Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Intrik
Malam sebelumnya,
"Mama mengijinkan kamu mengadopsi Bilqis, karena dia memiliki warisan besar diluar negeri, bahkan seperempatnya saja melebihi hartamu yang diambil Nadia sialan itu."
Suara Asri penuh tekanan. Ia tidak menyadari sedang direkam oleh Juan yang masih berada di sekitar kamar rawat VIP itu.
"Ambil kembali hak asuh anak itu, mama tidak peduli apapun lagi."
Juan berniat mengirimkan rekaman itu kepada Dio, sesuai perintahnya untuk memata-matai keluarga itu. Tetapi ia membatalkan pengiriman itu, ia lebih memilih menemui Ayu setelah ini.
Tetapi karena Arkan terus berada disana hingga pagi, Juan akhirnya pergi dengan membawa satu rahasia besar dari keluarga Wicaksana juga keluarga Wicakdarto.
Hingga pada suatu siang saat dia bertugas di kantor kelurahan,
"Bantu aku mencari kelemahan keluarga Wicaksana, supaya Nadia menang atas hak asuhnya." Suara Dio tegas di ujung telepon.
Juan tahu, satu rahasia besar dalam flashdisk kecil itu kuncinya. Tetapi dia memiliki rencana lain, Juan memilih kembali menemui Ayu diam-diam seperti biasa, di apartemen bekas mes karyawan perusahaan Arkan.
Sampailah siang itu di depan ruang pengadilan, Dio yang menunggu hasil keputusan hakim dari dalam, juga Asri dan Ayu di sana.
Dio menatap Ayu tajam, bukan hanya soal ayahnya, tetapi juga soal Arkan-Nadia. Kini dendamnya berlapis semakin mengakar.
Sementara Ayu mengangguk ramah, dia tidak mengetahui apapun niat lelaki yang duduk pada kursi tunggu di hadapannya itu. Yang jelas baginya lelaki itu mendukung Nadia.
Juga dirinya yang mantap menjadi saksi tambahan seperti instruksi Juan malam itu, ia tidak mau lagi di injak-injak oleh keluarga Wicaksana. Terutama Asri, perempuan tua bermulut racun di sampingnya.
Ayu bergerak membuka pintu kayu itu, setelah nada 'bip' berbunyi dua kali dari earphone yabg sedari tadi ia pakai.
Penyuara telinga tanpa kabel itu tersambung langsung dengan pena pengacara Nadia.
...****************...
"Dia, Yang Mulia..." Pengacara Nadia menunjuk Ayu,
"...dia saksi yang kami daftarkan untuk persidangan ini.
Waktu seakan berhenti di ruang sidang yang dingin itu. Bukan cuma Arkan, tetapi Nadia juga tercengang melihat kedatangannya.
Bunyi ketukan hak tinggi dari langkah Ayu menggema memenuhi pendengaran mereka. Semakin mendekat seolah merayap pada masing-masing pikiran mengambang semua orang yang ada di sana.
Ayu duduk pada kursi saksi yang tersedia.
"Saya Ayu Larasati," Ayu memperkenalkan diri sopan.
"Saksi untuk ibu Nadia, sekaligus selingkuhan dari bapak Arkan Wicaksana, yang duduk di sana, Yang Mulia." Tangannya menunjuk Arkan yang belum habis rasa terkejutnya.
Hakim ketua memukulkan palu sekali.
"Baik, saksi diterima."
Ayu tersenyum bangga, ia melirik pada suaminya yang menatap tajam kearahnya.
"Jadi, bagaimana kesaksian anda, saudari Ayu?" hakim menanyakan kejelasan dari bukti suara rekaman tadi.
"Waktu itu, saya memang pura tidur. Untuk menghindari suami saya, Yang Mulia," Ayu sejenak menghela napas, Ia sengaja menyentuh lembut lehernya yang sudah sembuh dari bekas cekikan Arkan.
"...waktu itu, karena..." Ayu sengaja berlama-lama mengungkap apa yang ia dengar di ruang rawat.
Arkan menegang di kursinya, takut perbuatan bejatnya di beberkan di ruangan itu.
"Benar, Yang Mulia. Apa yang ada di rekaman itu benar adanya." Arkan berdiri, segera memotong ucapan Ayu. Ucapannya tergesa.
Tok! Tok!
"Penggugat, mohon tenang." Hakim ketua datar menginstruksikan.
Ayu tersenyum tipis, 'jalang ini bukan tandingan mu." Batinnya dingin.
"Mari, silakan lanjutkan, saudari Ayu." Titah sang hakim.
"Seperti yang Bapak Arkan katakan. Itu benar-benar percakapan di ruang rawat saya malam itu." Ayu mengangguk pelan.
"Tetapi, Yang Mulia. Dalam tubuh Bilqis juga mengalir darah klien saya sebagai paman sah-nya, Yang Mulia." Sanggah pengacara Arkan.
"Interupsi, Yang Mulia. Darah atau air tidak ada hubungannya dengan semua ini, Yang Mulia." Giliran pengacara dari pihak Nadia membantah.
Suasana sidang itu jauh lebih panas dibanding perceraian kemarin.
Nadia kewalahan, kebenaran-kebenaran itu datang bertubi-tubi, menamparnya silih berganti, hingga ia tak mampu bernapas.
Ia tidak menyangka semua orang punya rahasia termasuk Dio, orang yang diam-diam mulai ia percaya.
"Baiklah sesuai pernyataan saksi. Maka ini putusan sidang verzet hari ini..."
"...menimbang, pada bukti-bukti yang jelas juga kecurangan yang terjadi. Maka diputuskan hak asuh ananda Bilqis Arrafiq jatuh kepada saudari Nadia Zakiyya." Suara hakim menggema di hati masing-masing pendengarnya.
Nadia tentu saja lega dan bahagia, hanya saja ada yang jauh mengganjal di sudut hati kecilnya. Tentang Dio yang diam-diam memiliki rencana. Juga Ayu yang tiba-tiba berbalik arah, lalu siapakah yang harusnya ia percaya?
...****************...
Malam itu, Arkan kembali dari luar, ia menatap punggung istrinya yang tengah menikmati siaran televisi santai, layaknya tidak ada sesuatu yang besar terjadi karenanya sore tadi.
Ia melepas dasinya kasar, juga beberapa kancing teratas kemejanya. Amarahnya sudah menumpuk sedari persidangannya yang kalah, karena itu juga ia harus menanggung biaya perkaranya.
Tangannya tanpa kontrol maju ke arah perempuan hamil muda itu,
"Kamu gila, Ayu?!" Arkan mencekal pundak Ayu kasar.
"Saya?!"
Ayu membalikkan badan. Menyingkirkan tangan Arkan tak kalah kasar.
'Sesuai dugaan.' Batin Ayu. Arkan pasti akan kembali mengasarinya.
Tetapi Ayu bukanlah orang bodoh, dia sudah terlatih menghadapi perilaku brutal orang-orang terhadapnya di masa lalu.
'Crack'
Televisi yang separuh menyala karena benturan hiasan meja yang dilemparkan Arkan, seperti menatap iba pada kemarahan di dalam rumah besar keluarga Wicaksana.
"Kenapa kamu berubah melawan, saya?" Kedua tangan Arkan berkacak pada pinggang. Napasnya memburu.
"Berubah kata Bapak?" Ayu memiringkan bibirnya, "Bapak saja yang belum mengenal jalang seperti saya!" Ia menekankan kata jalang pada ucapannya.
Arkan meremas rambutnya putus asa. Ia membanting punggungnya ke sofa, matanya memerah kosong,
"Tidak ingatkah kamu, apa yang sudah saya berikan? Kalau kita kehilangan Bilqis..."
"Bapak sudah miskin sekarang, Pak." Ayu memotong Arkan cepat.
Arkan tersentak mendengar kenyataan pahit itu. Benar, bahkan ia benar-benar miskin karena kehilangan Bilqis juga.
"Maka dari itu, kita perlu Bilqis!" suara Arkan setengah berteriak.
"Jadi, maksud bapak, saya yang harus merawat Bilqis, yang bahkan bukan siapa-siapa saya, sambil diinjak-injak oleh Mama bapak yang bermulut ular itu?!" Mata Ayu hampir melompat saking melototnya.
Jagung Ayu berpacu cepat. Iramanya selaras dengan keram di perutnya yang sedari tadi ia tahan.
Sementara Asri tidak ikut dalam pertengkaran itu, ia bersembunyi di dalam kamarnya. Ia tahu pertikaian itu pasti akan terjadi, mengingat apa yang Ayu lakukan pada persidangan yang kalah telak tadi sore.
"Itu artinya kamu tidak ingin hidup, Ayu!" napas Arkan cepat, benar-benar menahan amarah.
Ayu menempelkan ujung hidungnya pada hidung Arkan, tangannya sengaja ia mainkan pada paha Arkan, begitu juga kakinya yang sudah lebih dulu naik satu pada sandaran sofa.
"Jangan main-main dengan saya, Pak! Saya pernah membunuh orang, asal bapak tahu."
sama j nh kek jemuran aku .di gntung.tanggung itu lo jee..mau kau buat ap itu si ayu ..apakh dia sudah sadar n memihak nadia..lanjut..jgn lamaaaa