 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Beberapa hari setelah pertemuan itu, hidup Aisy mulai terasa sedikit berbeda. Ada semangat baru yang tumbuh pelan-pelan di dalam dirinya bukan karena masalahnya selesai, tapi karena ada seseorang yang hadir tanpa banyak bicara, namun memberi arah di saat dia nyaris kehilangan arah.
Pagi itu, Aisy baru saja sampai di rumah sakit tempat pelatihannya. Ia baru turun dari ojek online ketika ponselnya bergetar pesan dari Kenny.
“Dok, saya sudah dapat kontak rekan Dr. Bima. Namanya Dr. Rendra, beliau sekarang jadi wakil kepala di RS tempat kamu dulu magang. Mau saya bantu atur pertemuan via video call?”
Aisy membaca pesan itu dengan dada yang hangat. Ia sempat menatap layar lama, sebelum mengetik balasan perlahan.
“Terima kasih banyak, Pak Kenny. Iya, saya mau. Nanti kabari kapan waktunya ya.”
Beberapa jam kemudian, Aisy menerima panggilan video dari Kenny. Wajah Dr. Rendra muncul di layar ramah, tapi juga sedikit terkejut melihat Aisy lagi.
“Wah, ini benar Aisy? Saya kira kamu sudah pindah ke luar negeri waktu itu,” sapa Dr. Rendra hangat.
Aisy tersenyum gugup. “Iya, Dok… sempat berhenti beberapa waktu karena alasan pribadi. Tapi sekarang saya ingin kembali berpraktik.”
Dr. Rendra mengangguk paham. “Saya dengar kamu sedang proses pelatihan ulang ya? Baik, nanti saya bantu buatkan surat rekomendasi pengganti dari pihak rumah sakit lama. Kamu masih layak untuk kembali, Aisy. Dulu kamu termasuk peserta paling teliti.”
Aisy nyaris tak bisa menahan air matanya. Ia menatap layar, lalu mengangguk dalam haru. “Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak…”
Panggilan berakhir, dan Aisy terdiam beberapa detik menatap ponselnya. Di sisi lain layar, Kenny menatapnya dengan senyum samar bukan senyum simpati, tapi kagum.
“Lihat kan? Kadang yang terlihat rumit cuma butuh satu langkah keberanian,” ucap Kenny lembut.
Aisy mengangguk. “Iya, dan bantuan yang tulus.”
Kenny hanya tersenyum kecil. “Kalau begitu, tugas saya selesai hari ini.”
Aisy menatapnya, kali ini lebih lama. Ada rasa hangat yang belum berani ia artikan. “Entah kenapa, Pak Kenny… setiap kali saya mulai menyerah, selalu saja Tuhan kirimkan seseorang di waktu yang tepat.”
“Dan mungkin kali ini, giliran saya yang dikirim untuk memastikan kamu tidak berhenti di tengah jalan,” jawab Kenny tenang.
Aisy terdiam. Entah karena kata-katanya, atau tatapan teduh itu, tapi jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya.
☘️☘️☘️☘️
Sore menjelang, langit tampak jingga ketika Aisy keluar dari gedung pelatihan. Di tangannya kini sudah ada surat pengesahan pelatihan lanjutan tanda bahwa langkah kecilnya benar-benar dimulai lagi.
Ia berdiri sejenak di depan rumah sakit, menghirup udara sore. Rasanya seperti menarik napas setelah sekian lama tenggelam.
Dan dari kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Kenny keluar sambil melambaikan tangan.
“Dokter baru boleh saya traktir kopi sore?” ucapnya dengan nada santai tapi mata tetap menyimpan keteduhan.
Aisy terkekeh pelan. “Kopi sore atau kopi perayaan, nih?”
“Keduanya,” jawab Kenny singkat, membuat Aisy akhirnya tersenyum lebar.
Mereka berjalan beriringan menuju kafe kecil di seberang jalan dan di sanalah, tanpa mereka sadari, lembar baru kehidupan mulai terbuka. Bukan sekadar tentang profesi yang kembali, tapi tentang dua hati yang sama-sama belajar memulihkan diri.
☘️☘️☘️☘️
Hari-hari Aisy berjalan dengan ritme yang lebih tenang. Ia mulai terbiasa kembali dengan suasana rumah sakit bau antiseptik yang dulu menyesakkan kini justru memberinya rasa rindu dan harapan baru. Beberapa rekan pelatihan mulai mengenalnya sebagai sosok pendiam tapi sigap, dan diam-diam mereka mengagumi ketenangannya yang menenangkan pasien.
Kenny bukan hanya sekadar kenalan yang datang membawa bantuan. Ia adalah seorang konsultan pengembangan rumah sakit dan relawan medis, sosok yang selama ini banyak membantu para dokter muda menemukan kembali semangatnya untuk bertugas di lapangan. Bagi Aisy, Kenny hadir di waktu yang tepat seperti jembatan antara masa lalunya yang retak dan masa depan yang ingin ia bangun kembali.
Sore itu, setelah sesi praktik selesai, Aisy duduk di taman rumah sakit sambil menatap anak-anak kecil yang bermain di area luar. Angin sore menyapu wajahnya, dan di sebelahnya, Kenny datang membawa dua gelas cokelat panas.
“Kalau kopi nanti malam saja, sekarang kamu butuh sesuatu yang manis,” katanya ringan sambil menyerahkan satu gelas.
Aisy tertawa kecil. “Pak Kenny ini tahu saja ya apa yang saya butuh.”
Kenny menatapnya dari sisi mata. “Saya belajar dari Zea. Katanya, kalau Mama lagi banyak pikiran, kasih yang manis-manis biar hatinya ikut manis juga.”
Aisy tersenyum. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya tidak lagi terasa berat setiap kali tersenyum. Kehadiran Kenny dan Zea perlahan menambal sisi kosong yang dulu hanya berisi luka.
☘️☘️☘️☘️
Namun di sisi lain kota, Reyhan masih berkutat dalam gelapnya penyesalan. Rambutnya kini sedikit berantakan, dan lingkar hitam di matanya semakin jelas. Ia menatap meja kerjanya yang berantakan dengan beberapa surat permintaan cuti yang sudah ia tulis tapi tak pernah diserahkan.
Sudah seminggu lebih Aisy pergi tanpa kabar, dan semua pesan yang ia kirim tak pernah terbaca. Bahkan nomor Aisy pun kini tak aktif.
Hingga suatu malam, ketika Reyhan tengah duduk di ruang tamu sendirian, suara langkah Lusi terdengar dari arah dapur.
“Nak, kamu terus begini, sampai kapan? Ibu khawatir. Rumah ini bukan lagi rumah kalau kamu tiap malam hanya menatap kosong begitu,” ucap Lusi lembut.
Reyhan mengusap wajahnya kasar. “Aku cuma... masih nggak bisa tenang, Mi. Aku harus nemuin Aisy. Aku harus minta maaf langsung.”
“Untuk apa, Nak? Dia sudah memilih pergi. Kamu harus belajar menerima, dan lebih fokus ke Sinta dan putramu Nak,” jawab Lusi lirih.
“Tapi aku nggak bisa, Mi. Aku yang buat dia pergi. Aku yang gagal jadi suami. Aku bahkan nggak bisa jadi lelaki yang jaga janji,” suaranya serak, nyaris pecah.
Lusi terdiam. Ia tahu putranya memang keras kepala, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di nada suaranya bukan sekadar kehilangan, tapi rasa bersalah yang dalam.
"Jangan keras kepala Nak," cegah Lusi.
"Enggak Mi, aku tetap akan mencarinya," kekeh Reyhan.
☘️☘️☘️☘️
Keesokan harinya, Reyhan mulai mencari. Ia mendatangi rumah kontrakan lama Aisy, tapi tetangganya bilang Aisy sudah pindah beberapa minggu lalu. Ia juga mengunjungi klinik tempat Aisy dulu sempat bekerja paruh waktu, namun di sana pun tidak ada jejaknya.
Langkahnya mulai melemah, sampai salah satu perawat lama di rumah sakit tempat mereka dulu bekerja memberi petunjuk kecil.
“Setahu saya, Dokter Aisy mau ikut pelatihan penyegaran profesi di pusat pelatihan medis. Mungkin sekarang masih dalam proses administrasi,” ujar perawat itu pelan.
Reyhan terdiam. Sebuah harapan kecil menyala di matanya. “Terima kasih… terima kasih banyak.”
Ia segera menuju tempat yang dimaksud pusat pelatihan yang kini menjadi awal langkah baru Aisy.
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, di hari yang sama, Aisy dan Kenny baru saja keluar dari ruang evaluasi pelatihan. “Nilai kamu bagus sekali,” puji Kenny sambil menatap lembar hasil di tangan Aisy. “Kayaknya nggak lama lagi, kamu bakal kembali pakai jas dokter itu.”
Aisy tersenyum kecil. “Saya belum sejauh itu, Pak Kenny. Masih banyak yang harus saya kejar.”
Kenny menatapnya tenang. “Tapi langkahmu sudah benar, Aisy. Kamu sudah kembali berdiri.”
Ucapan itu membuat dada Aisy menghangat. Namun tepat ketika mereka berjalan keluar dari aula pelatihan, langkahnya tiba-tiba terhenti.
Dari kejauhan, ia melihat sosok yang amat ia kenal berdiri di dekat pintu masuk, dengan mata yang menatap lurus ke arahnya.
Reyhan.
Tubuh Aisy menegang. Jantungnya berdegup tak beraturan, dan semua kenangan yang berusaha ia kubur tiba-tiba menyeruak begitu saja.
Kenny yang melihat ekspresi Aisy langsung menoleh ke arah pandangannya dan matanya ikut membulat kecil. Ia tahu, pria yang berdiri di sana bukan orang biasa bagi Aisy.
Mata mereka bertemu. Hening. Waktu seakan berhenti di antara tiga hati yang kini dihadapkan pada masa lalu, luka, dan takdir yang belum selesai.
Bersambung...
Semoga suka ya Kak
 
                     
                     
                    