NovelToon NovelToon
Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Anak Genius / Mengubah Takdir / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: BlackMail

Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.

​Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.

​Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!

Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 : Grand Duke Orkamor

Dia tinggi, rambut platinumnya bersinar seolah menyerap cahaya bulan yang tersembunyi. Dia memancarkan aura kekuasaan yang begitu absolut hingga membuatku merasa sulit untuk berdiri.

Saat aku menatapnya, sebuah perasaan familier yang mengerikan mencengkeramku. Perasaan yang sama saat aku berhadapan dengan Marquess Tyran.

Perasaan saat berada di hadapan predator puncak. Yang satu adalah ular berbisa dari bayangan yang paling gelap. Yang ini... paus pembunuh dari lautan yang paling dingin dan dalam. Mereka adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

Pria itu, Grand Duke Riven Orkamor, menatap Luna yang terikat dalam rantai cahaya, dengan sebilah pedang menempel di lehernya.

Matanya yang biru sedingin es menyala dengan amarah yang membekukan. Dia tidak berteriak. Mungkin tidak perlu. Seluruh kekuatannya seolah terpancar dari tatapannya yang terkunci pada Duke Raymond.

Di depannya, Luna menghela napas, seolah lelah dengan drama ini. "Jangan bunuh mereka, Riven," katanya pelan. "Aku tidak ingin ada orang yang mati di hadapanku."

Aku melirik ke arah pasukan Duke. Para ksatria yang tadinya bersorak kemenangan, kini gemetar. Wajah-wajah mereka yang sebelumnya gagah berani itu kini pucat pasi. Aku mendengar gumaman rendah di antara mereka.

"Rambut platinum... mata biru es... seperti lukisan Kaisar Thalor..."

"Teror dua puluh tahun lalu..."

Trauma perang sebelumnya menghantui mereka. Kehadiran pria ini saja sudah cukup untuk mematahkan semangat pasukan Ksatria elite.

Duke Raymond, yang menahan tekanan terbesar, akhirnya berhasil menghubungkan titik-titik itu. "Rambut platinum dan mata biru..." desisnya, lebih pada dirinya sendiri. "Anak haram Kaisar Thalor. Jadi, kau... Grand Duke Orkamor itu."

Riven tidak menjawab. Dia hanya berjalan maju dengan langkah yang ringan, mendekati Duke dan Luna. Setiap langkah kakinya meninggalkan jejak es tipis di atas puing-puing yang hangus.

"KSATRIA!!" teriak Duke,suaranya yang kuat memecah keheningan yang membekukan.

Teriakan itu seolah menyadarkan semua orang, termasuk aku, dari dominasi aura Grand Duke Orkamor. "TETAP PADA FORMASI!" Dia menoleh padaku, tatapannya tajam dan penuh perintah. "Elira! Bawa anak-anak itu pergi dari sini! Baren akan mengawalmu! Ini perintah!"

Aku mengangguk, segera memberi isyarat pada Baren. Ini adalah keputusan militer yang tepat. Menyingkirkan warga sipil dari medan perang.

Tapi saat Baren baru saja mengangkat satu anak ke atas kuda, Grand Duke Orkamor berhenti berjalan.

Dia mengangkat tangannya.

KRAAAAAAAAAKKK!!!

Tanah di sekeliling kami meledak. Dinding-dinding es raksasa yang tebal melesat keluar dari dalam tanah, menjulang tinggi ke langit malam. Dalam hitungan detik, kami semua terkurung di dalam sebuah kandang es raksasa. Jalan keluar kami telah tertutup.

"Formasi bertahan!" teriak Duke, pasukannya dengan cepat membentuk lingkaran di sekitar kami, perisai sihir mereka menyala.

Tapi aku tahu itu sia-sia. Melawan pria ini dengan kekerasan sama saja dengan meninju sebuah gletser.

Aku melangkah maju, menghentikan Duke yang hendak memberi perintah menyerang. "Kekerasan tidak akan berhasil, Yang Mulia. Izinkan saya mencoba," bisikku.

Dia menatapku dengan ragu, tapi mengangguk.

Aku memberanikan diri, berjalan beberapa langkah ke depan, menatap langsung ke mata biru Grand Duke Orkamor yang dingin. "Grand Duke Orkamor," kataku, suaraku kuusahakan tetap stabil. "Anda ingin wanita ini." Aku menunjuk ke arah Luna. "Kami ingin anak-anak ini selamat."

Aku berhenti, membiarkan tawaranku menggantung di udara yang beku. "Angkat dinding es Anda dan biarkan anak-anak ini pergi bersama pengawalku. Setelah mereka berada di jarak yang aman, kami akan melepaskan Luna Velmiran."

Riven menatapku, keheningan adalah jawabannya. Matanya yang dingin seolah menimbang setiap kata, setiap niat di dalam hatiku. Dan aku sangat tidak menyukainya.

Tatapan itu... kecongkakan itu... rasanya tubuhku dikuliti dan jiwaku diintip. Tatapan yang sama dengan Marquess Tyran.

Akhirnya, dia mengangguk sekali.

"Rentangkan tanganmu," kataku pada Luna. Dia terlihat bingung. "Sekarang!"

Dia mengulurkan tangannya. Aku menggenggam tangannya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya tetap di gagang belati Cedric, menempel di pinggang Luna. "Dia akan ikut dengan kami sampai anak-anak aman."

Riven tidak keberatan. Dia merentangkan tangannya, dan dinding es di belakang kami mulai surut, menciptakan sebuah jalan keluar.

"Baren! Bawa mereka!" perintahku.

Saat Baren dan para prajurit mulai membawa anak-anak keluar, aku memberi kode pada Duke Raymond dengan mataku. Sebuah kedipan singkat. Dia mengerti.

Saat anak terakhir melewati celah, aku mendorong Luna ke depan, menjauh dariku.

"Sekarang!" teriakku.

Rantai cahaya yang mengikat Luna lenyap. Gadis itu tersungkur ke tanah. Di saat yang bersamaan, rantai cahaya yang baru dan lebih kuat melesat dari tanah, mengarah langsung pada Grand Duke Orkamor.

Namun, kami salah. Dia tidak lengah.

Saat rantai anti-sihir itu hampir mencapainya, udara di sekeliling Riven tampak beriak.

"Absolute Zero."

Kata-kata itu diucapkan tanpa emosi. Rantai cahaya emas yang agung itu tiba-tiba melambat. Kristal-kristal es yang indah mulai terbentuk di permukaannya.

Lalu, rantai itu berhenti total, membeku padat di udara, hanya beberapa inci dari tubuh Grand Duke Orkamor.

Dengan suara retakan yang pelan, sihir anti-sihir kebanggaan keluarga kerajaan Gevarran itu hancur menjadi serpihan es yang rapuh dan berkilauan.

Luna bangkit dengan gemetar, menyandarkan diri pada puing-puing. "Usaha yang bagus," katanya, napasnya masih tersengal. "Tapi Riven-ku itu jenius."

Kami semua menatap ngeri. Senjata terkuat kami... tidak ada artinya baginya.

"Ti-tidak mungkin? Itu tidak masuk akal!"

"Masuk akal." Pria itu akhirnya berbicara. Aroma mint dan kertas tua tercium saat dia semakin mendekat. "Anti-sihir bekerja seperti sistem imun tubuh yang mengenali, melawan, lalu menetralkan energi sihir. Tapi absolute zero bukan patogen yang bisa diserang. Melainkan hukum alam yang menghentikan segala sesuatu."

Riven menoleh, matanya yang tadi dingin kini menyala dengan kemarahan. Tatapannya terkunci padaku.

Aku akan dibunuh.

"BERI NONA ELIRA HARTWIN WAKTU UNTUK KABUR!!"

Teriakan Duke yang dipenuhi tekad putus asa itu adalah cambuk bagi kakiku. Aku tidak ragu-ragu. Aku berbalik, mengabaikan naluriku yang ingin melihat pertarungan di belakang, dan berlari sekuat tenaga menyusul Baren dan anak-anak yang sudah lebih dulu bergerak.

"Lupakan soal kuda! Semuanya bergerak melalui celah sempit di sana!" Aku memberi perintah sambil terus berlari, menunjuk ke sebuah lorong reruntuhan yang tampaknya aman. "Jangan berhenti! Jangan menoleh ke belakang!"

"Baik, Nona!" jawab mereka serentak, suara mereka tegang karena teror.

Aku berlari di barisan paling belakang, menjadi perisai manusia antara pasukanku dan Neraka yang baru saja terlepas di belakang kami. Aku tidak perlu melihat untuk tahu apa yang terjadi. Aku bisa mendengarnya. Aku bisa merasakannya.

Suara dentang pedang yang sia-sia beradu dengan es yang sekeras baja. Teriakan para ksatria yang gagah berani, yang tiba-tiba terpotong oleh suara retakan yang mengerikan. Udara di sekitarku bergetar, dipenuhi oleh partikel-partikel es tajam yang beterbangan seperti pecahan kaca, beberapa di antaranya berhasil menggores pipiku.

DUAR!!!

Sebuah ledakan es mengguncang tanah di bawah kakiku, membuat kami semua terhuyung. Aku menoleh sekilas dan melihat sebuah pilar es raksasa telah menusuk tanah tepat di tempat pasukan kavaleri tadi berdiri.

"TERUS BERLARI!" teriakku, suaraku serak karena debu dan keputusasaan. "JANGAN BERHENTI!"

Kami berlari melewati lorong-lorong yang hancur, reruntuhan menjadi saksi bisu dari pembantaian yang terjadi di belakang kami. Aku bisa mendengar suara sihir cahaya Duke yang meledak-ledak, berusaha mati-matian untuk menahan gelombang es yang tak terbendung. Setiap ledakan cahayanya terasa seperti detak jantung yang semakin melemah dari sekutu yang kutinggalkan.

Rasa bersalah menggerogoti hatiku. Aku telah membawanya ke sini. Aku telah membuatnya menghadapi monster ini.

Kami hampir mencapai ujung lorong, jalan menuju kebebasan yang relatif aman sudah di depan mata. Anak-anak menangis, para prajuritku terengah-engah, tapi kami hampir berhasil.

Tinggal sedikit lagi...

Tiba-tiba, sebuah bayangan melesat di udara di atas kami dengan kecepatan yang mengerikan, diikuti oleh suara tabrakan yang memekakkan telinga.

Sesosok tubuh menghantam dinding batu di depan kami dengan keras, lalu jatuh ke tanah dalam tumpukan baju zirah yang remuk.

Aku berhenti, mataku membelalak ngeri.

Baju zirah perak yang berkilauan. Lambang singa keluarga kerajaan. Rambut pirang yang ternoda oleh darah dan debu.

Itu adalah Duke Raymond.

Dia terbaring tak bergerak, pedangnya yang patah tergeletak beberapa senti dari tangannya. Darah merembes dari helmnya yang penyok.

Seluruh dunia di sekitarku seolah berhenti berputar. Semua kebisingan, semua kekacauan, semuanya lenyap. Yang tersisa hanyalah pemandangan mengerikan dari rekanku, pelindungku, satu-satunya predator yang berdiri di sisiku, yang kini terbaring hancur di kakiku.

Napas tersangkut di tenggorokanku. Untuk sesaat, aku lupa cara bernapas.

Lalu, sebuah teriakan keluar dari bibirku, sebuah teriakan yang dipenuhi oleh kengerian dan kekhawatiran yang tak terhingga.

"DUKE!!!"

1
Ria Gazali Dapson
jdi ikut²an dag dig dug derrr😄
BlackMail
Makasih udah mampir.🙏
Pena Santri
up thor, seru abis👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!