NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 Hanya Semakin Tertekan

Rumah menjadi sangat hening saat mereka kembali. Tanpa Damien dan Eve, tempat itu terasa hanya seperti bangunan kosong tanpa jiwa.

Daisy tidak berkata sepatah kata pun. Ia langsung naik ke kamarnya dengan langkah lesu, meninggalkan keheningan yang semakin dalam.

Alex ingin menyusulnya, tapi langkahnya terhenti ketika baru menginjak anak tangga pertama.

Ponselnya berdering — panggilan dari Rayyan.

“Bicara.”

“Apakah Anda sudah tiba, Tuan?”

“Ya.”

“Untuk jadwal pertemuan makan siang nanti, mereka tidak bisa membatalkannya. Mereka menginginkan Anda sendiri yang menemui mereka.”

“Aku akan datang nanti.”

Setelah menutup telepon, Alex berdiri sejenak di bawah tangga. Pandangannya kosong menatap langit-langit, lalu berbalik menuju kamar untuk bersiap. Namun pikirannya tertahan — ia tidak bisa begitu saja meninggalkan Daisy sendirian di rumah sebesar ini.

“Daisy, boleh aku masuk?” Alex mengetuk pintu pelan.

“Ya ….” jawabnya lirih dari dalam.

Daisy sedang berbaring sambil membaca buku, tapi dari cara ia menggenggam halamannya, jelas hatinya tidak ada di sana.

“Ayah ada jadwal pertemuan siang ini. Kau mau ikut?”

“Tidak. Itu pasti membosankan.”

“Apa kau akan baik-baik saja sendiri di sini? Atau mau ke rumah Kakek?”

“Tidak.” Daisy menutup bukunya dengan kesal lalu membalikkan badan, memunggungi Alex. “Lebih baik kalau Damien di sini.”

Alex duduk di tepi ranjang, menatap punggung kecil itu. “Kakakmu hanya butuh waktu untuk pulih. Dia juga ingin bisa bermain denganmu lagi.”

Tapi Daisy tetap diam, matanya mulai berkaca-kaca meski Alex tak bisa melihatnya.

Keheningan di antara mereka terasa panjang dan berat.

“Tuan, Anda di dalam?” Suara Pak Frans memecah suasana.

“Ya.”

“Di luar ada Noah dan Celline.”

Alex berdiri. Di ambang pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah Daisy yang kini meringkuk di atas kasur.

Ia ingin memeluknya, tapi langkahnya tak jadi maju.

Ketika Noah muncul di tangga, ia hanya menatap Alex dengan pandangan penuh tanya.

“Alex …,” katanya pelan.

Alex menutup pintu kamar anaknya dengan hati yang terasa kosong.

“Aku sudah mendengar tentang Damien kemarin. Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Masih lemah. Aku pergi sebelum dia sempat bangun, dan sampai sekarang aku belum meneleponnya.”

Noah menghela napas panjang. “Daisy memang sebaiknya di sini, apalagi Eve sedang hamil. Tapi tetap saja, aku kasihan padanya.” Ia menatap Alex sejenak, memberi jeda sebelum melanjutkan.

“Alex, sebelum kau datang, aku yang mengasuh Daisy dan Damien sejak mereka bayi. Sekarang Eve tidak ada di sisinya … apa aku boleh mengasuhnya lagi? Aku tak sepadat dirimu. Aku bisa pulang setiap sore, dan Celline juga akan selalu ada di rumah.”

“Tidak.” Jawaban Alex keluar cepat, tegas, tanpa ragu. “Anak-anakku adalah tanggung jawabku. Dulu aku memang tidak ada bersama mereka, tapi sekarang aku di sini. Sekalipun aku sibuk, aku tidak akan pernah membiarkan mereka merasa diabaikan.”

Nada suaranya lembut tapi mengandung ketegasan yang membuat Noah diam sejenak.

Alex tahu niat Noah baik, tapi dia juga tahu — tidak semua orang di sekitar Noah bisa ia percayai. Termasuk Celline. Meskipun wanita itu telah banyak berubah, Alex tidak ingin mengambil risiko.

Tidak ada tempat paling aman bagi anak-anaknya selain di sisinya sendiri.

“Aku mengerti,” ujar Noah akhirnya. “Aku hanya merasa kasihan pada Daisy. Sejak kecil, dia tak pernah jauh dari ibunya. Aku hanya ingin membantumu menjaganya.”

“Aku tahu itu,” balas Alex singkat.

Saat itu, suara langkah kecil terdengar. Daisy keluar dari kamarnya, matanya berbinar begitu melihat Noah. Ia langsung berlari ke arahnya, mengangkat tangan kecilnya.

“Paman …!”

Noah tertawa kecil sambil mengangkatnya tinggi. “Wah, kau makin berat saja, Sayang.”

“Paman, kenapa tidak menjengukku? Apa Paman sudah tidak mau melihatku?” Daisy merengek kecil, pipinya mengembung kesal.

“Hei, siapa bilang begitu? Tentu saja tidak. Bukankah minggu lalu aku masih sempat menemuimu?”

“Tapi itu sudah lama sekali,” gumamnya dengan wajah cemberut, membuat Noah tertawa lagi.

Alex memperhatikan mereka dari sisi tangga. Ia tahu hubungan mereka terlalu dekat untuk bisa dihapus begitu saja.

Melihat Alex sudah berpakaian rapi, Noah bertanya, “Kau mau pergi, Alex?”

“Ada sedikit urusan.”

Noah memandang Daisy di pelukannya. “Kalau begitu, bolehkah aku membawanya bersamaku hari ini? Saat kau selesai nanti, kau bisa menjemputnya di rumahku.”

Daisy menatap ayahnya dengan mata memohon. “Ayah, boleh aku ikut Paman?”

Alex menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Baik. Tapi Ayah akan menjemputmu nanti, setelah semua urusan Ayah selesai.”

“Baik!” Daisy tersenyum cerah, memeluk Noah erat-erat.

Alex hanya menatap keduanya sejenak, lalu melangkah pergi tanpa menambahkan apa pun. Ia tahu Noah sudah memahami — dan mungkin, sedikit lebih mengerti perasaan anak kecilnya hari ini.

Ketika Alex turun, Celline sudah menunggu di bawah. Ia menatap pria itu dengan senyum kecil, lalu sedikit membungkuk sopan.

Sebenarnya, untuk bertemu Alex saja, Celline masih terlalu malu. Bahkan sangat malu. Setelah semua yang pernah ia lakukan, ia merasa tak pantas menatap siapa pun—apalagi Alex atau Rayyan.

Andai bukan karena permohonan Noah yang tulus, mungkin ia tak akan pernah meninggalkan apartemennya di luar negeri.

Kini, berada di kota ini saja membuat langkahnya terasa berat. Ia selalu khawatir bertemu seseorang yang mengenalinya, seseorang yang akan mengingat masa lalunya.

Begitu Alex keluar, Noah turun dari tangga dengan menggandeng tangan kecil Daisy.

“Bagaimana? Apakah Daisy boleh tinggal bersama kita?” tanya Celline dengan nada berharap.

“Alex ingin menjaganya sendiri,” jawab Noah pelan.

“Oh ….” Celline mengangguk, suaranya hampir tak terdengar. Sekilas rautnya menurun, tapi ketika menatap Daisy, ia kembali tersenyum lembut. “Kalau begitu, kita pergi sekarang?”

Daisy mengangguk semangat. Kehadiran Noah seolah menjadi pelipur hatinya—setidaknya untuk hari ini, ia bisa melupakan sejenak bahwa Ibu dan Kakaknya tidak ada di sini.

“Sudah makan siang?” tanya Noah.

Daisy menggeleng. “Kami baru saja tiba.”

“Bagus. Aku dan Celline juga belum makan. Kita cari restoran terdekat saja, ya? Edgar mengikutimu, kan? Aku pastikan dia tak akan kehilangan kita.”

Noah sempat melirik ke kaca spion, memastikan mobil Edgar tetap berada di belakang mereka.

“Apa Paman tidak bekerja?”

“Aku sengaja keluar di jam istirahat untuk menjemputmu. Tapi karena sekarang kau bersamaku, kita manfaatkan waktunya untuk jalan-jalan. Bagaimana?”

“Itu ide yang bagus!” seru Daisy, matanya berbinar.

Usai makan siang, Noah membawa mereka ke taman hiburan di tengah kota.

Daisy tertawa riang di antara anak-anak sebayanya, sementara Noah berdiri agak jauh, memperhatikannya dengan senyum hangat.

“Kau tampak bahagia sekali,” ucap Celline pelan, matanya menoleh pada Noah yang tampak begitu tenang memandangi gadis kecil itu.

“Ya,” jawabnya lirih. “Melihat dia tersenyum seperti itu … rasanya dunia ini jadi lebih ringan.”

Ia menatap ke kejauhan, pada sosok Daisy yang berlarian kecil. “Kau tahu, sejak mereka lahir, aku menyaksikan semuanya. Mendengar mereka memanggilku pertama kali. Rasanya baru kemarin aku menggendong Daisy.”

“Hubungan kalian pasti sangat dekat,” ujar Celline lembut.

“Sangat dekat,” Noah mengangguk pelan. “Lebih dekat dari yang Alex kira. Aku yang berjaga saat mereka demam di malam hari, aku yang menemani Daisy saat Eve sibuk. Daisy suka membuat kue, dan aku harus belajar memasak sedikit karenanya.”

Ia tersenyum samar, tapi suaranya menurun saat menyebut satu nama.

“Damien … dia berbeda. Lebih pendiam, seperti Alex kecil. Kalau tidak pulang, artinya dia tidur di rumah Nelly.”

Setelah jeda sejenak, Noah menambahkan dengan nada getir, “Ketika kesehatan Damien mulai menurun, Daisy selalu bersamaku. Itu sebabnya aku ingin membawanya tinggal bersamaku lagi saat Eve di Regalsen—seperti dulu. Tapi Alex menolak. Ya … aku bisa memahaminya. Setelah sekian lama terpisah, tentu ia tak ingin kehilangan anaknya lagi.”

“Bagaimana jika bukan hanya itu alasannya?”

“Apa maksudmu?” tanya Noah sambil memutar kepala, menatapnya dengan bingung.

“Maksudku ... mungkin semua ini karena aku.”

“Celline, apa yang sedang kau bicarakan? Ini tidak ada hubungannya denganmu. Alex memang tidak ingin kehilangan kesempatan lagi untuk merawat anak-anaknya. Kalau Damien berada dalam kondisi yang baik, aku yakin dia juga tak akan membiarkan mereka jauh darinya.”

Celline menunduk, wajahnya tampak muram. “Tapi ... aku merasa semua ini tetap saja karena aku.” Ia kembali mengangkat kepala, menatap Noah. “Noah, aku sudah membuat begitu banyak kesalahan. Bukan hanya kesalahan—tapi juga kejahatan. Kau tidak akan pernah mengerti seperti apa rasanya. Kau tidak pernah berada di posisi di mana setelah melakukan ribuan keburukan, kau masih harus menghadapi orang-orang yang paling kau lukai ... dengan berpura-pura bahwa tidak pernah terjadi apa pun di masa lalu.”

Dia menarik napas, menatap Noah lebih dalam, “Kau ingin tahu apa yang sebenarnya kurasakan? Setiap kali aku melihat Eve, melihat Alex, Rayyan ... rasanya seperti menaburkan garam ke atas luka yang belum sembuh.”

“Celline, perasaan itu hanya ada di benakmu. Mereka semua menerimamu dengan tulus. Dan kau tahu? Sebenarnya aku sudah lama tahu di mana kau tinggal selama di luar negeri. Itu pun karena Alex—dia yang memberikan semua informasi tentangmu kepadaku. Kalau mereka tidak menerimamu, mana mungkin dia mau melakukan itu?”

Namun tetap saja, semua itu tidak menghapus rasa tidak nyaman yang terus menghantui Celline. Dulu, ia tidak pernah membayangkan bahwa kesalahan yang pernah diperbuat akan berubah menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya. Seolah-olah ia menyelam di lautan yang tak bertepi.

“Noah, aku minta maaf. Selama ini aku sudah berusaha untuk tidak memikirkan masa lalu—untuk melupakan apa yang pernah kulakukan. Tapi aku tidak bisa. Itu tidak mudah, percayalah. Aku merasa begitu kotor, bahkan setelah mereka semua menghapus kesalahanku.”

“Aku sudah mencoba bertahan di sisimu, meninggalkan pekerjaanku di sana, dan kembali ke sini bersamamu. Tapi ... apakah kau mengerti? Semua itu justru membuatku terus teringat pada dosa-dosaku. Aku malu, Noah. Aku bahkan tak lagi merasa pantas menatap siapa pun di sini.”

“Saat Eldy meninggal, di saat itulah aku memutuskan untuk menghilang dari kehidupan mereka. Aku merelakan keputusan Eldy untuk mendonorkan jantungnya. Aku bersyukur Eve mau memaafkanku, tapi ... untuk kembali tinggal di sini, aku tidak sanggup, Noah.”

Suara Celline terus bergetar dari waktu ke waktu, terlihat sekali keputusasaannya.

“Celline, kau ingin meninggalkanku lagi? Kau baru saja memutuskan untuk kembali bersamaku, lalu kenapa sekarang kau mengatakan semua ini?”

“Aku sudah berusaha, Noah. Tapi semakin hari, aku justru semakin tertekan. Kau benar—semua ini memang ada di pikiranku, dan aku tidak bisa menyingkirkannya. Aku tahu mereka telah memberiku kesempatan, aku tahu itu. Tapi kau tidak akan pernah benar-benar mengerti bagaimana rasanya berdiri di posisiku. Kesalahanku terlalu besar, sampai aku pun tak sanggup menatap wajahku sendiri di cermin.”

“Yang kuinginkan hanyalah memulai hidup baru, Noah. Aku ingin tinggal di tempat di mana tak ada seorang pun yang mengenal masa laluku. Di mana tak seorang pun tahu betapa gilanya aku dulu, betapa kotornya aku. Aku hanya ingin hidup lebih baik, tanpa bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. Bisakah kau memahami itu?”

Noah tertegun menatapnya. Mata hitamnya menelusuri wajah Celline, namun ia tak menemukan kebohongan di sana. Yang tampak hanyalah kesedihan mendalam—penyesalan yang begitu berat, sampai-sampai ia bisa merasakannya sendiri.

“Tolong katakan, apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu? Apakah Ibu mengatakan sesuatu padamu? Kau baik-baik saja sebelum ini.”

Namun Celline hanya menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya.

“Celline, jawab aku! Apakah Ibu mengatakan sesuatu padamu?”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!