NovelToon NovelToon
The Lonely Genius

The Lonely Genius

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Dunia Masa Depan / Robot AI
Popularitas:671
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".



(Setiap hari update 3 chapter/bab)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3: Di Bawah Garis Nol

Ethan Pradana berjalan.

Dia tidak ingat pernah berjalan sepelan ini di koridor Zona-S. Biasanya, dia berlari, pikirannya melesat lebih cepat dari kakinya, menarik tubuhnya dalam gema antusiasme. Sekarang, setiap langkah terasa berat, seolah sol sepatunya terbuat dari timah. Pintu kayu mahoni kantor Profesor Thorne tertutup di belakangnya dengan suara *klik* pelan yang final, sehalus dan setajam pisau bedah.

*Bergabung dengan tim Dr. Frost.*

Kalimat itu berulang di benaknya, sebuah putaran audio yang menyakitkan.

Dia berbelok di sudut, kembali ke area lab utama yang lebih bising. Di sinilah dia bertemu dengannya. Julian Frost sedang berdiri di dekat pendingin air, seperti yang Ethan duga, berbicara dengan dua peneliti junior dari timnya. Mereka tertawa mendengar sesuatu yang Frost katakan.

Saat Frost melihat Ethan, senyumnya tidak goyah. Itu adalah senyum predator yang telah menandai wilayahnya. Dia mengangkat gelas airnya ke arah Ethan sebagai sapaan mengejek.

"Pradana," kata Frost, suaranya cukup keras untuk didengar oleh dua peneliti junior yang kini menatap Ethan dengan canggung. "Kudengar kau akan bergabung dengan kami. Selamat datang di dunia sains yang *sesungguhnya*. Kita mulai bekerja dengan optimalisasi *spreadsheet* besok pagi. Jam delapan. Tepat."

Frost tidak menunggu jawaban. Dia berbalik, dan tawa kecil terdengar dari kelompok itu saat mereka berjalan pergi.

Penghinaan itu terasa fisik, seperti pukulan di perut. *Spreadsheet.* Mereka akan menyuruh jenius Tier-S, pemenang Nobel, pimpinan Proyek Dyson Sphere, untuk mengerjakan *spreadsheet*.

Ethan tidak membalas. Dia tidak punya apa-apa untuk dibalas. Dia hanya menundukkan kepalanya dan terus berjalan, merasakan tatapan peneliti lain di punggungnya. Dia adalah raja yang baru saja digulingkan di depan umum.

Pintu lab pribadinya mendesis terbuka. Dia masuk. Kegelapan menyambutnya. Hologram yang gagal itu sudah tidak ada. Ruangan itu terasa dingin dan kosong.

"Aurora," katanya, suaranya hampa.

"Ya, Ethan." Suara A.I. itu terdengar hati-hati. "Saya mendengar percakapan Anda dengan Profesor Thorne. Semua direktori yang terkait dengan 'Arsitektur Lensa Fraktal' kini telah ditandai 'Terlarang - Level Otorisasi Thorne'."

"Dia memblokirku dari pekerjaanku sendiri," bisik Ethan.

"Secara teknis," kata Aurora, "dia telah mengalihkan prioritasmu. Data-padmu telah menerima paket tugas barumu."

Ethan menatap data-pad di mejanya. Sebuah notifikasi baru berkedip. Dari: `Dr. J. Frost`. Subjek: `Tugas Optimalisasi Q4 - Tim Penahanan Standar`.

Dia membukanya. Itu lebih buruk dari yang dia bayangkan. Itu bukan hanya *spreadsheet*. Itu adalah pekerjaan verifikasi kode baris demi baris—tugas yang membosankan dan melelahkan untuk memeriksa ulang algoritma 0.5% Frost, mencari *bug* minor. Itu adalah pekerjaan yang biasanya mereka berikan pada mahasiswa magang Tier-A.

Dia melemparkan data-pad itu ke seberang meja. Benda itu menabrak dinding dengan suara *klak* yang memuakkan dan jatuh ke lantai.

"Dia ingin aku berhenti," kata Ethan, suaranya bergetar karena amarah yang tertahan. "Inilah tujuannya. Menghinaku sampai aku menyerah dan pergi."

"Itu adalah kesimpulan yang logis," kata Aurora. "Tindakan Profesor Thorne konsisten dengan manajemen yang berusaha menyingkirkan aset yang tidak stabil secara halus."

"Aset yang tidak stabil?" Ethan tertawa, suara yang kering dan pahit. "Karena aku menemukan sesuatu yang tidak mereka pahami? Karena aku tidak mengikuti buku manual mereka?"

Dia mondar-mandir di labnya, yang kini terasa seperti sangkar. "Dia benar-benar memblokir *semuanya*?"

"Setiap terminal di Zona-S," konfirmasi Aurora. "Setiap upaya untuk mengakses file `Sim_7.5` akan secara otomatis mencatat pelanggaran dan mengirimkan peringatan langsung ke kantor Profesor Thorne dan Dr. Frost."

Ethan berhenti di depan jendela. Neo-Babel terbentang di bawahnya, kota yang cemerlang dan sempurna. Kota yang dibangun di atas logika Kasta IQ. Dan dia baru saja mengetahui kebenaran dari sistem itu. Sistem tidak menghargai kecerdasan; sistem menghargai *kepatuhan*.

Dia adalah anomali 280-IQ yang tidak patuh. Dan sistem, seperti sistem kekebalan tubuh, kini berusaha menetralisirnya.

Dia menatap pantulannya di kaca. Wajah seorang pria berusia dua puluh tahun yang tampak seperti baru saja menua satu dekade dalam satu jam. Dia dikalahkan. Frost telah menang. Thorne telah menang.

Dia kembali ke mejanya, melewati data-pad yang tergeletak di lantai. Dia duduk di kursinya, keheningan di lab terasa memekakkan telinga. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia tidak bisa memikirkan jalan keluar.

Dia hanyalah seorang jenius yang tidak berguna.

Matanya tertuju pada sesuatu di mejanya, di samping cangkir cokelatnya yang sudah berkerak.

Sebuah bingkai foto digital kecil.

Itu adalah satu-satunya barang pribadi yang dia bawa ke lab. Foto itu tidak jelas, direkonstruksi dari data yang rusak di dalam kotak kayu tua yang diberikan Nate padanya tiga tahun lalu. Foto seorang wanita muda, mungkin tidak lebih tua dari dirinya sekarang, dengan rambut hitam panjang dan senyum yang... yang terlihat persis seperti senyumnya.

Ratna Pradana. Ibunya.

Dia mengambil bingkai itu. Dia tidak tahu apa-apa tentang wanita ini, selain bahwa dia adalah seorang ilmuwan biofisika brilian yang pergi ke Mars dan tidak pernah kembali. Dia tidak tahu suaranya, tidak tahu aromanya. Dia hanya tahu bahwa wanita ini telah memberinya nama, warisan, dan mata yang sama.

Dia memikirkan ibunya, seorang ilmuwan, seorang penjelajah. Apakah dia akan menyerah saat menghadapi birokrat? Apakah dia akan berhenti hanya karena seseorang yang lebih tinggi pangkatnya menyebut idenya "tidak praktis"?

Dia memikirkan Maya yang batuk di kegelapan.

Dia memikirkan wanita pembersih di terminal yang gemetar ketakutan padanya.

Kemarahan yang sebelumnya tumpul dan putus asa, kini mulai mengeras. Itu berubah dari sesuatu yang panas dan cair menjadi sesuatu yang dingin, padat, dan tajam. Seperti baja.

"Tidak," bisiknya.

Dia meletakkan foto itu kembali ke meja, memutarnya sehingga menghadap langsung ke arahnya.

"Mereka bisa mengambil proyekku," katanya pelan. "Mereka bisa mengambil timku. Mereka bahkan bisa mengambil namaku dari pintu."

Dia menatap lensa biru Aurora.

"Tapi mereka tidak bisa mengambil pikiranku."

Dia mengambil data-pad yang rusak dari lantai. Layarnya retak, tapi masih berfungsi. Dia meletakkannya dengan rapi di atas meja.

"Aurora," katanya.

"Ya, Ethan?"

"Berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menyelesaikan tugas verifikasi kode Dr. Frost?"

Jeda sejenak saat A.I. itu menganalisis. "Jika kau bekerja dengan efisiensi penuh, tugas 160 jam-manusia itu... bisa kau selesaikan dalam empat jam."

Ethan melirik jam. Pukul 10:30 pagi.

"Baik," katanya. Dia menarik napas dalam-dalam, mengesampingkan harga dirinya. "Mari kita selesaikan pekerjaan membosankan ini."

"Dan setelah itu?" tanya Aurora.

Ethan tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Setelah itu, kita akan bekerja."

Sisa hari itu adalah neraka pribadi yang diciptakan oleh birokrasi.

Ethan menundukkan kepalanya dan bekerja. Dia memaksa otaknya yang dirancang untuk membayangkan arsitektur bintang, untuk fokus pada tanda titik koma yang salah tempat dan perulangan *loop* yang tidak efisien dalam kode optimalisasi Julian Frost.

Itu adalah pekerjaan yang menyiksa, pekerjaan yang menumpulkan pikiran. Setiap baris kode yang dia verifikasi terasa seperti penghinaan. Dia bisa merasakan jam-jam hidupnya terkuras untuk sesuatu yang dia tahu hanya akan memberikan peningkatan marjinal. Model penahanan standar adalah jalan buntu, dan dia baru saja dipaksa untuk mengecat dinding di ujung jalan buntu itu.

Pukul 14:30, Dr. Frost mampir ke labnya. Dia tidak mengetuk.

"Bagaimana kemajuannya, Pradana?" tanya Frost, bersandar di kusen pintu, melipat tangan di dada. Dia jelas menikmati ini.

"Baris 40.800," kata Ethan, tidak mengangkat kepalanya dari layar. "Aku menemukan redundansi di sub-protokol pendinginmu. Itu menyebabkan penundaan 0.02 nanodetik."

Mata Frost sedikit menyipit. Dia tidak menyangka Ethan akan *benar-benar* bekerja, apalagi menemukan kesalahan. "Bagus sekali," kata Frost dingin. "Senang melihat bakatmu akhirnya diterapkan pada sesuatu yang *produktif*."

Frost pergi. Ethan mengepalkan tangannya di bawah meja sampai buku-buku jarinya memutih, lalu kembali bekerja.

Pukul 15:00, dia selesai. Empat setengah jam. Dia mengirim paket verifikasi yang telah selesai ke server Frost, dengan catatan sopan: `Selesai. Mohon tugas selanjutnya.`

Dia tidak menerima balasan. Tentu saja tidak.

Sisa sore itu dia habiskan dengan... menunggu. Dia tidak diizinkan mengerjakan proyeknya. Dia tidak punya tugas lain. Dia adalah seorang jenius Tier-S yang duduk di lab bernilai miliaran dolar, dibayar untuk tidak melakukan apa-apa. Penghinaan itu, dalam beberapa hal, lebih buruk daripada pekerjaan rendahan tadi.

Dia membersihkan labnya. Dia mengkalibrasi ulang pemindainya. Dia mengatur data-padnya. Dia minum tiga cangkir cokelat panas.

Pukul 17:00, alarm akhir hari kerja berbunyi. Para peneliti di luar labnya mulai mengemasi tas mereka.

Dia menunggu.

18:00. Kru pembersih Tier-D masuk, mengosongkan tempat sampah dengan kepala tertunduk, menghindari kontak mata dengannya.

19:00. Koridor di luar menjadi sunyi.

20:00. Lampu utama di gedung meredup ke mode malam.

21:00. Hanya suara kipas pendingin server yang terdengar.

Pukul 22:00. Tepat.

Ethan berdiri. Dia berjalan ke pintu labnya dan menguncinya secara manual—sebuah fitur kuno yang dia pasang khusus.

Dia kembali ke konsolnya.

"Aurora," katanya pelan.

"Ya, Ethan?"

"Malam ini adalah milik kita," katanya, mengulangi sumpahnya dari sore tadi. "Matikan semua koneksi eksternal ke laboratorium ini. Alihkan ke daya cadangan internal. Pindahkan semua pemrosesan ke server pribadiku."

"Memproses," kata Aurora. "Ethan, ini adalah pelanggaran berat terhadap setidaknya dua belas protokol keamanan Zona-S. Jika ketahuan..."

"Jika ketahuan," potong Ethan, "aku akan bilang kau yang melakukannya."

"Itu tidak lucu," balas A.I. itu.

"Aku tahu." Senyum Ethan telah memudar, digantikan oleh tekad yang dingin dan fokus yang tajam. "Jika ketahuan, aku yang akan bertanggung jawab. Tapi kita tidak akan ketahuan. Aktifkan protokol 'Perawatan Diagnostik Mandiri'."

"Protokol 'Diagnostik' diaktifkan," kata Aurora. "Semua pemantauan eksternal kini melihat lingkaran data yang menunjukkan lab ini dalam mode pemeliharaan standar. Kita aman. Kita... sendirian."

Laboratorium menjadi gelap gulita selama beberapa detik saat jaringan utama terputus, lalu kembali menyala dengan cahaya merah redup dari sistem daya cadangan. Hanya konsol utama Ethan yang bersinar putih terang.

Rasanya seperti berada di dalam kapal selam, jauh di bawah permukaan lautan yang penuh musuh.

"Baik," kata Ethan, menggosok kedua tangannya. Kelelahan yang dia rasakan seharian lenyap, digantikan oleh energi yang familier—energi penciptaan. "Ayo bekerja."

Dia duduk. "Buka Sim 7.5. Tunjukkan padaku keruntuhannya. Tepat di 34.7 detik."

Hologram putih itu menyala di tengah ruangan yang remang-remang. Bersinar stabil. 30 detik... 32... 34...

Dan tepat pada 34.7 detik, kedipan merah itu muncul. Runtuh. Gagal.

"Jalankan lagi," kata Ethan.

Gagal lagi.

"Oke. Itu adalah umpan balik harmonik, seperti yang Frost katakan. Tapi *mengapa*?" Ethan mulai mondar-mandir. "Lensa itu memfokuskan energinya terlalu sempurna..."

"Mungkin Dr. Frost benar," kata Aurora hati-hati. "Mungkin konsepnya secara fundamental cacat. Mungkin itu adalah bom, bukan reaktor."

"Tidak," kata Ethan. "Itu tidak mungkin. Kakekku... manuskrip itu... polanya terlalu sempurna untuk menjadi sebuah kesalahan." Dia berhenti. "Variabel apa yang kita lewatkan, Aurora?"

"Aku sudah menjalankan 10.000 skenario variabel, Ethan. Material, suhu, tekanan..."

"Bukan variabel *fisik*," gumam Ethan. "Variabel... lain. Tiga puluh empat detik. Mengapa 34?"

Jam di dinding menunjukkan pukul 23:30.

Dia menjalankan simulasi lagi. Gagal.

Dia mengubah kelengkungan lensa sebesar 0.01%. Gagal (lebih cepat, 22 detik).

Dia mengubah ketebalan material. Gagal (28 detik).

Jam menunjukkan pukul 01:45 pagi.

"Ini tidak masuk akal!" Ethan membanting tangannya di konsol. "Aku tahu aku benar! Tapi datanya terus mengatakan aku salah!"

"Ethan, mungkin kau harus istirahat. Pendekatanmu menjadi tidak menentu."

"Aku tidak butuh istirahat!" teriaknya. Dia kelelahan, frustrasi, dan buntu. Dia menatap layar kegagalan, kebencian membara dalam dirinya—kebencian pada Frost, pada Thorne, dan pada dirinya sendiri karena tidak bisa menyelesaikannya.

Dia memejamkan mata, memijat pelipisnya.

Dia menenangkan napasnya. Dia membuka matanya dan menatap foto ibunya, Ratna Pradana, yang bersinar lembut di bawah cahaya monitor.

"Maaf, Bu," bisiknya. "Aku tidak secerdas yang mereka kira."

Dia menatap foto itu, pada senyumnya yang tenang. Dia memikirkan apa yang akan dikatakan ibunya. Apa yang akan dikatakan Kakeknya.

*Mereka melukis dengan makna. Bahkan ruang kosong di antaranya... itu adalah bagian dari cerita.*

"Ruang kosong...," bisik Ethan.

Dia menatap simulasi yang gagal itu. "Aurora... apa yang terjadi... *sebelum* keruntuhan? Tepat di 34.6 detik."

"Semua pembacaan normal. Stabilitas 100%."

"Tidak, tidak. Perbesar. Tampilkan fluktuasi energi kuantum di *ruang* antar-segi lensa. Bukan di lensanya. Di *celah*."

"Memperbesar... Ethan... itu aneh. Ada lonjakan energi *sebelum* kegagalan. Sebuah harmonik minor di ruang vakum."

Ethan mencondongkan tubuh ke depan, jantungnya berdebar kencang. "Ya Tuhan. Itu dia. Celahnya. Itu bukan hanya ruang kosong. Itu adalah bagian dari sirkuit!"

Dia teringat Kakeknya. Dia teringat Frost yang mengejeknya. *Fisika dasar.*

"Aurora," katanya, suaranya bergetar karena penemuan. "Dr. Frost benar. Ini adalah umpan balik harmonik. Tapi dia salah tentang *penyebabnya*. Lensa ini sempurna. *Lingkungannya* yang salah. Ruang di sekitarnya. Kita tidak hanya perlu membangun lensanya. Kita perlu membangun *ruang vakum* di sekitarnya dengan presisi yang sama!"

Dia mulai mengetik dengan panik, otaknya akhirnya menyala kembali.

"Jalankan simulasi baru. Sim 7.6. Arsitektur Lensa Fraktal. Tapi kali ini... kalibrasi ulang ruang vakum antar-segi. Perlakukan celah itu sebagai... sebagai penyerap harmonik."

"Memproses..." kata Aurora. "Ethan, ini... ini secara teoretis sangat kompleks. Tapi... masuk akal."

"Jalankan," perintah Ethan.

Jam menunjukkan pukul 03:00 pagi.

Hologram putih itu menyala lagi.

Tiga puluh detik. Jantung Ethan berdebar di dadanya.

Tiga puluh tiga...

Tiga puluh empat...

Tiga puluh lima... Jantungnya berhenti.

Tiga puluh enam...

Tiga puluh tujuh...

*Runtuh.*

Lebih baik. Tiga detik lebih baik. Tapi tetap gagal.

Ethan tidak bersorak. Dia tidak membanting meja. Dia hanya menatap kegagalan baru itu dengan tatapan dingin dan analitis.

Frustrasinya telah hilang, digantikan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih keras.

Dia telah menemukan jalurnya. Dia tahu dia benar. Dia hanya perlu lebih banyak data. Data yang tidak bisa dia dapatkan dari simulasi.

"Aurora," katanya, mematikan hologram itu. "Simpan Sim 7.6. Mulai protokol pembersihan. Hapus semua jejak pekerjaan kita malam ini dari server pribadi."

"Selesai," kata A.I. itu. "Apa rencanamu selanjutnya, Ethan? Kita tidak bisa maju tanpa data fisik."

Ethan berdiri dan meregangkan punggungnya yang kaku. Dia berjalan ke pintu dan membukanya, membiarkan cahaya normal koridor masuk. Saat itu pukul 04:00 pagi.

"Rencana selanjutnya?" kata Ethan, sambil menatap foto ibunya di seberang ruangan. "Rencana selanjutnya... Aku butuh bantuan."

Dia tidak bisa melakukan ini sendirian. Dia perlu "mengakuisisi" data dan material. Dan untuk itu, dia tahu persis siapa yang harus dia hubungi.

Dia harus menelepon Nate.

1
Brock
Saya butuh lanjutannya, cepat donk 😤
PumpKinMan: udah up to 21 ya bro
total 1 replies
PumpKinMan
Halo semua, enjoy the story and beyond the imagination :)
Texhnolyze
Lanjut dong, ceritanya makin seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!