NovelToon NovelToon
Pendekar Penguasa Sepuluh Ribu Semesta

Pendekar Penguasa Sepuluh Ribu Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Raja Tentara/Dewa Perang / Ahli Bela Diri Kuno / Kultivasi Modern
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mr.Employee

Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.

Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.

Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.

Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyusuri Kota Yang Mati

Matahari sore masih menyelimuti lembah saat Anul, Arum, dan Biro melangkah memasuki batas Kota Hantu. Begitu mereka melewati gerbang tua yang terbuat dari kayu lapuk, suasana berubah drastis.

Jalanan berdebu, retak di setiap sudut, bangunan yang dulu mungkin megah kini tampak sepi dan roboh. Beberapa rumah berdiri dengan dinding bercelah, atap yang bocor, dan jendela yang sebagian pecah. Angin dingin berhembus dari gang sempit, membawa aroma tanah kering dan debu yang menusuk hidung.

“Kota ini sunyi sekali,” bisik Arum, matanya menelusuri setiap bangunan yang tampak rapuh. Ia menggenggam lengan Anul sedikit lebih erat, seolah mencari rasa aman.

Biro, yang biasanya suka bercanda, kali ini terdiam. Wajahnya pucat, dan ia menatap sekeliling dengan hati-hati. “Sunyi… terlalu sunyi,” gumamnya. Ia mengibaskan debu dari bajunya sambil mencoba menyembunyikan rasa takut.

Anul melangkah di depan sambil menuntun kereta kuda mereka, matanya tajam menelusuri jalanan. Ia tahu kota ini menyimpan bahaya, bukan dari makhluk gaib, tetapi dari manusia—orang-orang yang terbiasa hidup di lingkungan keras, di mana hukum hanya sebatas kekuatan dan kepandaian bertahan hidup.

Tak... Tak... Tak...

Jalanan Kota Hantu sempit, berliku, dan dipenuhi reruntuhan. Tiga pendekar muda itu berjalan perlahan, menahan langkah agar debu tidak beterbangan. Suara roda kereta kuda yang masih mereka bawa terdengar nyaring di antara sunyi kota.

Di sebuah persimpangan, mereka menemukan sebuah alun-alun kecil. Di tengahnya, tugu batu setinggi dua meter dengan ukiran pudar berdiri—saksi bisu masa lalu kota itu.

Tidak ada satu pun orang di sekitar alun-alun.

Namun beberapa rumah di sekelilingnya tampak memiliki gerbang setengah terbuka, tanda bahwa kota ini pernah ramai—mungkin masih ada beberapa penduduk yang bertahan hidup di balik pintu itu.

“Sepertinya… kita harus hati-hati,” kata Anul, mengangkat jubahnya sedikit agar lebih mudah bergerak. “Kota ini tidak ramah bagi pendatang. Mereka yang tinggal di sini terbiasa dengan kerasnya hidup.”

Biro menelan ludah. “Keras… maksudmu, kalau kita salah langkah... bisa dirampok?”

Anul mengangguk, menatap ke arah gang sempit yang mengarah ke selatan. “Tepat. Kita harus memperhatikan setiap suara, setiap gerakan. Jangan lengah.”

Arum menarik napas dalam. “Aku akan menuruti arahanmu. Tapi… apakah kita bisa menemukan tempat untuk beristirahat malam ini?”

Anul menoleh, matanya menelusuri lorong-lorong kota yang sunyi. Ia melihat sebuah rumah tua di pojok alun-alun yang tampak masih kokoh. “Kita mulai dari sini. Tampaknya masih aman untuk beberapa malam.”

Mereka berjalan menuju rumah itu.

Begitu memasuki halaman, Anul berhenti sejenak, meneliti lingkungan sekitar.

Debu di tanah masih segar, jejak kaki manusia atau hewan terlihat samar. Ia menunduk, memperhatikan dengan seksama. “Tidak ada bahaya, kita bisa masuk.”

Biro mendorong pintu dengan engsel berdecit. Begitu terbuka, aroma lembap dan kayu tua menyambut mereka. Dalam rumah, lantai berdebu, beberapa perabotan rusak, namun struktur bangunan masih kokoh.

Anul menaruh kereta kuda di luar pagar rumah, memastikan tidak ada yang terganggu saat melintasi jalan. “Kita harus tetap berjaga pada saat malam nanti. Kota ini penuh orang yang terbiasa mengambil keuntungan dari ketidaktahuan pendatang.”

Arum menatap Anul. “Aku tidak bisa membayangkan tinggal di tempat seperti ini. Sunyi dan sepi, bahkan hewan pun jarang terlihat.”

“Di tempat seperti ini, orang harus menjadi keras. Atau mereka akan tersisih,” jawab Anul. Mereka bertiga menyalakan beberapa lentera sederhana, menerangi ruangan agar kegelapan tidak membuat mereka kesulitan untuk bertindak jika terjadi sesuatu.

Malam itu, mereka duduk bersama, membagi perbekalan sederhana. Suasana hening, hanya terdengar suara api unggun kecil yang berderak. Biro tidak banyak bicara, tampak menatap ke luar jendela yang pecah, matanya mengikuti bayangan yang menari di dinding rumah.

“Apakah benar Kota Hantu ini pernah ramai?” tanya Arum, akhirnya memecah keheningan.

Anul mengangguk pelan. “Ya, dulu kota ini adalah pusat perdagangan kecil. Tapi tanahnya kering, sumber air menipis, dan banyak penduduknya pindah. Yang tersisa hanya mereka yang bertahan karena keras kepala, atau terjebak di sini karena tidak punya tempat lain.”

Biro mengerutkan dahi. “Jadi, mereka ini yang selalu menakut-nakuti orang yang lewat?”

“Bisa jadi,” kata Anul. “Penduduk kota ini terbiasa mengambil apa yang mereka bisa. Jika kita tidak waspada, kita bisa terjebak dalam situasi yang sulit.”

Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah, ketiga sahabat itu bersiap penuh waspada.

Anul berdiri, matanya menelusuri jendela yang pecah. Namun ternyata, seorang lelaki tua muncul dari balik bayangan gang yang gelap, berjalan menyeret satu kakinya perlahan dengan tongkat kayu ditangannya.

Wajahnya dipenuhi kerutan, rambut putihnya acak-acakan, dan matanya menatap mereka dengan waspada.

“Hmm.. Pendatang?” suara lelaki tua itu serak. “Apa yang membawa kalian ke kota ini?”

Anul melangkah maju, tetap tenang. “Kami hanya singgah untuk beristirahat. Tidak berniat mengganggu siapa pun.”

Lelaki tua itu mengangguk, menatap mereka sebentar. “Berhati-hatilah, di kota ini banyak yang tidak ramah terhadap tamu. Tapi sepertinya kalian tampak berbeda.” Ia tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya ke gang lain. Entah apa yang dimaksud kakek itu dengan 'berbeda'.

Arum menatap ke arah Anul. “Kau kenal dia?”

Anul menggeleng. “Tidak. Tapi dari gerak-geriknya, dia tidak punya niat buruk. Hanya seorang yang kebetulan lewat.”

Malam berlanjut dengan tenang. Mereka tidur secara bergantian dengan salah satu dari mereka akan berjaga, setiap suara dan pergerakan dicermati. Kota Hantu memang sunyi, tetapi kesunyian itu menyimpan banyak cerita—cerita orang yang berjuang untuk bertahan hidup di tempat yang keras dan tidak menerima kelemahan.

Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Kota Hantu lebih luas dari yang mereka duga. Jalan-jalan sempit berliku, beberapa gang buntu, dan bangunan tinggi runtuh di beberapa tempat. Toko-toko tua yang dulu menjual kebutuhan sehari-hari kini kosong, sebagian bahkan dijadikan tempat tinggal bagi beberapa penduduk yang tersisa.

Biro berjalan pelan, matanya terus memperhatikan setiap sudut. “Aku merasa ada beberapa mata menatap kita, tapi tidak ada satu orangpun yang muncul.”

Anul menepuk bahu Biro. “Perasaanmu tepat. Penduduk kota ini jarang muncul di muka umum. Mereka terbiasa mengamati dan menilai siapa yang datang.”

Arum berhenti di depan sebuah sumur tua, menatapnya dengan rasa ingin tahu. “Apakah airnya masih bisa diminum?”

“Bisa, tapi harus direbus,” jawab Anul. Ia melihat sekeliling, memastikan tidak ada ancaman. “Kita harus hemat, air di sini terbatas.”

Hari itu mereka berjalan menelusuri Kota Hantu, menemukan sisa-sisa pasar, rumah-rumah yang runtuh, dan beberapa penduduk yang menatap mereka dari jendela, tetapi segera menghilang begitu mereka mencoba mendekat. Suasana kota yang sunyi dan tandus membuat mereka semakin waspada.

Di sore hari, mereka menemukan alun-alun kedua, lebih luas dari yang pertama, dengan beberapa bangunan masih berdiri kokoh. Di sana, terdengar suara anak-anak bermain.

Setelah sampai mereka melihat anak-anak itu masih bermain, meski jumlahnya sangat sedikit. Menyadari kehadiran beberapa orang, anak-anak itu berhenti dan menatap polos kearah mereka bertiga.

Mereka tampak takut pada ketiga pendekar muda itu, namun tetap penasaran. Anul tersenyum tipis, melambaikan tangan ke arah anak-anak itu—segera menyingkir dengan hati-hati.

Biro menatapnya. “Kau benar-benar membuat semua orang merasa takut sekaligus penasaran.”

Anul tertawa pelan. “Hanya menjaga jarak. Aku tidak ingin membuat masalah di kota ini.”

Malam kedua, mereka menetap di sebuah bangunan yang lebih kokoh. Anul memastikan semua pintu terkunci dan jendela tertutup rapat. Mereka duduk mengelilingi api unggun kecil, membahas strategi untuk melanjutkan perjalanan ke utara esok hari.

“Besok kita harus segera keluar dari kota ini,” kata Anul. “Jika terlalu lama tinggal, kita bisa menjadi target bagi penduduk yang tidak ramah atau kelompok lain yang mencari keuntungan.”

Arum mengangguk. “Aku mengerti. Kota ini menakutkan, tapi juga penuh cerita. Aku bisa merasakan perjuangan mereka untuk bertahan hidup.”

Biro mengeluh, “Aku hanya ingin keluar dari sini secepat mungkin… Tapi aku juga penasaran dengan cerita mereka. Hanya saja jangan sampai ada yang menyakitiku!”

Anul tersenyum, menepuk bahunya. “Jangan khawatir. Selama kita tetap bersama, kita bisa menghadapi apa pun.”

Malam itu, Kota Hantu tetap sunyi, tetapi ketiga sahabat itu tidur dengan lebih tenang. Mereka tahu bahwa keesokan harinya, perjalanan akan semakin menantang, bukan oleh makhluk misterius atau masa lalu, tetapi oleh kerasnya dunia nyata dan ketangguhan manusia yang bertahan hidup di lingkungan yang tidak ramah.

Dengan tekad yang semakin kuat, Anul, Arum, dan Biro menatap malam yang pekat di luar jendela. Kota Hantu mungkin menakutkan bagi orang biasa, tetapi bagi mereka, kota itu hanyalah rintangan kecil dari perjalanan panjang menuju Pegunungan Tanpa Akhir.

1
Muffin🌸
Ceritanya menarik, narasinya mudah dimengerti. Semangat berkarya authort. Aku tunggu anul sampai menguasai bumi dan langit 😊
☕︎⃝❥ Anul (PPSRS): makasih mbak muffin😄
total 1 replies
erika eka putri pradipta(ACDD)
woww keren sekali bisa terbelah batu nya setelah ranting kecil itu dimasukkan ke lubang itu
erika eka putri pradipta(ACDD)
pecah gak bg anul cincin nya?
Oksy_K
dipaksa dewasa dan menahan rasa sakit. semangat anullll
@dadan_kusuma89
Masih mendingan Anul ada yang suka, Bir! daripada Lu😁
@dadan_kusuma89
Ternyata benar dugaanku, sekarang Anul telah menjabat sebagai kepala desa baru
@dadan_kusuma89
Nggak bisa, Rum! Mana bisa biro disuruh makan pelan-pelan
@dadan_kusuma89
Awas lho, Biro! kamu jangan godain Arum ya!😁
@dadan_kusuma89
Dugaanku sepertinya kamu akan menjadi kepala desa yang baru, Nul!😁
CumaHalu
malah nangis, kog bisa berhari-hari pingsan masih bisa bangun. kalau orang normal sih udah meninggoy.
CumaHalu
Jadi tetep harus hati-hati ya Nul.
Khalisha
Kenapa banyak yang benci anul padahal kan dia udah banyak Bantu warga desa,
ηιтσ
najisnyo. jauh²/Puke/
ηιтσ
pemikiran anak² mah kdng udh di tanam sma kebencian dri orgtuanya. klo ortunya udh cap anak ini gk baik, anaknya jdi benci. walau sbnrnya konsep anul ini beda, lbh kyk jdi pembanding /Facepalm/
Ff Gilgamesh
memang susah memiliki dua wajah... repot menyembunyikan yang satu
👑Chaotic Devil Queen👑
Karena lu bukan MC 😭🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Heh! Lu itu gak diajak 😭👊
erika eka putri pradipta(ACDD)
jatuh hati kau nul
@dadan_kusuma89
Sepertinya Biro harus belajar dari Sammo hung ini😁
@dadan_kusuma89
Wah, energinya salah masuk jalur mungkin, Bir!😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!