NovelToon NovelToon
TOLONG CABUT PAKU DI KEPALA KAMI

TOLONG CABUT PAKU DI KEPALA KAMI

Status: tamat
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Hantu / Tumbal / Tamat
Popularitas:693k
Nilai: 5
Nama Author: Cublik

“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”

Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.

Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.

Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.

Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.

Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?

Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?

Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.

***

Instagram Author ~ Li_Cublik

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tolong : 14

Seorang wanita tua, bahunya sedikit membungkuk, tingginya kira-kira sekitar 155 cm, rambutnya sudah memutih, dan bibir berwarna merah serta gigi kehitaman. Memakai baju kebaya polos kancing depan dan bawahan kain jarik, tidak mengenakan alas kaki.

“Mbah! Coba ngomong lagi!” pintanya tidak tahu diri, padahal ini pertemuan pertama mereka. Dia menaiki undakan tangga tanah liat.

“Ngomong opo to cah ayu? Saya nda paham.” Perlahan dia turun menyambut gadis memiliki aura ceria, berisik, dan sepertinya sedikit ceroboh.

“Nah itu … suara si Mbah mirip Mei Hsin – kekasihnya Arya Kamandanu, serial Tutur Tinular. Yang dulu setiap sore saya dengarkan lewat radio bersama Uyut – sambil menunggu padi agar tidak dimakan burung Pipit.” Ia raih tangan keriput, lalu mencium punggungnya.

“Weleh weleh, mulutmu manis sekali cah ayu, sampai Simbah tersipu. Masak sudah sepuh begini disamakan dengan istrinya Arya Kamandanu. Ya, nda pantes to.”

Laila termangu, menatap gigi si Mbah yang bagian bawah tinggal dua. ‘Kasihan, sudah tak bisa lagi mengunyah kue keras kuping Gajah.’

Wanita itu menuntun simbah, seolah membawa masuk seorang tamu. Matanya menatap sekelilingnya sebelum kakinya melangkah ke dalam rumah. ‘Di mana si aura macam abu gosok itu?’

Saat berada di ruang tamu yang tempat duduknya kayu jati, lantai papan mengkilap dan hiasan dinding hampir semua terbuat dari miniatur kayu – batin Laila langsung memberi penilaian.

‘Semua kayu, kalau kebakaran tak butuh waktu lama, bangunan ini pasti langsung ludes dilalap jago merah.’

“Di cicipi, Nduk.” Simbah menyuguhkan teh beraroma melati, dan kue pukis.

"Terima kasih, Mbah.” Jari telunjuk dan tengah Laila masuk ke dalam tangkai gelas keramik. Pelan-pelan dia meneguk minuman yang terasa getir di lidahnya.

‘Benar-benar minuman simbah-simbah, anti menggunakan gula.’

“Simbah, kalau boleh tahu namanya siapa?” basa - basinya, demi mengusir kesunyian yang terasa kian pekat.

“Panggil saja Mbah Patmi.” Wanita tua itu duduk di kursi panjang, samping Laila. “Saya pelayan di sini, sudah sedari Aden Pram masih lucu-lucunya, berumur satu tahun.”

‘Yang nanya siapa, seolah sedang mempromosikan sang duda minim ekspresi itu.’

Laila mengangguk, sekilas menatap wajah Mbah Patmi. ‘Kalau diperhatikan lebih detail – sepertinya simbah belumlah terlalu tua, tapi mengapa giginya tinggal dua?’

Batin Laila sangat berisik, tidak bisa berhenti menganalisa.

“Kalau cah Ayu, namanya siapa?”

"Laila, Mbah. Saya janda kembang, tapi nggak berminat cari pasangan. Cuma pengen berpetualang saja menikmati kehidupan. Memacu adrenalin kejar-kejaran dengan para arwah,” kalimat akhir itu cuma sampai di lidah saja.

“Walah, apa nda sayang, Nduk? Dirimu masih muda loh, masa nda mau menikah lagi, kehidupan rumah tangga itu seru, Nduk. apalagi kalau sudah punya anak. Rumah serasa selalu ramai.” Senyumnya terlihat getir, tatapan mata berembun.

“Aku tak terlalu suka anak-anak, Mbah. Berisik, belum lagi kalau pas ingusnya meler sampai mana-mana. Terus cengeng, suka ngamuk.” Laila bergidik, faktanya memang dirinya belum siap menjadi seorang ibu. Menjaga diri sendiri saja sering gagal.

Namun, anehnya ... dirinya malah menjadi seorang bidan. Profesi yang selalu bersinggungan dengan bayi.

Mbah Patmi tertawa sambil menggelengkan kepala.

Ehem.

Uhuk!

Uhuk!

Kue pukis yang baru saja masuk ke dalam mulut, langsung tertelan tanpa dikunyah.

Laila menepuk dadanya, dia menoleh ke belakang, bersiap memarahi penyebab dirinya tersedak. Namun, saat melihat sosok tinggi, beraura pekat, langsung nyalinya menciut.

“Juragan,” ia tersenyum seperti Kuda meringkik.

“Aden, mau teh atau kopi?” Simbah bersiap beranjak.

“Tak usah, Mbah. Pean duduk saja!”

Pramudya duduk di kursi tunggal, berhadapan dengan Laila. “Mau apa kau kemari?”

‘Ini orang memang setelan pabriknya lempeng begini ya? Tak ada basa-basi nya.’

“Saya berniat ingin meminjam salah satu Kuda, Juragan. Untuk ditunggangi pribadi, agar lebih cepat menangani pasien dalam keadaan darurat yang membutuhkan pertolongan saat tidak di puskesmas.” Laila meletakkan cangkir teh di alas piring kecil.

“Kau kira Kuda ku hewan berharga murah, yang bisa di pinjamkan kepada siapa saja. Lagipula, apa kau paham tentang merawat Kuda?”

Mata Laila berkedip-kedip, otaknya tengah berpikir keras. “Saya memang tak paham dalam hal perawatan, tapi mahir menungganginya. Kalau misal dia lapar, nanti saya bawa kesini untuk makan, setelahnya kembali lagi ke rumah dinas. Bagaimana Juragan?”

Mbah Patmi sekuat tenaga menahan tawa, sampai bahunya bergetar lembut. “Kenapa nda naik sepeda onthel saja, Nduk? Di belakang rumah ada dua yang sudah lama nda dipakai.”

‘Tidak terima kasih, aku tak berminat. Yang ada kubuang itu sepeda ke dalam jurang, Mbah. Bukannya meringankan langkah, malah menambah beban.’

“Kalau sepeda tak cocok, Mbah. Medan jalan desa ini berbukit, terus semisal mau menyusuri jalan potong, jalurnya pun banyak akar pohon yang keluar dari tanah,” beritahunya selembut mungkin.

Diam-diam Pram menatap wajah berkulit bersih, ekspresinya masih saja sama, datar.

“Oh iya juga ya, Nduk.” Mbah Patmi mengangguk.

“Iya, Mbah. Makanya yang paling cocok itu ya cuma Kuda. Kebetulan saya bisa mengendalikannya.” Laila pun ikut mengangguk antusias.

“Bagaimana Juragan? Kalaupun harus menyewa, saya sanggup kok setiap hari membayar sebesar seribu rupiah.”

‘Awas saja kalau sampai kau menolak, bakalan ku maling Kuda mu!’

“Macam kau berani saja!”

“Hah?!” Mulut Laila ternganga, dia kebingungan.

“Macam kau berani saja menunggangi Kuda milikku. Kepunyaan ku berbeda dengan Kuda kota ataupun daerah lainnya.” Pram menegakkan punggung.

‘Oh … aku kira dia bisa membaca kata hatiku,’ batinnya seketika terasa lega.

“Juragan tak boleh berkata seperti itu sebelum melihat dulu. Tolong berikan saya kesempatan, setelahnya baru bisa memutuskan, jadi nggak asal menilai,” ia kekeuh pada keinginannya.

“Baiklah. Kalau kau bisa menaklukkan salah satu Kuda ku, maka dirimu boleh meminjam tanpa perlu membayar uang sewa recehan.” Dia beranjak dan melangkah keluar.

Laila mengikuti dari belakang. ‘Aneh, kenapa ini besi biasa saja? Tak seperti saat berdekatan dengannya kala diluar wilayah ini.’

Ditekannya besi jimat dari luar baju. ‘Kau masih hidup ‘kan? Tak mati karena kedinginan, kan? Ayo bantu aku menjinakkan Kuda itu! Kalau tidak berhasil, maka sajen mu pun tak ada.’

Pramudya dan juga Laila, berjalan ke samping rumah, melewati barisan pohon rimbun, setelahnya bertemu padang rumput hijau yang langsung berhadapan dengan air terjun.

Langkah wanita itu terhenti, dia terpaku menatap air jernih terjatuh dari ketinggian. Seolah seperti menari-nari diiringi suara menenangkan dan juga nyanyian burung liar.

‘Aku tak salah lihat kan? Ada seorang wanita melambaikan tangan di balik air terjun itu!’ Laila menggosok kedua matanya, kembali memperhatikan air terjun bertingkat.

"Kau takut? Kalau iya, pulang saja sana!"

"Hah?!" Laila menoleh ke pria yang sudah menunggangi kuda berbulu coklat mengkilap.

"Juragan, saya_ saya barusan ...."

.

.

Bersambung.

1
Imas Masripah
tahun 90' tahun penuh kenangan 🥰
mahira
terima kasih kk
Cublik: Kembali kasih ya Kak ❤️🥰
total 1 replies
Didi Setiadi
sakjane aku kurang sreg Moco seng model koyo ngene , rodok Pye ngono tapi memang gabut tenan,. di omong horor uripe awak kurang horor piye meneh mbak.
Didi Setiadi: gabut mbak.
total 2 replies
Nur Bahagia
Alhamdulillah happy ending 🥰 terimakasih kak Thor udah menyajikan cerita yg sangat kereenn ini 🤩 di tunggu kisah keturunan nya Laila atau Sawitri 🤗
Nur Bahagia
nyi dasah nih kayaknya yg ngomong 🤗
Nur Bahagia
keren nih sumberejo, pemimpin nya pasangan suami istri sakti.. pasti penjahat takut kalo mau beraksi di sini 😁
Nur Bahagia
aku penasaran gimana nanti kehidupan mereka sehari2nya 🤣
Nur Bahagia
kasih Haidar jodoh yang baik dan sakti kak Thor 🤩
Nur Bahagia
pasti Laila iseng nih 🤭
Nur Bahagia
wkwkw sabar ya Gan 🤣
Nur Bahagia
woalahh aku kira jeruk🤭
Nur Bahagia
jeruk ya... kan waktu itu Laila beli jeruk sama si jabrik 😁
Nur Bahagia
bukan.. itu namanya pemerasan dan pemaksaan 🤣
Nur Bahagia
ampunn dahh 🤣
Nur Bahagia
wkwkwk Haidar sampe terkejoottt 🤣
Nur Bahagia
sabar ya Haidar 🤣
Nur Bahagia
bisa saling santet dong 🤣
Nur Bahagia
ya ampuun nasibmu Haidar jadi kelinci percobaan🤣
Nur Bahagia
Haidar kocak 🤣
Nur Bahagia
terharuuu 😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!