Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Udara malam di kota itu terasa lebih berat dari biasanya. Jalanan masih dipenuhi cahaya lampu neon yang berkelap-kelip, suara bising kendaraan, dan aroma bensin yang menusuk. Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada dua sosok yang melaju dengan tujuan yang sama—meski dengan jalan berbeda.
Dominic memacu Harley Davidson hitamnya seolah sedang membelah malam. Tangannya menggenggam erat setang, sementara layar ponselnya di dashboard motor terus berkedip, menampilkan stiker wajah Elanor yang tersenyum. Senyum itu, yang dulu selalu jadi penghibur, kini berubah jadi hantaman di dadanya. Setiap kedipan terasa seperti ejekan, pengingat betapa dia telah gagal menjaga adiknya.
“El… gue pasti akan membawa lo pulang…” desisnya, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin.
Rasa sakit di tubuhnya akibat kecelakaan tadi sudah tak terasa lagi. Yang tersisa hanyalah amarah yang membakar dan ketakutan yang ia tolak.
Di sisi lain kota, Nissan GT-R berwarna hitam melaju tanpa suara, mesinnya mendengung halus namun bertenaga. Di balik kemudi, Rafael duduk tegak, wajahnya tenang namun penuh perhitungan. Jemarinya sesekali mengetuk setir, matanya tak pernah lepas dari proyeksi merah yang berkedip di jam tangannya.
Sebuah panggilan masuk. Rafael menekan tombol kecil di dasbor, dan suara berat menyelinap ke dalam kabin mobil.
“Ini, Tuan. Tentang informasi pemilik plat nomor sedan yang Anda kejar tadi. Dan… ini adalah kolega-koleganya.”
Sambungan terputus tanpa aba-aba. Kacamata hitam Rafael segera memproyeksikan data wajah-wajah yang terlibat. Satu per satu profil muncul, dengan riwayat, jaringan, dan foto mereka. Tapi ketika satu wajah terpampang jelas, dunia Rafael seakan berhenti.
Cassandra Cromwell.
Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Nafasnya tertahan, namun tangannya justru semakin menekan pedal gas. Mobil itu meraung keras, melesat bagai kilat di jalanan kosong.
“Jadi semua ini… permainanmu.” Suaranya dingin, hampir seperti bisikan maut.
Rafael menepikan mobilnya tepat di bawah bayangan bukit yang gelap. Gudang besar itu berdiri angker di kejauhan, jendelanya pecah, beberapa dinding bolong, dan atapnya berkarat dimakan waktu. Dari kejauhan saja, bangunan itu seperti luka terbuka di tengah kota yang sudah melupakannya. Namun bagi Rafael, itu bukan sekadar bangunan mati, tapi tempat itu adalah sarang musuh.
Ia membuka pintu mobil dengan gerakan cepat, mengambil koper hitam dari kursi belakang. Langkahnya mantap ketika ia mulai menaiki lereng bukit, membiarkan kegelapan malam menelan siluet tubuhnya.
Sampai di pertengahan bukit, Rafael berhenti. Dari titik itu, gudang terlihat jelas. Pintu depannya terkatup rapat, meski sebagian dindingnya hancur. Ia membuka koper di tanah, jari-jarinya bekerja cekatan merangkai bagian-bagian senjata panjang itu. Bunyi klik dan gesekan logam saling bertaut, membentuk senjata yang bisa mengubah jalannya malam dalam satu tarikan pelatuk.
Namun sebelum ia sempat menyempurnakan rakitan, suara lain menyelinap ke telinganya. Raungan mesin motor, keras, liar, dan semakin dekat. Rafael spontan menoleh, wajahnya menegang. Ia menurunkan kacamata hitam berteknologi tinggi, mengaktifkan fitur zoom, dan matanya membelalak.
Dominic.
Pria itu melesat dengan Harley Davidson hitamnya, menghantam sunyi malam dengan kecepatan tanpa ragu. Rafael mendecak pelan, nyaris tak percaya dengan keberanian bodoh itu.
“Bocah gila itu…” gumamnya.
Ia segera menyelesaikan rangkaian sniper, lalu merunduk, tubuhnya tiarap di atas tanah dingin. Scope senjata itu kini jadi matanya, membidik setiap gerakan Dominic di bawah sana.
Dominic menghentikan motornya dengan kasar, hampir membiarkannya jatuh. Tubuhnya yang penuh luka masih dipaksa bergerak. Tanpa pikir panjang, dia langsung berlari ke arah gudang, suaranya pecah menembus malam.
“ELANOOOR!!”
Dominic baru saja sempat mengatur nafas ketika tiba-tiba— SRAAK!
Empat lampu sorot menyala serentak dari berbagai arah, menyilaukan pandangan matanya. Dari depan, kiri, kanan, bahkan dari atas—membuat tubuhnya terkunci dalam cahaya putih menyakitkan. Refleks, Dominic menegakkan tubuhnya, kedua tinju terangkat, siap melawan apa pun yang muncul dari kegelapan.
Dari bukit, Rafael yang sudah tiarap ikut terperanjat. Ia segera menggeser scope Barret M82 miliknya, jari menekan tombol kecil di sampingnya—mode thermal vision aktif. Dunia di balik lensa berubah menjadi siluet panas berwarna. Dan di sana, terlihat jelas… puluhan tubuh manusia. Dua puluh, tepatnya. Dua puluh musuh bersenjata, mengelilingi Dominic dari segala sisi.
“Gila… bocah itu masuk ke sarang serigala,” Rafael mendesis pelan, napasnya memburu, tapi matanya tetap dingin.
Sementara itu, di bawah sorotan lampu, sebuah suara muncul. Tepuk tangan, tenang tapi menekan. Plak… plak… plak. Dari balik kerumunan, melangkah seorang pria dengan jas hitam lusuh, wajahnya separuh diterangi lampu sorot. Senyum sinis mengembang di bibirnya.
“Wah, wah, wah…” suaranya terdengar mengejek. “Bukankah ini Dominic Cromwell?”
Dominic menatapnya tajam, darah di tubuhnya masih mengalir, namun api di matanya lebih menyala daripada rasa sakit.
“DIMANA ELANOR, KEPARAT?!!” suaranya meledak, bergema bersama detak jantungnya.
Pria itu terkekeh. “Oho… tenang, anak muda. Adikmu tidak ada di sini.” Dia mendekat, matanya menyipit. “Mungkin… dia sudah mati?”
Nada itu seperti cambuk di telinga Dominic. Urat-urat lehernya menegang, tinjunya terkepal keras. “Kalau lo sentuh Elanor—”
“Terlambat.” Pria itu memotong, nada mengejek tak lepas dari bibirnya. Ia mengangkat satu tangan ke udara, bersiap memberi aba-aba. “Sekarang giliranmu—”
DOORRRR!
Sebuah ledakan tembakan mengguncang udara. Suara keras itu berasal dari bukit. Dalam sepersekian detik, kepala pria itu meledak, menghantam tanah dengan darah muncrat liar.
“Apa—?!!”
Anak buahnya seketika panik, berteriak, dan berhamburan mencari perlindungan. Senjata mereka terangkat, peluru mulai dimuntahkan membabi buta.
BRAK BRAK BRAK!
Tembakan menghujani Dominic dari berbagai arah. Dominic terperanjat, tubuhnya langsung berlari ke arah deretan kontainer tua dan menjatuhkan diri di baliknya. Jantungnya berpacu, suara peluru menghantam besi membuat kupingnya berdenging.
Sementara itu di atas bukit, Rafael tetap dingin. Jari telunjuknya masih berada di pelatuk, mata menempel pada scope, mengawasi setiap gerakan.
Di balik kontainer, Dominic meraih ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Layar menyala—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
> “Tetap berlindung. Jangan bergerak.”
Dominic menatap layar itu, napasnya tersengal. Dominic menutup ponselnya dengan tangan bergetar. Dentuman peluru masih berjatuhan, menghantam dinding kontainer tempat ia berlindung. Setiap kali suara logam beradu dengan timah panas, tubuhnya refleks merunduk makin rendah.
“Anjir… gue nggak bisa diem doang di sini!” Dominic menggeram, tinjunya menghantam kontainer sampai buku jarinya berdarah.
BZZZT.
Notifikasi kedua muncul di layar ponselnya.
“Kau maju, kau mati. Tetap diam dan jangan bergerak.”
Dominic mengatupkan rahangnya. “Lo siapa sebenernya…?” bisiknya pelan.
Dari atas bukit, Rafael sudah seperti mesin. Tatapannya datar, dingin, setiap gerakan presisi. Jari telunjuknya menekan pelatuk.
DOORRR!
Satu kepala prajurit meledak.
DOORRR!
Tembakan kedua menghantam tepat di dada seorang pria, tubuhnya terlempar ke belakang.
“Dua,” Rafael bergumam pelan, matanya tetap terfokus pada scope.
Musuh mulai kebingungan. “SNIPER! ADA SNIPER DI BUKIT!!” salah satu dari mereka berteriak histeris.
Langsung saja mereka membagi konsentrasi, sebagian tetap menembaki kontainer tempat Dominic bersembunyi, sebagian lagi mencoba membidik arah bukit. Namun, Rafael terlalu cepat.
DOORR!
Pria yang menunjuk ke bukit roboh dengan tengkorak berlubang.
Dominic di balik kontainer hanya bisa mendengar teriakan dan dentuman. Perlahan ia menyadari… ada seseorang di luar sana, membantai musuh-musuh itu satu per satu.
DORR! DORR! DORR!
Tiga tembakan beruntun. Tiga tubuh tumbang hampir bersamaan.
Rafael menarik nafas, mengganti magazine dengan gerakan cepat, lalu menempelkan kembali mata ke scope. Tatapannya menangkap sosok Dominic yang masih jongkok di balik kontainer.
“Apa kau cukup pintar untuk tetap diam, Dominic?” gumamnya dingin.
Di bawah, Dominic menahan diri sekuat tenaga. Keringat bercucuran, dadanya naik-turun keras. Rasa ingin melawan membakar dirinya, tapi di telinga terngiang jelas pesan di layar tadi.
BRAAK!
Kontainer tempatnya bersembunyi berguncang diterjang peluru. Dominic menutup mata, berbisik pelan.
“Elanor… tahan sebentar. Gue bakal dateng.”
Dalam hitungan menit, jumlah musuh yang tadi dua puluh kini mulai tersisa. Mayat bergelimpangan di sekitar gudang, darah mengalir, senjata terjatuh di tanah. Histeria memenuhi udara malam.
Namun tiba-tiba
DUARR!
Sebuah ledakan dari sisi kanan gudang memecah keheningan. Asap tebal mengepul, dan dari balik asap itu, beberapa pria berbadan besar muncul sambil menenteng senapan otomatis. Jumlah mereka jauh lebih banyak.
Rafael yang masih mengintai mengerutkan dahi. “Tambahan pasukan…” bisiknya dingin. Ia kembali mengincar, namun kali ini jumlah mereka terlalu banyak, bahkan untuk dirinya.
Di bawah, Dominic yang mendengar langkah kaki pasukan tambahan itu langsung terbelalak. “Sial… mereka makin banyak.”
Sekilas tatapan Rafael berubah tegang. Tangannya meraih earpiece kecil dari kantung jas anti pelurunya, lalu menempelkan di telinga. Suaranya tenang, tapi penuh tekanan.
“Unit dua, tiga, empat. Bergerak sekarang. Target: bersihkan area.”
Dan dari kejauhan, suara raungan mesin-mesin motor besar serta mobil SUV bersenjata mulai terdengar mendekat ke gudang…
Suara raungan mesin semakin mendekat. Dominic yang jongkok di balik kontainer spontan melongok sebentar, wajahnya terbelalak. Dari kejauhan, siluet motor gede berderet masuk ke area gudang, diikuti SUV hitam dengan lampu depan redup.
“Apaan lagi tuh…?” gumamnya, bingung sekaligus waspada.
Musuh pun ikut panik. “PASUKAN SIAPA ITU?!” teriak salah seorang dari mereka, menodongkan senapan ke arah suara mesin.
BRAAKK!
SUV pertama menghantam pagar besi gudang, memaksa jalan terbuka. Pintu belakang mobil terbuka, dan dari sana keluar sekelompok pria berpakaian hitam lengkap dengan helm taktis, rompi peluru, dan senjata otomatis dengan suppressor. Gerakan mereka cepat, teratur, seperti pasukan elit.
Dalam hitungan detik, suara pfft-pfft-pfft! terdengar, para musuh tumbang satu per satu sebelum sempat membalas tembakan.
Dominic bengong. “Anjrit… Kenapa gue kayak masuk film action begini?”
Dari atas bukit, Rafael tersenyum tipis, masih menempelkan mata ke scope. “Tepat waktu,” gumamnya. Dia meluncurkan satu tembakan lagi. DOORR! Kepala salah satu pemegang RPG pecah sebelum sempat menembakkan roketnya.
“Tidak ada ruang untuk kesalahan malam ini,” Rafael berbisik, lalu beralih target lagi dengan kecepatan mengerikan.
Dominic yang tadinya bingung, kini sadar… pasukan itu bukan musuh. Mereka bergerak sangat profesional, tak memberi celah pada lawan. Salah satu dari mereka bahkan sempat melirik ke arah Dominic, memberi isyarat dengan tangan: “Tetap di tempat.”
Dominic makin geregetan.
“Lo pikir gue bakal diem terus?!” gumamnya kesal. Tangan kanannya meraih besi panjang di samping kontainer. “Gue juga punya urusan di sini.”
Tapi sebelum ia sempat keluar, ponselnya kembali bergetar. Notifikasi baru:
“Jangan Kemana-mana bodoh. Kau mau jadi mayat berjalan?!.”
Dominic mendesis. “Sialan! Dia ngawasin gue dari mana sih?!”
Sementara itu, di dalam gudang, suasana berubah jadi neraka. Pasukan Rafael bergerak seperti bayangan, mengeksekusi lawan tanpa suara berlebihan. Hanya beberapa dentuman keras dari sniper Rafael yang menggelegar setiap kali ada target berbahaya.
Musuh makin terdesak, banyak yang lari mencari perlindungan. Namun, dari balik pintu besi besar gudang, suara langkah berat terdengar. DUG… DUG… DUG…
Dominic yang mendengarnya langsung menajamkan telinga. “Apaan lagi tuh?”
Pintu besi itu terbuka perlahan. Dari baliknya muncul sosok pria bertubuh besar, memakai masker hitam penuh dengan jaket lapis baja. Di tangannya tergenggam senapan mesin berat M249.
“OH FUCK—” Dominic refleks bergidik, baru sadar kalau senjata itu bisa meratakan area dalam hitungan detik.
Pasukan Rafael juga terhenti sejenak, menyadari ancaman baru.
Rafael yang memantau dari scope mengerutkan alis. “Target prioritas tinggi…” bisiknya, jari siap di pelatuk. Tapi begitu sosok itu mengangkat senjatanya dan..
DUUUUURRRRRRRRRRRRRRRR!!!
M249 menghujani peluru ke segala arah. Gudang berguncang, percikan api dan debu beterbangan.
Dominic tersungkur, menutup kepala dengan tangan. “GILAAA!!”
Rafael masih berusaha mencari celah. “Buka helmnya… kasih aku sudut bersih…” gumamnya, matanya tak lepas dari scope.
Dan di tengah kekacauan itu… suara dentuman pintu kecil dari sisi belakang gudang terbuka. Seseorang masuk dengan langkah pelan, wajahnya tersembunyi, hanya terlihat rambut panjang keemasan terurai berantakan.
Dominic yang sempat melirik ke arah pintu itu membelalakkan mata. Napasnya tercekat.
“…Elanor?!”
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭