Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Gema di Lantai Bursa
Malam itu, Suryo Wijoyo tidak tidur. Di kantornya yang biasanya menjadi simbol kekuasaan, ia kini terlihat seperti binatang yang terpojok di dalam sangkar emasnya. Nama "Valerius" dan frasa "Lembah Seroja" terus bergema di kepalanya, membangkitkan ingatan akan dosa asal yang ia kira telah terkubur selamanya di bawah tumpukan uang dan kekuasaan.
Ia menghabiskan malam dengan panik, menghubungi kontak-kontak lamanya dari dunia bawah dan lingkaran politik yang gelap. Namun, respons yang ia terima hanya menambah kengeriannya. Beberapa orang pura-pura tidak tahu apa yang ia bicarakan. Yang lain langsung menutup telepon begitu nama Valerius disebut. Beberapa nomor bahkan sudah tidak aktif lagi. Seolah-olah semua jejak yang mengarah ke masa lalu itu telah sengaja dihapus.
Menjelang fajar, dengan putus asa, Suryo menelepon kepala agensi investigasi swasta terbaik di Aethelgard.
"Aku mau kau cari tahu semua tentang seorang pria bernama Jay, menantu keluarga Tremaine di Silverhaven," perintahnya dengan suara serak. "Aku tidak peduli biayanya, aku mau hasilnya dalam dua belas jam. Aku mau tahu di mana dia lahir, apa yang dia makan untuk sarapan, semuanya!"
Sementara itu, di Silverhaven, pagi tiba dengan tenang. Tenggat waktu 24 jam terus berjalan.
"Apa menurutmu dia akan melakukannya, Jay?" tanya Elara cemas saat mereka menginspeksi base camp yang kini beroperasi penuh.
Jay, sambil mengamati jadwal pengiriman di tablet, menggeleng pelan. "Tidak. Rasa takutnya membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dan kesombongannya yang terlalu besar tidak akan pernah membiarkannya terlihat tunduk pada ancaman."
"Lalu... apa yang akan terjadi saat tenggat waktunya habis?"
Jay menatap istrinya. "Seseorang harus memberinya pelajaran tentang konsekuensi."
Sore harinya, saat tenggat waktu hanya tersisa beberapa jam, Suryo menerima laporan dari tim investigasinya. Laporan itu singkat dan membuat frustrasi.
"Target Anda, Jay, seperti hantu, Pak," kata kepala investigator melalui telepon. "Menurut catatan resmi, dia yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga sederhana. Nilai sekolahnya rata-rata. Tidak ada catatan kriminal, tidak ada catatan perjalanan ke luar negeri, tidak ada aset atas namanya. Catatannya bersih. Terlalu bersih, malah. Seolah seseorang sengaja menciptakan identitas yang paling membosankan di dunia untuknya."
"Dan Lembah Seroja?" desak Suryo.
"Buntu, Pak. Semua arsip terkait insiden itu diklasifikasikan sebagai rahasia negara tingkat tertinggi. Kami tidak bisa menembusnya."
Suryo membanting teleponnya. Seorang yatim piatu biasa? Omong kosong! Bagaimana mungkin seorang yatim piatu biasa bisa memiliki jaringan intelijen yang melumpuhkan pembunuh bayaran terbaik di dunia? Misteri ini membuat lawannya terasa semakin menakutkan, seperti kekuatan gaib yang tidak bisa ia lawan.
Waktu terus berjalan. Pukul delapan malam, tenggat waktu 24 jam itu resmi berakhir. Tidak ada pengumuman penarikan diri dari Raksasa Pasifik. Suryo Wijoyo, yang memilih untuk menantang takdir, duduk di depan monitor perdagangannya, menunggu pasar saham dibuka keesokan paginya.
Tepat pukul sembilan pagi keesokan harinya, bel pembukaan bursa saham berbunyi.
Dan neraka pun terlepas.
Tepat satu menit setelah pasar dibuka, sebuah bom berita meledak di semua portal berita finansial secara serentak. Sebuah firma investigasi independen dari luar negeri merilis laporan anonim yang menyoroti "praktik operasional berisiko tinggi dan pelanggaran keselamatan kerja" di beberapa proyek besar Raksasa Pasifik.
Dua menit kemudian, berita kedua muncul: "Sumber internal membocorkan adanya dugaan keterlibatan manajemen senior Raksasa Pasifik dalam 'aktivitas ilegal' di Silverhaven yang saat ini sedang dalam penyelidikan."
Berita itu tidak secara eksplisit menyebutkan sabotase atau premanisme, tapi kata "aktivitas ilegal" sudah cukup untuk menyulut kepanikan.
Di layar monitor Suryo, kode saham perusahaannya, RAKP, berubah menjadi merah darah. Gelombang perintah jual dalam volume masif menghantam pasar. Harga sahamnya yang tadinya kokoh, kini terjun bebas. Turun 15% dalam lima menit. 25% dalam sepuluh menit. 40% dalam setengah jam.
Triliunan rupiah nilai perusahaannya menguap menjadi debu di udara. Para investor panik. Dewan direksi meneleponnya tanpa henti. Kerajaan yang ia bangun selama puluhan tahun, kini runtuh di depan matanya.
Di tengah kekacauan itu, ponsel pribadinya berdering. Nomor tak dikenal yang sama dari malam sebelumnya.
Dengan tangan gemetar, Suryo menjawabnya.
Tidak ada teriakan atau makian. Yang terdengar hanyalah suara seorang pemuda yang tenang, dingin, dan penuh kendali.
"Tenggat waktu Anda sudah habis, Tuan Wijoyo."
Hening sejenak, sebelum suara itu melanjutkan.
"Ini baru permulaan."
Klik.
Panggilan itu berakhir. Suryo Wijoyo menatap nanar ke layar monitor yang terus memerah, akhirnya menyadari kesalahannya yang fatal. Ia tidak sedang berperang melawan pebisnis. Ia sedang berperang melawan hakim, juri, dan algojo sekaligus.