"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Rindu yang tak pernah bicara
Angin dari jendela bergoyang pelan. Membawa aroma laut. Membawa keheningan yang menyakitkan.
“Aku nggak minta kamu memaafkan aku sekarang,” kata Makes, pelan. “Aku cuma ingin kamu tahu... bahwa sejak kamu pergi, aku berhenti hidup seperti dulu.”
Zhavira hanya diam. Ia memejamkan mata sebentar.
Lalu melangkah ke arah pintu.
“Makasih sudah kasih kesempatan wawancara, Pak Makes Willson,” katanya tenang. “Semoga perusahaannya berkembang.”
Tangannya menyentuh gagang pintu. Namun sebelum ia membukanya, suara Makes terdengar lagi. Kali ini pelan... nyaris bergetar.
“Kalau aku minta kamu bertahan di sini, bukan sebagai kekasihku… tapi sebagai karyawan, maukah kamu tinggal lebih lama?”
Zhavira menoleh setengah. Tatapannya datar.
“Aku akan tinggal... selama kamu bersikap seperti atasan biasa. Bukan mantan tunangan yang belum selesai.”
Dan dengan itu, ia membuka pintu dan melangkah pergi—meninggalkan ruangan dengan aroma masa lalu dan perasaan yang belum tuntas.
**
Di balik pintu yang tertutup, Makes berdiri diam. Menatap ruang kosong.
Untuk pertama kalinya... mereka berada di tempat yang sama. Tapi hatinya tahu, jalan untuk kembali ke hati Zhavira masih sangat panjang.
Namun satu hal pasti.
Dia tidak akan menyerah kali ini.
**
Hari pertama Zhavira kembali ke dunia yang ia hindari selama berbulan-bulan tak berjalan mudah. Dada terasa sesak sejak kakinya melangkah ke dalam area proyek megah milik Willson Corp. Bali—surga yang dulu terasa aman kini menyimpan ketegangan lain. Yang duduk di pucuk kekuasaan perusahaan ini… adalah lelaki yang dulu ia cintai dan tinggalkan tanpa pamit: Makes Rafasya Willson.
Zhavira berdiri di sisi barisan staf, mendengarkan pengarahan proyek dari seorang manajer lapangan. Matanya sesekali melirik sosok tinggi di kejauhan, di balkon lantai dua gedung utama yang masih dalam tahap akhir pembangunan.
Makes berdiri di sana—mengenakan kemeja putih digulung di siku, dengan wajah dingin dan sorot mata tajam, mengawasi dari jauh.
Tatapan mereka bertemu sesaat. Zhavira langsung menunduk, pura-pura membaca lembaran job description di tangannya. Tapi jantungnya berdetak terlalu kencang untuk mengabaikan kehadiran pria itu.
Sementara Makes—tetap berdiri tegak, tapi pandangannya tak bisa lepas dari siluet perempuan itu. Perempuan yang ia cari ke mana-mana. Perempuan yang ia tunggu tanpa jawaban. Dan kini... perempuan itu berdiri hanya beberapa meter darinya, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
“Kenapa kamu masuk ke hidupku lagi, setelah hancurin semuanya?” gumamnya lirih, pahit.
**
Hari-hari berlalu dengan hening yang berisik.
Zhavira ditempatkan sebagai bagian dari tim desain interior, langsung di bawah pengawasan kepala arsitek dan... tentu saja, Makes sebagai pemilik proyek sering turun langsung meninjau detail ruang.
Ketika Makes hadir dalam ruang kerja bersama tim, suasana langsung berubah tegang. Semua menjadi serba formal. Termasuk Zhavira. Ia selalu bersikap profesional, walau tak bisa menahan getaran halus tiap kali Makes berdiri terlalu dekat atau menyebut namanya di depan umum.
“Zhavira, saya ingin revisi konsep lounge area seperti yang kita bahas kemarin. Ketemu saya jam dua, ruangan lantai tiga.”
Nada suara Makes dingin. Tegas. Tapi matanya… menyimpan terlalu banyak hal yang tak terucap.
Zhavira hanya mengangguk. “Baik, Pak.”
Dan ketika akhirnya mereka hanya berdua dalam ruangan itu, ketegangan menjadi nyata.
Di sofa Makes mulai memberi arahan pada Zhavira tentang konsep yang dia inginkan, dan Zhavira mencatat semuanya, Makes semakin mendekati Zhavira hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka.
"P–pak." Ujar Zhavira gugup, Zhavira menoleh ke arah Makes, dan tatapan keduanya bertemu, keduanya diam seolah-olah tatapan merekalah yang berbicara.
"Aku merindukanmu Zha, stop menyiksaku seperti ini, aku tidak suka setiap kali melihat dirimu dekat dengan lelaki lain, yang merupakan rekan kerjamu." Bisik Makes.
Hal itu membuat Zhavira merinding, hembusan nafas hangat Makes sangat amat terasa di leher jenjang Zhavira.
"Ijinkan aku untuk memperbaiki semuanya, berikan aku kesempatan Zha,"
Zhavira hanya diam, dia menatap lurus kedepan, bahkan dirinya membiarkan tangan Makes memeluk pinggangnya.
**
Beberapa minggu berlalu. Setiap hari menjadi ujian bagi keduanya. Diam-diam mereka saling mencuri pandang saat meeting. Makes seringkali memelankan langkah ketika melewati ruang kerja Zhavira, hanya untuk melihat sekilas apakah dia baik-baik saja. Sedangkan Zhavira… selalu berusaha menghindar setiap kali napasnya tercekat hanya karena wangi parfum Makes yang familiar.
Rindu mereka tidak bersuara. Tapi nyata. Hidup di sela rapat, revisi desain, dan tatapan-tatapan yang tak pernah punya keberanian untuk diucapkan dalam kalimat.
Dan setiap malam, Makes selalu menatap ponselnya, membuka chat lama yang tak pernah dihapus.
“Kamu tahu, Zhavira… kamu meninggalkan lubang yang nggak pernah bisa aku tambal, bahkan dengan semua kesibukan dan kekuasaan ini.”
Tapi dia tidak pernah mengirim pesan itu.
Dan Zhavira, malam-malamnya masih diisi dengan secangkir teh yang sama, dan playlist yang dulu Makes kirim untuk menemaninya kerja. Satu hal yang tak bisa dia buang dari hidupnya.
Ruang itu terlalu sempit untuk dua orang yang saling mencintai diam-diam. Tapi juga terlalu luas untuk dua orang yang pura-pura tidak saling peduli.
**
Matahari Bali mulai menunduk rendah, menebar warna keemasan di atas proyek bangunan megah yang hampir rampung. Suasana di lokasi pembangunan ramai oleh suara mesin, instruksi teknisi, dan langkah-langkah terburu-buru para pekerja.
Zhavira berdiri di tepi lantai dua bangunan utama, mengenakan helm proyek dan rompi oranye menyala, clipboard di tangan. Matanya sesekali melirik ke arah Makes yang berdiri tak jauh darinya—dengan jas abu-abu yang dilapisi debu tipis dan tangan terlipat, tampak seperti raja yang menjaga kerajaannya.
Sejak hari pertamanya bekerja, hubungan mereka tetap diam-diam. Saling sapa hanya sebatas profesional. Tak ada basa-basi, apalagi tawa bersama. Tapi tatapan-tatapan itu… tak bisa membohongi. Tatapan Makes yang selalu lebih lama setiap kali Zhavira membelakangi. Tatapan Zhavira yang dengan cepat dialihkan begitu Makes menoleh.
Dan hari ini, semuanya berubah.
Sebuah suara dentuman keras terdengar dari arah belakang gedung. Disusul teriakan panik seorang pekerja.
“Tiang penyangga roboh!”
Zhavira refleks menoleh, lalu berlari ke arah sumber suara. Beberapa petugas proyek berhamburan ke tempat kejadian.
“Stop! Jangan dekati dulu!” teriak seorang mandor.
Namun Zhavira tetap mendekat, ingin memastikan semua aman. Tapi tanah tempat ia berpijak ternyata sedikit berlubang dan tidak rata. Kakinya tergelincir.
“Zhavira!” suara berat dan tegas itu memecah hiruk pikuk.
Seketika Makes berlari menerjang kerumunan.
Zhavira nyaris jatuh ke sisi tumpukan baja ringan yang berserakan. Tapi sebelum tubuhnya menghantam kerasnya tanah, sebuah lengan kuat menangkapnya.
Jatuh ke dalam pelukan Makes.
Napas Zhavira memburu. Tubuhnya gemetar, bukan karena luka, tapi karena degupan jantung Makes yang terasa begitu dekat di dadanya. Tangannya menempel pada dada pria itu, dan untuk sesaat… waktu berhenti.
“Kamu gila? Kenapa kamu nekat?” tanya Makes, napasnya tak teratur, nada suaranya lebih panik dari marah.
“A-aku... aku cuma ingin memastikan...”
“Kalau kamu celaka, kamu pikir aku bisa diam?”
Zhavira membatu. Ia tahu kata-kata itu bukan datang dari seorang atasan pada pegawainya. Ada kegelisahan. Ada rasa yang selama ini mereka pendam—menyeruak tanpa ampun dalam satu insiden kecil.
Orang-orang mulai berkumpul, dan Makes perlahan menarik diri, namun tetap menggenggam tangan Zhavira seperti tak ingin melepas.
Zhavira menunduk. Pipi memerah, tapi tidak bisa menyembunyikan seulas senyum yang perlahan merekah.
“Aku nggak apa-apa kok…” bisiknya pelan.
Makes menatapnya dalam. “Kalau kamu nggak apa-apa, aku yang nggak akan tenang.”
Keduanya terdiam. Dunia di sekitar masih sibuk mengamankan lokasi kejadian, tapi mereka seperti berada di dunia lain. Dunia di mana hanya ada suara napas dan tatapan mata yang selama ini terkunci rapat.
Dan hari itu… untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka kembali, Makes menatap Zhavira tanpa lapisan formalitas. Hanya dia. Perempuan yang pernah ia tunggu berbulan-bulan. Perempuan yang hingga kini masih menggenggam hatinya.