun makanan di depannya. Tangannya hanya memainkan sendok, tatapannya kosong, bahkan sekilas menahan mual.
“Hana,” suara Hansel akhirnya memecah keheningan, nadanya tenang namun tegas. “Kenapa tidak makan? Kamu butuh tenaga ... jangan abaikan dirimu.”
Hana mengangkat wajahnya, menatap Hansel sejenak, lalu menunduk lagi. Suara lirihnya keluar begitu saja, tanpa ia pikirkan.
“Entahlah … rasanya aku ingin di ... disuapi sama Tuan,"
Kalimat itu meluncur polos, membuat suasana meja makan seketika menegang. Jamilah menoleh dengan cemas, sementara Hansel terdiam, mencoba mencerna. Laudya yang duduk berhadapan langsung menatap tajam ke arah Hana. Senyum tipisnya menghilang, diganti raut wajah getir.
“Hana, jangan berlebihan, itu terlalu … manja,” ucapnya dingin, nada suaranya mengandung ketersinggungan. Hana terdiam, namun matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menahan diri, tapi akhirnya membalas dengan suara bergetar.
“Ini bukan kemauanku, Nyonya. Mungkin … mungkin ini permintaan bayi.”
Hansel spontan menoleh ke arah Hana, ekspresinya melembut. “Mungkin dia mengidam, Sayang.” ucap Hansel, sembari memegang tangan Laudya.
Hansel lalu mendorong kursinya sedikit, lalu menambahkan dengan tegas, “Kalau benar begitu, aku akan usahakan. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani, Hana. Anggap saja ini bagian dari peranku sebagai ayah bayi itu.”
Kata-kata Hansel membuat suasana semakin panas. Laudya meremas sendok di tangannya begitu erat hingga hampir menimbulkan suara berderit. Bibirnya tersungging senyum getir.
“Jadi sekarang aku harus duduk di sini, mendengar suamiku begitu manis kepada wanita lain? Bahkan untuk hal sepele sekalipun?” katanya ketus, sebelum menaruh sendok dengan bunyi yang cukup keras di atas piring.
Hansel hendak berbicara, tapi Laudya sudah bangkit.
“Aku tidak bisa sarapan dengan cara begini.”
Laudya meraih tas tangannya, melangkah cepat keluar ruangan. Beberapa detik kemudian, suara pintu depan terdengar keras tertutup, disusul deru mobil yang meninggalkan halaman rumah. Keheningan kembali menyelimuti meja makan. Hana menunduk, perasaan bersalah menggelayuti hatinya. Jamilah yang berdiri di samping hanya bisa menghela napas panjang.
Hansel masih terdiam, tapi sorot matanya jelas menunjukkan kegelisahan. Ia menatap sisa makanan di piring Hana, lalu beralih ke wajahnya yang pucat.
“Apa yang kamu mau, Hana? Katakan saja ... aku akan berusaha memenuhi semua kebutuhan kamu selama hamil,"
Hana menatapnya sebentar, lalu menunduk lagi. “Aku tidak ingin menyusahkan…”
Hansel menggeleng pelan, memotong ucapannya.
“Kamu tidak menyusahkanku. Kamu tengah mengandung ... Itu kewajibanku untuk menjagamu.”
Suara Hansel dalam, tegas, namun di baliknya ada sesuatu yang Hana tangkap, perhatian yang tak pernah ia bayangkan akan keluar dari mulut pria itu. Begitu keduanya selesai sarapan, Hansel pun pergi meninggalkan meja makan.
Hansel keluar dari rumah dengan langkah lebar. Ada keresahan yang mengganjal di hatinya, bukan semata karena Hana yang tiba-tiba ngidam, melainkan juga karena wajah Laudya tadi pagi getir, dingin, menyimpan luka yang tak ia ucapkan.
Sebelum mencari mangga muda, Hansel memutuskan untuk singgah ke kantor tempat istrinya bekerja. Mobil hitamnya berhenti di depan gedung tinggi itu. Dengan langkah tergesa, ia masuk, menanyakan keberadaan Laudya pada resepsionis, dan segera menuju lantai yang dituju.
Begitu pintu ruangan terbuka, pandangan Hansel langsung tertumbuk pada sosok istrinya. Laudya berdiri di depan meja kerjanya, wajahnya sedikit sembab. Ada kilatan air di sudut matanya. Di hadapannya berdiri Rian, manajer sekaligus sahabat kerjanya sejak lama.
Hansel berhenti di ambang pintu. Jantungnya berdetak kencang ketika melihat Rian menepuk pundak istrinya, lalu tanpa sengaja merengkuhnya dalam pelukan singkat, sebuah gestur penguatan, namun di mata Hansel terasa menusuk.
Tangannya otomatis terkepal, rahangnya mengeras. Api kecil bernama cemburu menyala di dadanya, perasaan yang tak pernah ia kira akan muncul.
“Laudya...” Suara beratnya terdengar jelas, memecah momen itu.
Laudya tersentak, buru-buru melepaskan diri dari pelukan Rian. Dia mengusap cepat matanya, lalu menoleh pada suaminya yang berdiri di sana. Rian pun salah tingkah, hanya mengangguk singkat pada Hansel sebelum segera melangkah keluar ruangan tanpa berkata sepatah kata pun. Kini hanya tersisa Hansel dan Laudya. Suasana hening, namun sarat ketegangan.
Hansel melangkah mendekat, suaranya rendah, menahan emosi yang bergejolak.
“Maafkan aku … bukan maksudku membuatmu seperti ini. Aku hanya … aku hanya sedang belajar, Laudya. Belajar menjadi ayah yang baik.”
Laudya menatap suaminya, matanya masih memerah. “Aku tahu, tapi tetap saja, Hansel. Rasanya sakit, meski aku yang menyetujui semua ini.”
Hansel mendekat lebih jauh, jemarinya perlahan menggenggam tangan istrinya. Ia menatapnya lama, dalam, seakan ingin menegaskan sesuatu yang sulit diucapkan dengan kata-kata.
“Bayi itu milik kita. Apa pun yang kulakukan … itu semata-mata karena aku selalu merasa kau yang mengandungnya, bukan Hana. Jangan cemas ... dari dulu aku sudah katakan jangan pernah memikirkan ide gila ini. Karena, kita berdua tidak akan bisa melewatinya dengan mudah,"
Laudya terdiam, ada luka, ada getir, tapi juga ada secercah kehangatan saat Hansel mendekat dan mengecup keningnya dengan lembut.
“Ayo,” ucap Hansel pelan. “Temani aku membeli mangga muda untuk Hana … dia ngidam, dan itu jelas permintaan bayi kita, Sayang. Jadi sebagai orang tua baik kita harus memenuhi keinginan bayi kita bukan?" Hansel tersenyum, Laudya menunduk, menahan perasaannya yang campur aduk. Dia tahu cintanya besar pada Hansel, ia pun tahu Hansel berusaha keras menyeimbangkan hatinya. Dan meski getir itu masih terasa, Laudya akhirnya mengangguk kecil dan tersenyum pada suaminya.
Sementara itu, di kediaman Hansel.
Setelah mendapatkan kabar kehamilan Hana, Rohana bersama dengan suaminya langsung datang berkunjung ke kediaman Hansel.
“Ini untukmu, Hana,” ucap Rohana hangat, sambil meraih tangan menantu sirinya itu. “Kamu harus jaga kondisi bayi ini bukan hanya penerus keluarga Hansel, tapi juga cucu pertamaku. Jangan sungkan, kalau butuh apa-apa langsung bilang padaku.”
Hana sempat tertegun, tangannya gemetar ketika menerima hadiah-hadiah itu. Sementara Jamilah yang berdiri tak jauh hanya bisa menatap dengan tatapan kosong, ada rasa getir melihat betapa perhatian Rohana pada putrinya, bukan karena tulus sepenuhnya, melainkan karena bayi yang dikandung Hana.
Menjelang malam, setelah Rohana dan Malik pamit pulang, rumah kembali sunyi. Hana memilih duduk di ruang tamu, majalah ibu hamil yang diberikan Rohana masih di tangannya. Matanya menelusuri halaman demi halaman dengan tatapan kosong. Sesungguhnya ia hanya berpura-pura membaca, pikirannya jauh melayang.
Beberapa kali ia menoleh ke arah pintu, menunggu suara mobil Hansel. Entah mengapa, hatinya berdebar tiap kali membayangkan sosok pria itu pulang dan menyapanya. Namun suara mesin yang terdengar justru lebih cepat dari perkiraannya. Hana segera bangkit berdiri, berharap Hansel telah tiba. Senyum samar hampir muncul di wajahnya. Tapi saat pintu terbuka, sosok yang muncul bukanlah Hansel melainkan Laudya.
Wanita anggun itu masuk dengan langkah tenang, matanya langsung menangkap Hana yang berdiri di ruang tamu dengan majalah di tangan. Ada jeda singkat sebelum bibirnya melontarkan kata-kata dingin.
“Ada apa? Kau menunggu Hansel pulang?” suaranya terdengar datar, namun menyiratkan sesuatu yang menusuk. Hana terdiam, tangannya meremas majalah itu lebih erat.
Laudya melangkah lebih dekat, sorot matanya tajam, meletakkan mangga muda yang dia belikan tadi di atas meja sofa.
“Kau tidak perlu melakukan itu. Aku, istri sahnya, masih mampu merawat suamiku dengan baik. Fokuslah pada bayi itu, jangan berpikir berlebihan … apalagi jatuh cinta pada suamiku.”
Hana menunduk, menahan gejolak dalam dadanya. Kata-kata itu menusuk tepat ke hatinya, menyingkap kenyataan yang selama ini berusaha ia tutupi. Tanpa menunggu jawaban, Laudya berbalik. Tumit sepatunya mengetuk lantai, lalu langkahnya terdengar menaiki tangga menuju lantai dua. Tinggal Hana yang berdiri terpaku, dadanya sesak.
Majalah di tangannya jatuh ke meja, halaman-halamannya terbuka, menampilkan gambar seorang ibu tersenyum sambil mengelus perutnya. Hana menatap kosong gambar itu, lalu menutup matanya rapat. Tidak ada air mata tetapi hanya ada rasa sesak di dada, kedua tangannya terkepal.
'Aku tidak akan membiarkan orang lain menghina ku sejauh ini. Aku berjanji, aku akan membalas semua hinaan ini, kalau memang aku jatuh cinta pada Tuan Hansel, memangnya kenapa? Dia suamiku ... dia ayah dari anakku ... aku ibunya, bukan Nyonya Laudya,' gumam Hana dalam hati sembari melirik ke arah anak tangga di mana Laudya berada.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊