Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Di tangga gedung lomba, Chesna masih mengusap keringat dari dahi Lila. Gadis kecil itu bersandar lemah di bahunya.
“Tenang ya, Lila. Sebentar lagi pasti ada yang datang cari kamu,” bisik Chesna lembut.
Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar. Seorang pria berjas rapi muncul di
ujung lorong. Tatapannya tajam, penuh khawatir. “Lila!” panggilnya.
Lila segera menoleh, wajah pucatnya berseri. “Papa!” serunya lirih.
Miko bergegas menghampiri, lalu berlutut. Dengan lembut ia meraih tubuh kecil putrinya, memeriksa keningnya, lalu merengkuh dalam pelukan.
“Kau demam… kenapa sendirian begini?” suaranya terdengar campuran cemas dan penyesalan.
Chesna tertegun. Di depan matanya, seorang ayah memeluk anaknya dengan penuh kasih. Tangannya besar, kuat, tapi gerakannya hati-hati seolah takut menyakiti.
Lila menunjuk pada Chesna dengan senyum lemah. “Papa… kakak ini yang nolongin Lila…”
Miko menoleh ke arah Chesna. Untuk sesaat, tatapannya tajam seperti menimbang sesuatu. Tapi perlahan, wajahnya melunak.
“Terima kasih… sudah menolong putriku,” katanya singkat, tapi tulus.
Chesna hanya mengangguk, gugup.
“T-tidak apa-apa, Om. Aku senang bisa nolong.”
Miko mengangguk setelah mengingat Chesna adalah anak yang pernah bertemu dengan Lila di taman waktu itu.
Lila menggenggam tangan Chesna erat. “Papa… boleh nggak, kakak ikut sama kita dulu?
Lila pengen ditemenin. Nanti Papa bisa antar kakak pulang.”
Chesna menatap ragu. Hatinya terhanyut dalam dilema, takut salah langkah, tapi sulit menolak tatapan memohon dari Lila. Ia menunduk, teringat wajah ayah tirinya dulu yang sering membentak, menampar, bahkan melempar barang hanya karena hal kecil. Betapa jauhnya perbedaan pria itu dengan sosok ayah di depannya sekarang.
Akhirnya, Chesna mengangguk pelan. “Iya… aku ikut.”
Lila tersenyum bahagia, lalu memeluk Chesna erat sambil berkata, “Kakak sangat baik.”
Miko diam sesaat, menatap kedua anak itu, putrinya sendiri yang ringkih dan anak lain yang penuh empati. Ada sesuatu di balik tatapan itu, sesuatu yang belum bisa ia pahami.
Namun bagi Chesna, momen itu begitu berarti. Untuk pertama kalinya, ia melihat langsung seperti apa seharusnya kasih seorang ayah. Dadanya hangat sekaligus perih. Andai saja… aku juga punya ayah seperti ini.
Mobil hitam mewah itu melaju pelan keluar dari area lomba. Alan masih berada di dalam gedung, bersama guru dan panitia, sementara Chesna kini duduk di kursi belakang bersama Lila.
Lila, meski masih terlihat lemah, tampak nyaman bersandar di bahu Chesna. Gadis kecil itu tersenyum tipis. “Kak… kamu enak banget kalau jadi sandaran. Hangat.”
Chesna terkekeh kecil. “Hehe… masa sih? Aku kan cuma anak kecil juga”
Dari kursi depan, Miko yang menyetir melirik melalui kaca spion. Matanya sekilas menangkap wajah Chesna yang menunduk, menyembunyikan perasaan.
“Chesna,” gumam Miko, seakan menguji bunyi nama itu di lidahnya. “Kamu sekolah dimana?”
“SD Nusantara, Om… kelas 4.” jawabnya pelan.
Miko mengangguk kecil. Ada jeda hening sebelum ia bertanya lagi, “Kamu tinggal sama siapa?”
“Tinggal sama Mama… dan Kakak, Om.”
“Papamu?” tanya Miko, masih dengan nada datar.
Chesna terdiam beberapa detik, lalu menggeleng. “Papa udah nggak ada. Dulu aku punya papa tiri, Om, tapi sudah pisah sama mama, karna papanya nggak baik.”
"Nggak baik gimana?”
Chesna menggigit bibir. Dengan ragu menjawab, “Dia sering marah-marah… suka mukul mama… kadang juga pukul aku dan kakak. Jadi… sekarang aku cuma sama Mama dan Kakak.”
Lila tampak murung, lalu tiba-tiba memeluk Chesna erat.
“Kakak main aja sama aku, ya! Aku bakal baik ke Kakak. Papaku juga baik, kok.”
Chesna terperanjat, lalu tersenyum samar. “Terima kasih, Lila…” suaranya lirih, nyaris pecah.
Miko di depan tak bersuara. Namun, genggamannya pada setir mengeras. Sesuatu dalam hatinya bergejolak, melihat interaksi polos antara putrinya dan anak asing itu. Ada perasaan tak nyaman, campuran iba dan… tanda tanya.
Lila kembali bersuara, matanya berbinar. “papa, boleh kan kapan-kapan Kakak Chesna main ke rumah kita? Aku suka sama Kakak ini.”
Miko menoleh singkat lewat kaca spion. Tatapannya bertemu dengan mata Chesna. Sekejap saja, tapi cukup membuat gadis kecil itu merasa jantungnya berdebar, ada sesuatu yang menakutkan sekaligus… membuatnya ingin dihargai.
Miko menarik napas panjang, lalu menghela perlahan. “Kita lihat nanti,” jawabnya singkat.
Suasana hening kembali mengisi mobil. Kini hanya ada Chesna dan Miko, setelah Lila dipulangkan ke pengasuhnya.
Namun di hati Chesna, suasana itu berkecamuk. Duduk di samping seorang ayah yang begitu sabar dan penuh kasih pada anaknya membuat hatinya getir. Kenapa aku nggak pernah merasakan ini dari papaku dulu?
___
Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah sederhana. Lampu teras menyala temaram, memberi kesan hangat. Miko menoleh sebentar ke samping, “Sudah sampai. Ini rumahmu, kan?”
Chesna mengangguk, sedikit ragu melepas sabuk pengaman “Iya, Om… tapi tinggalnya di
dalam sana yang ini pemilik rumah kami.” jelasnya sambil menunjuk gang setapak yang tampak gelap, tak lupa mengucapkan terima kasih sudah diantar pulang.
Miko menatap gadis itu sejenak. Ada sesuatu pada sorot matanya, cerah, tapi menyimpan luka dalam. Ia membuka suara lagi. “Chesna, lain kali hati-hati kalau ikut ke keramaian. Jangan suka menjauh sendiri.”
Chesna tersenyum tipis, “Iya, Om. Tapi kalau aku nggak menjauh tadi, aku nggak akan bertemu Lila, kan,”
Ucapan itu membuat Miko hening sejenak. Ada benarnya. Namun ia memilih tidak terlalu larut.
“Kalau begitu, anggap saja hari ini keberuntunganmu. Kau menolong Lila, dan aku berhutang padamu.”
Mata Chesna berbinar, lalu ia memberanikan diri. “Om… Lila beruntung punya Ayah seperti Om. Aku senang lihat kalian.”
Kata-kata polos itu membuat dada Miko terasa sesak aneh. Ia tidak biasa dipuji dengan cara yang begitu tulus. Miko menunduk, suaranya agak berat “Tidurlah yang cukup malam ini. Anak baik sepertimu harus jaga kesehatan.”
Chesna tersenyum hangat, lalu turun dari mobil. Sebelum pintu tertutup, ia menoleh sekali lagi. “Semoga bisa ketemu Lila lagi, Om.”
Miko hanya mengangguk. Saat mobil melaju pergi, bayangan wajah Chesna terus mengusik pikirannya. Kenapa anak itu terasa begitu… dekat? batinnya.
___
Pintu rumah berderit pelan saat Chesna masuk. Rania yang sedang menyiapkan makan malam langsung menoleh.
“Chesna? Kamu baru pulang? Sudah sore begini… Mama khawatir.”
Chesna buru-buru menaruh tasnya dan mendekat. Senyum manisnya berusaha menenangkan sang ibu.
“Maaf, Ma. Aku tadi nolongin temen yang sakit… terus Om yang baik hati itu papanya, nawarin nganterin pulang.”
Rania mengernyit. “Om? Om siapa?”
Chesna menatap ibunya dengan polos, lalu menjawab pelan. “Om yang papanya Lila. Lila temen baru aku, Ma.”
Rania membelai kepala putrinya, memang sedikit tidak setuju jika putrinya asal akrab dengan orang asing. “Sayang, lain kali jangan sembarangan ikut orang. Meskipun dia kelihatan baik, kamu harus tetap hati-hati.”
“Tapi, Ma… Om-nya baik. Chesna senang kalau seandainya aja punya papa seperti itu.”
Rania terdiam. Hatinya berperang. Ia tahu, putrinya masih menyimpan luka untuk pengalaman pertamanya memiliki seorang ayah seperti Fendi. “Meskipun begitu, kamu harus tetap hati-hati ya sayang.”
Miko duduk di ruang kerjanya. Lampu meja menerangi berkas-berkas yang terbuka, tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana. Pena di tangannya berhenti bergerak, hanya mengetuk-ngetuk meja tanpa arah. Bayangan wajah seorang anak kecil kembali muncul dalam ingatannya. Sorot mata bening, ucapan polos yang menusuk dada. Miko merasa geram pada dirinya sendiri. “Kenapa anak itu… terus muncul di kepalaku?”
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit-langit. Biasanya ia sangat cepat melupakan orang asing, apalagi hanya anak kecil. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu pada Chesna yang sulit dijelaskan.
Miko mengerutkan kening, dada terasa sesak. Ada luka lama yang terkuak, ada rasa asing yang justru membuatnya marah pada diri sendiri. Miko berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Tangannya mengepal. Ada ganjalan yang bahkan ia sendiri tidak bisa sebut. Miko berkata dengan lirih dan nyaris terdengar putus asa “Kenapa… aku merasa seperti mengenalnya?”
Di luar kamar, suara batuk kecil terdengar. Itu suara Lila. Miko segera bergegas
menghampiri putrinya.
—