Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tujuh Belas
Sore itu, matahari sudah mulai condong ke barat ketika Amanda melangkah keluar dari kantornya. Tas kerja ia jinjing di tangan kanan, sementara ponselnya masih terbuka pada layar percakapan terakhir dengan suaminya, Azka.
Sudah beberapa kali suaminya bertanya kapan dia pulang, sampai dia sendiri merasa bosan.
Pesan yang ia baca tadi pagi masih jelas di sana, percakapan Azka dengan Mama-nya.
Satu kalimat yang membuat jantung Amanda serasa berhenti berdetak:
“Ma, jangan lupa jemput Nathan. Jangan bawa Yuni. Jangan sampai Amanda tahu mengenai Nathan."
Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, bahkan selama rapat pun pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang, dengan napas berat dan mata yang mulai memerah, Amanda memutar setir menuju rumah mertuanya.
Begitu mobil berhenti di depan rumah besar bercat krem itu, hatinya berdebar tak karuan. Rumah itu dulu terasa hangat, tapi entah mengapa sore ini justru membuat dadanya sesak. Ia melangkah masuk setelah memberi salam, dan suara tawa kecil terdengar dari arah ruang keluarga.
Langkah Amanda terhenti di ambang pintu.
Di sana, di tengah karpet abu-abu lembut — seorang anak kecil sedang bermain mobil-mobilan bersama Papa mertua. Anak itu tertawa riang, sementara Papa Azka tersenyum lebar, tampak begitu menyayangi bocah itu.
Untuk sesaat, Amanda terpaku. Merasa sedikit iri, seandainya dia tak dipasang IUD tentu sudah memiliki anak juga.
"Kalau aku memiliki anak, pasti tak akan merasa kesepian lagi," gumam Amanda dalam hatinya.
“Am ... Amanda?” suara lembut dari arah dapur membuatnya menoleh. Mama Azka berdiri di sana, tampak kaget sekaligus canggung. “Kamu kok tak beri kabar kalau mau datang. Apa kamu sama Azka?"
Amanda mencoba tersenyum, walau wajahnya jelas lelah. “Aku datang sendiri, Ma. Maaf datang mendadak. Aku tadi kebetulan lewat, jadi sekalian mampir.”
“Oh, iya, iya. Masuk, Nak.” Mama Azka buru-buru menghampirinya dan menggandeng lengannya menuju ruang tamu.
Tampak jelas wanita itu sedikit gugup.
Amanda duduk, menaruh kotak kue di meja. “Aku bawa sedikit kue dari kantor, Ma. Buat Papa sama Mama.”
“Wah, terima kasih, Sayang. Capek, ya?” Mama Azka mencoba tersenyum lebar, tapi tangannya terlihat sibuk merapikan sesuatu yang tak perlu dirapikan.
"Mama dengar dari Azka, katanya kamu sekarang kerja," ucap Mama Azka.
"Iya, Ma. Dari pada bengong sendiri di rumah," jawab Amanda.
"Iya, Nak. Tapi jangan capek-capek," ucap Mama Azka lembut seperti biasanya.
Amanda melirik sekilas ke arah ruang keluarga. Bocah kecil itu masih di sana, kali ini sedang dipangku Papa mertua. Tawa mereka terdengar jernih, membuat dada Amanda semakin perih.
“Ma .…” Suaranya pelan, tapi tegas. “Itu anak siapa yang sama Papa?”
Pertanyaan itu membuat Mama Azka langsung kaku sejenak. Senyumnya menipis.
“Oh, itu … anak saudara jauh kita, Mand. Baru beberapa hari main di sini.”
Amanda mengangguk pelan, matanya masih tertuju ke arah bocah itu. “Lucu, ya. Tapi … dari samping, wajahnya mirip sekali sama Mas Azka.”
Mama Azka tersenyum kaku. “Ah, mungkin karena masih satu darah, ya. Kadang gen keluarga memang begitu.”
Amanda membalas dengan senyum yang lebih tipis, senyum getir yang tak bisa disembunyikan. Matanya seolah menelusuri setiap gerak kecil bocah itu, dan entah mengapa, setiap tawa yang keluar dari anak itu justru terasa seperti pisau kecil yang menembus hatinya.
Dari arah ruang keluarga, Papa Azka yang semula duduk santai kini tampak berdiri kaku. Ia menoleh sekilas ke arah Amanda, lalu segera membungkuk memeluk Nathan kecil itu.
“Yuk, Nak. Kita ke atas, ya. Nenek sama Tante mau ngobrol.” Tanpa banyak bicara, Papa Azka menggandeng tangan Nathan dan menuntunnya naik tangga. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menjauh dari suasana yang menegang di bawah.
Amanda menatap punggung mereka yang menjauh dengan pandangan kosong. Bibirnya bergerak kecil, seperti menahan kata-kata yang tak sanggup keluar. Saat akhirnya menatap kembali ke arah Mama mertuanya, senyumnya muncul lagi, kali ini dingin dan menyesakkan.
“Ma, aku cuma mau nitip kue ini. Nanti sampaikan salamku ke Papa. Tadi rencana mau salam dulu, tapi Papa tampak tergesa naik ke lantai atas. Aku aja belum sempat menyapa."
“Oh … iya, tentu, Sayang. Nanti salamnya kamu buat Papa disampaikan. Makasih banyak. Kamu nggak mau duduk dulu? Mama bikinin teh, ya?" Nada suara Mama Azka bergetar halus.
Amanda menggeleng. Ia berdiri sambil merapikan tas di bahunya. “Nggak usah, Ma. Aku harus pulang. Masih ada pekerjaan di rumah.”
Mama Azka hanya bisa menatapnya tanpa kata. Sebelum beranjak ke pintu, Amanda sempat berhenti, lalu menoleh.
“Ma .…" Suaranya pelan tapi dalam. “Aku cuma ingin bilang, kebohongan itu nggak bisa selamanya ditutupi. Seperti bom waktu. Cepat atau lambat, semuanya akan terbuka. Dan waktu itu mungkin sudah dekat.”
Tak menunggu jawaban dari sang mertua. Amanda langsung berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan keheningan di ruang tamu.
"Mama, Papa, jika dulu aku sangat menghormati kalian berdua, tapi rasa itu sekarang menguap begitu saja. Tak percaya kalian ikutan Azka menutupi semua kebohongan ini. Pantas kalau acara keluarga kalian tak mengizinkan aku bicara dengan saudara lainnya tanpa kalian berdua ada di sampingku," ucap Amanda.
Dari balik tirai, Mama Azka memandang mobil Amanda yang menjauh, sementara hatinya bergetar hebat. Ada rasa bersalah dalam dirinya.
Ia memegang dadanya, berbisik lirih, “Apakah Amanda sudah tahu mengenai Yuni, kenapa dia berkata begitu?”
Di lantai atas, Nathan sedang duduk di tepi ranjang, memainkan mobil kecilnya. Papa Azka berdiri di dekat jendela, memandang keluar, wajahnya tegang.
"Maafkan Papa, Manda. Papa terpaksa ikut Azka, membohongi kamu selama tiga tahun ini. Begitu juga Yuni, Papa juga terpaksa membohonginya. Papa sebenarnya sayang kalian berdua. Tak akan bisa memilih antara kamu atau Yuni," gumam Papa Azka dengan dirinya sendiri.
Angin sore masuk lewat celah jendela, membawa rasa dingin yang aneh, seolah menjadi pertanda bahwa badai besar sebentar lagi akan datang.
Amanda masih mencintai Azka ,rasa cinta yang sulit untuk dihilangkan😭
Untuk Yuni g salah kmu memperjuangkan cinta azka..tp nathan bukan alasan u tinggal bersama dg azka..karena masa lalu akan jd alarm u kalian berdua merasa tersakiti
#thor udah bikin cerai aj dech mereka..dan segerakan dpat jodohnya..kezel aku thor😄